Mohon tunggu...
Sridewanto Pinuji
Sridewanto Pinuji Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis Blog

Penulis untuk topik kebencanaan dan lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

LGBT dan Bencana

5 Maret 2018   15:28 Diperbarui: 5 Maret 2018   15:28 1124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Pexels

Dalam pembicaraan mengenai LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender), hampir selalu disinggung peristiwa yang terjadi di kota Sodom dan Gomorrah. Di dua kota ini, masyarakatnya melakukan tindakan yang tidak pantas. Lelaki menyukai sesama lelaki dan melakukan tindakan sodomi. 

Tuhan murka melihat tindakan ini, mengirimkan seorang Nabi Luth (Islam) atau Lot (Kristen dan Yahudi) dan malaikat-malaikatNya untuk memberikan peringatan, dan kemudian menjatuhkan hukumanNya karena warga dua kota itu tetap membandel. Hukuman kepada Sodom dan Gomorrah adalah dijungkirbalikkan dan dijatuhi batu bata yang panas terbakar.

Pada peristiwa Sodom dan Gomorrah, terlepas dari homoseksualitas, hukuman berupa tanah yang dijungkirbalikkan dan hujan batu yang membara, sebenarnya ada satu hal yang sering luput diceritakan, tetapi justru sangat penting. Hal yang sering, atau bahkan tidak pernah diceritakan oleh para pemuka agama dalam ceramah-ceramahnya mengenai isu LGBT adalah bahwa Sodom dan Gomorrah berada di zona seismik aktif yang sangat rawan gempa.

Lokasi Sodom, Gomorrah, dan Laut Mati

Dalam Al-Quran, Surat Hud, ayat 82, dengan jelas digambarkan bencana yang menimpa kaum Nabi Luth. Manakala hukuman Tuhan datang, maka negeri kaum Luth terjungkir yang semula berada di atas kini berada di bawah. Selain itu, wilayah tersebut dihujani pula dengan batu bata yang terbakar secara bertubi-tubi.

Gambaran dari peristiwa dalam ayat tersebut menunjukkan terjadinya gempa bumi yang dahsyat disertai dengan aktivitas volkanik di Danau Luth, di mana peristiwa ini terjadi.

Seorang ahli arkeologi dan penulis dari Jerman, Werner Keller meneliti secara intensif jazirah Arabia termasuk di lokasi yang tadinya berdiri Kota Sodom dan Gomorrah. Dia menulis bahwa Lembah Siddim, di mana Sodom dan Gomorrah berada hilang dalam satu hari. Kerusakan itu disebabkan oleh gempa yang dahsyat dan disertai dengan aktivitas vulkanik yang mengeluarkan ledakan, terlepasnya gas berbahaya, dan kebakaran.

Danau Luth atau lebih dikenal sebagai Laut Mati, tempat Sodom dan Gomorrah berada, berlokasi tepat di atas zona seismik aktif. Di sini pula bencana gempa bumi kerapkali terjadi. Danau berada di zona patahan yang membentang dari Danau Taberiye di utara dan Lembah Arabah di selatan.

Tumbukan antar lempeng di zona ini telah mengaktifkan kekuatan vulkanis yang selama ini diam di dasar patahan. Di bagian atas lembah Yordania dekat dengan kota Bashan, masih ditemukan bukti-bukti berupa kawah dari bekas gunung api, sebaran magma, dan lapisan tebal batu basalt yang diendapkan di permukaan lempung. Sebaran magma ini menjadi bukti nyata, bahwa letusan gunung api dan gempa bumi pernah terjadi di sini.

Danau Luth secara geologis sangatlah menarik. Danau tersebut kurang lebih berada 400 meter di bawah permukaan Laut Mediterania. Bagian danau yang paling dalam adalah 400 meter, sehingga dasar danau berada 800 meter di bawah permukaan Laut Mediterania. Fakta ini menunjukkan Danau Luth adalah titik terendah di bumi. Di lokasi lain, pada lokasi yang lebih rendah dari laut, rata-rata kedalamannya 100 meter.

Nama Laut Mati untuk Danau Luth sendiri berangkat dari kenyataan bahwa tidak ada organisme yang mampu hidup di sana. Hal ini disebabkan karena Kadar garam di Danau Luth sangatlah tinggi hingga mendekati 30%.

Diperkirakan peristiwa yang menimpa kaum Nabi Luth berlangsung pada tahun 1.800 sebelum Masehi. Hasil penelitian Keller menunjukkan bahwa Sodom dan Gomorrah berlokasi di Lembah Siddim. Ini adalah daerah terjauh dan terdalam dari Danau Luth, namun pernah menjadi lokasi yang besar dan padat penduduk.

Di sebuah bagian danau, semenanjung El Lisan menjorok jauh ke dalam air. El Lisan sendiri artinya lidah dalam Bahasa Arab. Di sisi sebelah utara dari semenanjung ini adalah tebing yang sangat curam hingga kedalaman 1.200 kaki. Sebaliknya di sisi selatan adalah tempat yang dangkal, memiliki kedalaman antara 50 sampai dengan 60 kaki. Keller meyakini bahwa di bagian yang dangkal dari semenanjung El Lisan hingga ujung selatan danau tersebut Lembah Siddim berada.

Bagian yang dangkal ini adalah bentukan baru yang merupakan hasil dari gempa bumi maha dahsyat yang menjungkirbalikkan lokasi ini. Di sinilah kota Sodom dan Gomorrah tempat kaum Nabi Luth pernah tinggal.

Para peneliti geologi menemukan, bahwa gempa yang menghancurkan kaum Luth adalah hasil dari patahan panjang di muka bumi. Garis patahan tersebut kurang lebih 190 kilometer yang menjadi dasar Sungai Sheri'at. Dasar sungai ini sendiri berada 180 meter di bawah permukaan laut. Fakta ini dan Laut Mati yang berada 400 meter di bawah paras laut adalah bukti-bukti lain, bahwa satu peristiwa geologi yang sangat dahsyat pernah terjadi di lokasi ini. Namun, para peneliti menemukan temuan-temuan tersebut baru beberapa waktu belakangan ini.

Menurut para ahli tersebut, patahan berawal dari pinggiran Gunung Taurus, melebar hingga ke sisi selatan Laut Mati, terus hingga melewati Gurun Arabia, Teluk Aqaba, menyeberang Laut Merah, dan berhenti di Afrika. Di sepanjang jalur patahan ini, ditemukan aktivitas volkanik yang sangat kuat. Batu Basalt hitam dan endapan lava ditemukan di Gunung Galilea di Israel, dataran tinggi Yordania, Teluk Aqaba, dan area lain di dekatnya.

Bencana Sebagai Hukuman dari Tuhan

Menghubungkan tindak tanduk manusia dengan hukuman dari Tuhan bukan hanya terjadi di Sodom dan Gomorrah. Di Itali, kota Pompeii juga mengalami nasib yang serupa. Di sana, kota itu hilang ditimbun material dari Gunung Vesuvius yang meletus. Hukuman itu diyakini terjadi karena warga Pompeii pun berdosa dan melakukan tindakan yang tidak senonoh. Rumah bordil tak terhitung banyaknya, persetubuhan dan organ intim lelaki dipertontonkan atas dasar kepercayaan yang warga yakini. 

Ketika Vesuvius meletus, warga seolah tak sadar. Beberapa temuan arkeologis menunjukkan fosil-fosil manusia yang seperti dibekukan, ada yang sedang berkumpul di meja makan, pulang dari pasar, ada pula yang sedang bercinta. Pendek kata, seoalah-olah mereka menjadi korban begitu saja tanpa ada peringatan sebelumnya.

Pada zaman dahulu, banyak peristiwa alam yang tidak bisa dijelaskan oleh manusia seperti gempa bumi dan letusan gunung api karena pengetahuan manusia belum sampai untuk mengetahui sebab-sebab kedua peristiwa ini. Akibatnya, banyak mitos, legenda, cerita, hingga dewa-dewa yang muncul untuk menutupi ketidaktahuan manusia tersebut. Sebagai contoh, orang Romawi mempercayai bahwa gunung berapi adalah rumah Vulcan, pandai besi para dewa, yang bekerja di bengkel raksasa di perut gunung, menyebabkan api menyembur dari cerobongnya (Brown, 2017).

Lompat ke masa kini, masih banyak di antara kita yang percaya bahwa gunung api, bumi, lautan, dan berbagai benda memiliki penunggunya masing-masing. Tidak hanya itu, banyak pula masyarakat yang percaya, bahwa satu jenis bencana terjadi sebagai hukuman langsung atas perbuatan manusia yang tidak mengindahkan perintah Tuhan. Hal itu terjadi, misalnya, ketika pembahasan mengenai LGBT dilakukan di MK dan DPR, kemudian terjadi Gempa di Tasikmalaya pada medio Desember yang lalu. Peristiwa yang sama kembali terulang manakala pembahasan LGBT kembali dilakukan dan gempa menggoyang Jakarta pada medio Januari 2018.

Peristiwa alam yang menyebabkan bencana juga kerap dihubung-hubungkan dengan suatu hal yang jauh berbeda, misalnya politik. Ada yang bilang jika seseorang tidak memilih pemimpin yang seiman, maka bencana akan menimpa orang tersebut.

Seiring berjalannya waktu dan perkembangan ilmu pengetahuan, kini kita mengerti, bahwa peristiwa alam yang menyebabkan bencana sejatinya tidak berhubungan langsung dengan tindakan manusia. Bahkan, boleh dikatakan tidak ada hubungannya.

Misalnya, mereka yang percaya bahwa LGBT menyebabkan gempa Tasikmalaya pada Desember, bagaimana mereka menjelaskan fenomena badai tropis Cempaka yang terjadi sebelumnya? Lagi-lagi, jika Anda percaya LGBT menyebabkan gempa yang mengguncang gedung tinggi di Jakarta, bagaimana Anda menjelaskan gempa dan tsunami maha dahsyat yang meminta korban warga Aceh dan Padang yang dikenal sangat religius? Masih ditambah lagi, jika mereka percaya LGBT menyebabkan gempa, bagaimana mereka menjelaskan Australia yang tidak pernah atau jarang diguncang gempa merusak, padahal negara itu menyetujui pernikahan sejenis? Terakhir, jika Anda telah berhasil memilih pemimpin yang seiman, kenapa bencana masih terjadi?

Pemahaman bahwa bencana terjadi karena ulah manusia seperti tersebut di atas, menurut saya keliru karena beberapa alasan. Pertama, kepercayaan tersebut bisa melemahkan kesiapsiagaan masyarakat. Misalnya, seseorang sangat percaya diri sudah melakukan semua perintah Tuhan, sehingga dia tidak merasa perlu untuk membangun rumahnya yang tahan gempa padahal dia tinggal di wilayah yang sangat rawan gempa. 

Kedua, kepercayaan tersebut bisa menimbulkan kecurigaan, perdebatan, dan perselisihan yang tidak perlu. Misalnya, manakala tetangga Anda LGBT, maka Anda membencinya karena khawatir bencana dapat terjadi dan berusaha mengusir atau menghindarinya. Ketiga, kepercayaan tersebut menyulitkan upaya penanggulangan bencana untuk menentukan daerah rawan bencana berdasarkan perilaku seseorang, karena sangat sulit untuk mengidentifikasi seseorang LGBT atau tidak.

Namun, pemahaman bahwa bencana terjadi karena ulah manusia bisa juga benar. Misalnya, ketika seseorang menebang pohon di hutan yang berfungsi untuk menyerap air dan menahan lereng agar tidak longsor dan banjir, membakar lahan dengan tidak bertanggung jawab dan menyebabkan kebakaran hutan dan lahan, membuang sampah di sungai yang menyebabkan banjir dan contoh-contoh lainnya.

Mengkritisi kepercayaan, dogma agama, dan pemahaman seseorang yang sudah mendarah daging memang tidak mudah dilakukan. Sebagai contoh, pada peristiwa erupsi Tahun 2010, Mbah Maridjan percaya akan selamat dari letusan dan memilih tetap bertahan di rumahnya. Namun, sayangnya kenyataan berbicara lain manakala letusan Merapi menyapa beliau dan beberapa warga yang lain.

Di sisi lain, ilmu pengetahuan yang bisa menjelaskan fenomena-fenomena alam tersebut terkadang sulit diterima oleh masyarakat yang sangat memegang teguh kepercayaan dan agamanya. Dalam novelnya Origin, Dan Brown menuliskan, bahwa sains dan agama tidak saling bersaing, mereka adalah dua bahasa berbeda yang berupaya menceritakan kisah yang sama. Sementara itu, di novelnya yang lain, Angels and Demons, dia menulis bahwa ilmu pengetahuan dan agama tidak bertentangan. Ilmu pengetahuan hanya terlalu muda untuk mengerti.

Tentang Homoseksualitas

Dalam hal homeseksual, setidaknya dari berbagai ayat yang termaktub di kitab suci masing-masing, ahli kitab dari Islam, Kristen, dan Yahudi sepakat. Mereka semua menyatakan bahwa para pelaku homoseksual adalah berdosa.

Dalam kenyataannya, homoseksual tidak sesuai dengan desain bawaan manusia. Lubang anus (rectum) tidak didesain sebagai tempat untuk menaburkan benih (sperma). Tidak ada manfaat yang dapat dipetik dari perbuatan ini. Sodomi justru menyebabkan kerusakan seperti luka, infeksi penyakit, serta disfungsi rectum dan anus. Oleh sebab itu, maka sodomi tidaklah natural, melanggar hukum alam, dan tidak rasional.

Sebaliknya, seorang pria yang berhubungan seks dengan wanita memiliki manfaat yang positif. Aktivitas ini jika dilakukan dengan benar tidak akan menyebabkan masalah kesehatan dan tidak menimbulkan efek samping lainnya. Kegiatan ini juga menghasilkan keturunan yang menjadi penyambung peradaban manusia, sehingga dapat melakukan fungsi-fungsi sosial sebagaimana seharusnya.

Homoseksual di sisi lain tidak menghasilkan keturunan, sehingga jika aktivitas sodomi dianggap sebagai sesuatu yang normal, maka hasil akhirnya adalah kepunahan manusia. Selain dampak kesehatan, para pelaku homoseksual juga cenderung mengalami rasa bersalah dan berdosa karena mereka tahu apa yang dilakukannya adalah keliru. Tidak jarang, mereka depresi dan sedih karena tidak mengetahui apa jalan keluar yang harus ditempuh.

Sebagian ahli berpendapat bahwa homoseksual adalah hasil dari pelajaran dan latihan, atau karena pengalaman traumatis mengalami kekerasan seksual pada saat kecil. Oleh karena itu, karena aktivitas ini hasil pelajaran, maka dapat pula belajar dan berlatih untuk berhenti melakukannya.

Kepada sesama muslim, Abu Khadeejah Abdul Walid, seorang ulama salafi berpesan, bahwa hal yang paling utama bagi seorang muslim adalah tauhid, yaitu percaya kepada satu Tuhan dan tidak mempersekutukanNya. Homoseksual adalah tindakan yang berdosa, namun jika seorang muslim percaya bahwa Allah adalah satu-satunya sesembahan, maka dia pun mengimani, bahwa hanya Dia yang tahu apa yang terbaik untuk ciptaanNya. Seorang muslim pun diingatkan untuk selalu melakukan apa yang diperintahkanNya dan menjauhi apa yang dilarang termasuk perbuatan dosa dan tidak pantas.

Penutup 

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, kini banyak kisah keagamaan dan kepercayaan yang bisa dijelaskan secara rasional. Hal ini termasuk kepercayaan bahwa perilaku manusia menyebabkan bencana terjadi terhadap mereka.

Zaman dahulu, seperti di Sodom, Gomorrah, dan Pompeii, masyarakat yang melakukan tindakan tidak sesuai dengan norma keagamaan dipercaya telah menerima hukuman dari Tuhan. Selain itu, dapat diduga mereka belum memahami mengenai daerah rawan bencana, peringatan dini, mitigasi, hingga upaya penanggulangan bencana, termasuk melakukan evakuasi.

Saat ini, ilmu pengetahuan telah membuka mata manusia, bahwa ada beberapa zona di bumi yang merupakan jalur tumbukan antar lempeng (subduksi), patahan aktif, dan zona bahaya gunung api, di mana sangat rawan terjadi gempa bumi, tsunami, dan erupsi. Manakala zona ini bergejolak dan manusia tidak siap serta tidak mampu menanggulanginya, maka bencana terjadi.

Kini kita paham, bahwa bencana dapat terjadi di mana saja dan menimpa siapa saja. Korban bencana tidak berdasarkan kesalehan seseorang, orientasi seksualnya, atau kepercayaan yang dianutnya. Namun, mereka yang menjadi korban adalah yang tinggal di daerah rawan bencana, dalam rumah yang tidak tahan menghadapi goncangan gempa, dan tidak mengetahui apa yang harus dilakukan manakala bencana terjadi.

Oleh sebab itu, terlepas dari berbagai atribut yang melekat pada seorang individu. Setiap orang yang tinggal di daerah rawan bencana hendaknya memahami kerawanan di lokasi tempatnya tinggal, memperkuat bangunan jika mereka tinggal di zona bahaya, hingga mengetahui berbagai upaya yang harus dilakukan, serta selalu meningkatkan kesiapsiagaan untuk menghadapi bencana yang dapat sewaktu-waktu terjadi.

Daftar Bacaan:

1. The People of Lut and The City which was Turned Upside Down

2. Dan Brown, 'Origin'

3. Dan Brown, 'Angels and Demons'

4. Homosexuality in Sodom and Gomorrah: The Prophet Loot (Lot) and his Daughters, between the Bible and the Qur'an

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun