Mohon tunggu...
Pakro Wangka
Pakro Wangka Mohon Tunggu... Orang gila

Aku ingin menulis tentang apa saja yang aku mau.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Di Hadapan Sajadah Kosong dan Dunia yang Kita Cipta | Pakro Wangka.

14 Oktober 2025   18:46 Diperbarui: 14 Oktober 2025   18:46 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambarsenja dan hamparan sajadah oleh pakro wangka. 

Kita hidup di zaman ketika keindahan alam hanya jadi latar belakang selfie, bukan lagi tempat kontemplasi. Ketika senja yang dulu disambut dengan syukur dan ketenangan kini hanya dianggap sebagai background aesthetic untuk menyempurnakan feed media sosial. Matahari kembali ke peraduannya tak lagi diiringi rasa syukur, hanya sekadar nyanyian ringan yang tak benar-benar dimaknai. Bulan yang dulu jadi penanda waktu berdoa, kini hanya bunga malam yang kita abaikan dari balik kaca gedung tinggi.

Kebenaran bukan lagi sesuatu yang dicari dengan hati terbuka. Ia dijadikan hak milik oleh mereka yang bersuara paling nyaring dan bergolongan paling besar. Kita menciptakan tuhan-tuhan baru bukan dari emas dan batu seperti zaman kuno, tapi dari layar-layar ponsel, dari algoritma, dari trending topik. Ketuhanan menjadi topik dalam buku pelajaran, bukan dalam kehidupan. Tuhan hanya disebut ketika perut kosong, bukan ketika hati lapar akan makna.

Kita membakar gunung, membelah bukit, menenggelamkan laut demi bangunan megah dan angka-angka ekonomi. Lalu kita berpura-pura terkejut saat bencana datang, menyalahkan takdir Tuhan atas kehancuran yang jelas kita buat sendiri. Ironis. Kita berdoa dengan sajadah yang dibeli kredit, kopyah berdebu yang teronggok di lemari menyimbolkan iman yang hanya hidup saat sedang dibutuhkan.

Sementara itu, sekte-sekte baru lahir dari kekosongan spiritual yang kita ciptakan sendiri. Ada yang menyembah api rokok demi pelarian, ada yang menyembah aplikasi demi validasi. Surga kita bukan lagi di langit, tapi di ujung jari. Kita menukar iman dengan diskon besar-besaran, dan menelan gengsi demi tampilan. Hati nurani dijual dalam janji-janji politik yang dibuat bukan untuk ditepati, tapi untuk direbut.

Dan di tengah semua itu, kita rayu para malaikat bukan dengan doa, tapi dengan citra. Bukan dengan kesucian, tapi dengan strategi. Kita ingin surga, padahal kita tak pernah memperbaiki dunia. Kita lari dari neraka yang kita ciptakan sendiri, berharap selamat tanpa pernah benar-benar bertobat.

Pada akhirnya, kita bukan kehilangan Tuhan kita justru mengabaikannya. Kita bukan tak tahu kebenaran kita hanya tak siap menerimanya. Dunia ini adalah cerminan dari keputusan kita, memilih kenyamanan semu ketimbang keberanian untuk berubah. Dan jika bencana datang, bukan karena Tuhan membenci kita tapi karena kita terlalu sibuk menjadi tuhan atas hidup sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun