Nama Rabiah juga hadir dalam literatur populer. Cerita tentang kesederhanaannya, tentang malam-malam panjangnya yang dipenuhi doa, menjadi bagian dari narasi budaya yang terus diceritakan ulang dari generasi ke generasi. Bahkan dalam film, teater, dan novel, sosoknya sering dimunculkan sebagai simbol cinta murni.
Relevansi untuk Zaman Modern
Hari ini, ketika dunia dipenuhi ketergantungan pada materi, status sosial, dan pencarian kebahagiaan semu, ajaran Rabiah terasa sangat relevan. Ia mengingatkan bahwa cinta adalah inti dari keberagamaan, dan bahwa kebahagiaan sejati lahir dari penyerahan diri sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa.
Lebih jauh lagi, kisah Rabiah juga memberi inspirasi sosial: bahwa seorang perempuan miskin bisa menjadi tokoh besar yang dikenang sepanjang masa. Ia membuktikan bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh harta atau kedudukan, tetapi oleh ketulusan dan kedalaman jiwa.
Penutup
Rabiah al-Adawiyah bukan hanya seorang sufi perempuan dari Basrah. Ia adalah simbol cinta, keikhlasan, dan keberanian melampaui batas zamannya. Ajarannya tentang cinta Ilahi mengajarkan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan seharusnya tidak didasarkan pada rasa takut atau pamrih, melainkan pada kasih yang tulus.
Dalam setiap doa yang dipanjatkannya, kita bisa merasakan getaran keikhlasan yang melampaui abad. Rabiah telah wafat lebih dari seribu tahun lalu, tetapi warisan sosial-budaya dan spiritualnya tetap hidup, menyinari jalan mereka yang mencari cinta sejati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI