Mohon tunggu...
Dewa Gilang
Dewa Gilang Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Single Fighter!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Charlie Hebdo, Ayat-ayat Setan dan Makna Kebebasan Pers

9 Januari 2015   15:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:29 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebuah pesawat jumbo jet bostan bernomer penerbangan AL-420 hancur di ketinggian 30.000 kaki. Dua orang penumpangnya, tanpa parasut dan sayap, jatuh sambil bernyanyi. Menembus pekatnya awan-awan malam di atas kota London sebelum terdampar dengan selamat di tepian pantai yang indah. Kedua orang itu bernama Jibril Farishta dan Saladin Chamcha. Melalui mimpi Jibril Faristha lah, penulis novel mulai bertutur. Membiarkan imajinasi liar nan najisnya tentang sosok Muhammad yang ditafsirkan oleh pembacanya sebagai Nabi Muhammad Saww.

Kisah di atas adalah penggalan dari novel "Satanic Verses" atau Ayat-ayat Setan karya Salman Rusdhie. Imajinasi liarnya tentang sosok dan kehidupan Nabi Muhammad Saww, yang dibalut dengan dalih retorika "kebebasan pers", telah berhasil menuai amarah dari seluruh muslim dunia. Saya sengaja menempatkannya sebagai pembuka karena novel itulah yang menjadi "pembuka" penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saww di abad modern sekaligus memicu "tradisi amuk" umat Islam takkala berhadapan dengan kasus-kasus semisalnya.

Ansich, kemudian, reaksi dan akibat yang harus diterima oleh Salman Rusdhie tak membuat jera para penghina Nabi Muhammad Saww. Setidaknya Charlie Hebdo, majalah dwi mingguan yang bermula pada tahun 1970, mengulanginya. Pada bulan Februari 2006, majalah satir ini mencetak ulang kartun Nabi Muhammad Saww yang pernah dimuat oleh harian Jyllands-Posten, Denmark. Kemudian pada bulan November 2011, Charlir Hebdo memuat kartun bergambarkan seorang pria berbusana Timur Tengah dengan banner bertuliskan Muhammad sebagai Chief Editor. Dalam gambar itu, pria tersebut mengatakan "100 cambukan jika anda tak mati ketawa".

Diduga kuat gambar kartun ini yang memicu amarah 3 pria hingga memberondong kantor Charlie Hebdo pada Rabu, 7/01/2015 kemarin lusa. 12 orang dikabarkan tewas, termasuk Pimpinan Redaksinya, Stephane Charbonnier. Kembali "tradisi amuk" menjadi solusinya dan lagi-lagi pembelaan datang dengan dalih "kebebasan pers". Muslim ditempatkan sebagai kelompok yang penuh amarah dan pemberangus "kebebasan pers" sedangkan mereka adalah korban dari "tradisi amuk" tersebut tanpa ada koreksi sedikit pun.

Sesungguhnya, bila jujur, saya, anda dan kita selaku muslim, selalu menghadapi dilema di saat berhadapan dengan kasus-kasus semacam itu. Di satu sisi kita mengutuk segala aksi anarkisme dan mengedepankan "tradisi amuk" dalam menyelesaikan persoalan-persoalan pelecehan terhadap sosok yang paling kita cintai, sembari Nabi tidak pernah mengajarkan demikian. Bukankah bertebaran riwayat-riwayat pelecehan dan penghinaan yang harus diterima oleh Baginda Nabi Saww semasa Beliau hidup, dan bertebaran pula riwayat Nabi Saww memaafkannya. Membiarkan pelakunya tanpa ada hukuman fisik atas dasar menghina pribadi Beliau.

Namun, di sisi lain, kita juga geram terhadap mereka-mereka yang amat gemar mengolok-ngolok Islam dengan melecehkan pribadi yang paling dihormati oleh setiap individu muslim sembari berlindung di balik tameng "kebebasan berekspresi". Di sini kita berhenti sejenak untuk sekedar bertanya, "Adakah kebebasan tanpa batas?" Kebebasan dalam arti meski itu mencederai, menyakiti, mengolok-ngolok pribadi atau keyakinan.

Medio silam, majalah Perancis, Closer, menayangkan foto telanjang dada Kate Midletton. Publik Inggris marah luar biasa. Mereka menganggapnya sebagai pelecehan terhadap pribadi calon ratu mereka. Bahkan pihak keluarga Kerajaan Inggris membawanya hingga ke ranah hukum jika majalah itu tidak menarik foto syur tersebut. Tidak ada lagi dalih "kebebasan pers" dan "kebebasan berekspresi" untuk kasus itu.

Atau pada Januari 2005, ketika tabloid "The Sun" menayangkan foto Pangeran Harry sedang bergaya sembari memakai seragam Nazy. Ribuan protes keras harus diterima oleh tabloid itu. Bahkan serangkaian ancaman pun diterima. Walhasil tabloid "The Sun" mengaku khilaf dan serta merta meminta maaf atas foto yang -menurut mereka- telah menyakiti perasaan orang Yahudi.

Berbanding terbalik, standar ganda diterapkan bagi umat Islam. Ketika muslim marah karena Nabinya dilecehkan sedemikian rupa, maka tameng bernama "kebebasan pers" dan "kebebasan berekspresi" segera dibangun sekokoh dan sedini mungkin. Lalu inikah makna dari kebebasan tanpa batas itu?

Mirisnya, muslim selalu terprovokasi oleh aksi-aksi demikian. Seyogyanya muslim mulai belajar dari kasus-kasus tersebut untuk menyikapinya dengan "tradisi" yang lebih elegan. Apakah dengan melakukan aksi anarkis maka pelecehan terhadap Nabi niscaya berhenti? Apakah "tradisi amuk" sanggup memberikan efek jera terhadap mereka yang selama ini "gatal" terhadap Islam? Tidak! Stigma negatif justru melekat kepada muslim.

Lebih baik muslim fokus untuk membangun umat, memajukan ekonomi dan menggalakan pendidikan, berbasah kuyup dengan aksi-aksi kemanusian ketimbang mengurusi soal pelecehan terhadap Islam. Kalaupun kita marah dan merasa geram, maka wujudkan dalam aksi-aksi yang damai nan jauh dari anarkisme. Bukankah itu lebih mencerminkan kecintaan terhadap Nabi ketimbang memajukan "tradisi amuk" yang sesungguhnya diinginkan oleh mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun