Setelah itu, saya sebut sih healing karena kerjaannya dibonceng naik sepeda motor, berkeliling kota, cari bahan artikel. Yang rutin bercuan sekarang artikel yang saya kirim ke tiga tempat, sehingga itu prioritas menulis tiap hari. Sisanya, menulis ringan seperti di Kompasiana. Ada lagi blog, yang isinya tentu berbeda dengan di Kompasiana.
Sebenarnya saya masih penasaran menulis novel. Tapi permasalah inkonsistensi dengan alasan rumit membagi isi kepala antara yang fiksi dan nonfiksi sehingga sementara menulis novel saya tunda dulu.Â
Apakah yang saya lakukan itu masuk kategori fake productivity? Menurut saya tergantung target yang dipatok tiap orang.Â
Di mata sebagian orang, produktivitas semu dapat menjadi jebakan yang menggoda, karena seseorang mungkin merasa sibuk dan terorganisir tanpa benar-benar membuat kemajuan yang berarti. Ini dapat mengakibatkan pemborosan waktu dan energi yang berharga tanpa menghasilkan hasil yang diinginkan.
Produktivitas semu bisa terjadi ketika orang menghabiskan waktu mereka untuk tugas-tugas yang tidak penting atau ketika mereka terlalu fokus pada aktivitas yang tidak berdampak besar.
Lagi-lagi itu hanya pandangan orang. Bisa saja di mata orang yang dianggap melakukan produktivitas semu, yang dilakukan itu lebih penting meski dianggap tidak berdampak besar.Â
Yang pasti semu itu, ketika orang lain yang lebih produktif tapi diakui sebagai karyanya. Atau ketika ia mengalihkan beban kerjanya pada orang lain tapi dia melakukan hal lain yang tidak ada hubungan dengan tanggung jawabnya. Biar apa? Biar dianggap sibuk, tentunya.***