Mohon tunggu...
Devy Puspita
Devy Puspita Mohon Tunggu... Content Writer

just; chocolate, ice cream, and strawberry.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Tengah Era Cancel Culture, Maukah Kita Belajar dari Akhlak Rasulullah?

7 Oktober 2025   09:08 Diperbarui: 7 Oktober 2025   09:08 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto seorang perempuan memegang handphone (Sumber: Pexels/Mukhtar Shuaib Mukhtar). 

Di era ketika jari-jari bisa menyalakan api kebencian hanya lewat satu komentar, kita hidup di zaman yang serba mudah untuk menghakimi. Salah sedikit, viral. Bicara tanpa konteks, dibenci. Kesalahan masa lalu diungkit seolah manusia tak punya ruang untuk tumbuh. Beginilah wajah baru masyarakat digital: cepat menilai, lambat memahami.

Fenomena ini dikenal dengan istilah cancel culture --- budaya "membatalkan" seseorang karena dianggap salah, meski kadang tanpa memberi kesempatan untuk memperbaiki. Kita hidup di antara dua ekstrem: satu pihak merasa benar dengan menyerang, dan pihak lain diam-diam menelan luka karena tak lagi dipercaya.

Namun, di tengah gelombang kebencian yang mengeras ini, barangkali sudah waktunya kita menoleh ke sosok yang pernah menghadapi kebencian jauh lebih dahsyat: Rasulullah Muhammad SAW.

Dibenci, Dihina, Tapi Tetap Mendoakan

Dalam sejarah hidupnya, Rasulullah bukan hanya dicaci atau ditolak --- beliau pernah dilempari batu hingga berdarah di Thaif. Namun, ketika malaikat menawarkan untuk membalas, beliau berkata lembut:

"Jangan. Aku berharap, dari keturunan mereka akan lahir orang-orang yang beriman."


Bayangkan: di saat disakiti, beliau justru berdoa agar pelaku diberi petunjuk. Tidak ada dendam, tidak ada serangan balik. Yang ada hanyalah kasih yang melampaui logika manusia.

Kisah itu bukan sekadar romantisme sejarah. Ia adalah pelajaran abadi: bahwa kebencian tidak pernah bisa dipadamkan dengan kebencian.

Refleksi di Tengah Dunia yang Cepat Menghakimi

Kita mungkin tak akan dilempari batu seperti Rasulullah, tapi setiap hari, hati kita bisa terluka oleh kata-kata. Kadang dari orang asing di media sosial, kadang dari orang yang kita kenal sendiri. Dan jujur saja --- sering kali kita pun menjadi bagian dari mereka yang tanpa sadar ikut melempar "batu digital": komentar sinis, sindiran halus, atau ikut menghujat tanpa tahu kebenaran.

Di era cancel culture, banyak orang kehilangan ruang untuk introspeksi karena dunia sudah keburu menghukum. Padahal, Rasulullah mengajarkan sebaliknya:

"Barang siapa menutupi aib saudaranya, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat."

Kita sibuk membongkar kesalahan orang lain, tapi lupa memperbaiki kekurangan diri sendiri. Kita ingin dianggap benar, tapi enggan bersabar seperti Rasul yang bahkan mencintai mereka yang membencinya.

Akhlak yang Terlupakan

Memaafkan bukan berarti setuju dengan kesalahan. Tapi menahan diri agar tidak menambah luka. Rasulullah tidak diam karena takut --- beliau diam karena bijak. Di balik kesabarannya, ada keberanian moral yang tak tergoyahkan: keberanian untuk tetap berbuat baik meski disakiti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun