Mohon tunggu...
Desyta Restu Aji
Desyta Restu Aji Mohon Tunggu... Mahasiswi

-

Selanjutnya

Tutup

Hukum

General Review Mata Kuliah Hukum Dan Masyarakat.

10 Juni 2025   14:23 Diperbarui: 10 Juni 2025   14:23 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Assalamu'alaikum Wr.Wb

Perkenalkan saya Desyta Restu Aji, saya seorang Mahasiswi di UIN Raden Mas Said Surakarta, Prodi Hukum Ekonomi Syari'ah, Fakultas Syari'ah. Disini saya akan sedikit mereview mata kuliah Hukum dan Masyarakat yang diampu oleh Bapak Dosen Dr. Muhammad Julijanto, S.Ag., M.Ag. Langsung saja, saya akan menjelaskan sedikit mengenai pembelajaran yang saya dapatkan selama satu semester pada mata kuliah Hukum dan Masyarakat ini. 

Pada pertemuan pertama kita membahas mengenai Hukum dan Masyarakat (Sosiologi Hukum) yang dimana Hubungan antara hukum dan masyarakat bersifat timbal balik. Hukum dibentuk berdasarkan nilai dan kebutuhan sosial, sementara masyarakat mematuhi dan dipengaruhi oleh hukum yang berlaku. Ketika hukum ditegakkan secara adil dan efektif, ia mampu mencegah konflik, melindungi hak individu, serta mendorong stabilitas sosial dan ekonomi. Sebaliknya, kegagalan penegakan hukum bisa memicu ketimpangan, ketidakamanan, dan hilangnya kepercayaan publik. Hukum merupakan seperangkat aturan yang bertujuan mengatur perilaku masyarakat demi menciptakan ketertiban, keadilan, dan kesejahteraan. Hukum dan masyarakat memiliki hubungan yang erat dan saling memengaruhi. Masyarakat membentuk hukum berdasarkan nilai-nilai sosial, sementara hukum berperan menjaga keteraturan dan melindungi hak individu. Sosiologi hukum mempelajari hukum dalam konteks sosial secara empiris, bukan hanya sebagai norma tertulis, tetapi sebagai fenomena yang hidup dalam masyarakat. Ilmu ini membantu memahami bagaimana hukum diterapkan, bagaimana masyarakat meresponsnya, dan bagaimana hukum harus beradaptasi dengan perubahan sosial. Dengan memahami sosiologi hukum, kita dapat merumuskan kebijakan hukum yang lebih adil, relevan, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.

Hukum dan masyarakat saling berkaitan erat. Hukum berfungsi sebagai alat pengatur, pengendali, dan pendorong perubahan sosial. Efektivitas hukum sangat bergantung pada kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap aturan yang berlaku. Namun, penerapan hukum menghadapi berbagai kendala seperti kurangnya pemahaman hukum, penyalahgunaan kekuasaan, dan ketidakadilan sistem peradilan. Solusinya adalah meningkatkan kesadaran hukum di tingkat individu agar masyarakat lebih taat dan terlindungi dari ketidakadilan.

Dalam kajian hukum, terdapat dua pendekatan utama yang sering digunakan, yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif menekankan analisis terhadap hukum sebagai norma atau aturan tertulis. Kajian ini berfokus pada peraturan perundang-undangan, doktrin hukum, asas hukum, dan putusan pengadilan. Pendekatan ini bersifat teoritis dan digunakan untuk memahami isi hukum secara formal sesuai ketentuan yang berlaku. Sebaliknya, pendekatan yuridis empiris melihat hukum sebagai perilaku sosial yang hidup di tengah masyarakat. Pendekatan ini mengamati bagaimana hukum diterapkan dan berfungsi dalam praktik kehidupan nyata. Dalam pendekatan ini, hukum tidak hanya dilihat dari teks, tetapi juga dari pelaksanaannya dalam situasi konkret, termasuk faktor sosial, budaya, dan ekonomi yang memengaruhinya. Kedua pendekatan ini saling melengkapi. Yuridis normatif penting untuk memahami dasar dan struktur hukum secara formal, sementara yuridis empiris membantu mengevaluasi efektivitas hukum di lapangan. Melalui kombinasi keduanya, kita dapat memperoleh pemahaman hukum yang lebih utuh dan relevan dengan realitas masyarakat.

Positivisme hukum adalah aliran yang menganggap hukum sebagai aturan tertulis yang harus ditaati tanpa mempertimbangkan nilai moral. Pendekatan ini menekankan kepastian dan logika hukum, tetapi cenderung kaku serta kurang responsif terhadap perubahan sosial. Tokohnya antara lain John Austin, Hans Kelsen, dan H.L.A. Hart. Meskipun memberikan kejelasan hukum, pendekatan ini perlu dilengkapi dengan nilai keadilan agar hukum tetap relevan dan humanis.

Sociological Jurisprudence adalah aliran pemikiran hukum yang menekankan bahwa hukum harus sesuai dengan kehidupan masyarakat. Aliran ini menilai hukum sebagai alat rekayasa sosial untuk memenuhi kebutuhan sosial, bukan sekadar aturan tertulis. Tokoh utamanya adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound. Fokus utama aliran ini adalah pada "living law" atau hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Mazhab Living Law menekankan bahwa hukum lahir dari praktik sosial dan adat yang hidup di masyarakat, bukan hanya dari aturan tertulis. Sedangkan Utilitarianisme menilai hukum dari sejauh mana hukum itu membawa manfaat terbesar bagi banyak orang. Keduanya memberikan pandangan bahwa hukum harus sesuai dengan realitas sosial dan mengutamakan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia, konsep Living Law sangat relevan karena mengakomodasi hukum adat, sementara prinsip Utilitarianisme sering digunakan dalam kebijakan publik demi kebaikan bersama.

Emile Durkheim membagi solidaritas sosial menjadi dua: mekanik dan organis. Solidaritas mekanik muncul di masyarakat sederhana dengan kesamaan nilai, sedangkan solidaritas organis berkembang di masyarakat kompleks melalui pembagian kerja. Sementara itu, Ibnu Khaldun memperkenalkan konsep ashabiyah, yaitu ikatan sosial yang memperkuat persatuan kelompok, baik melalui kekerabatan, kesetiaan, atau persekutuan. Kedua tokoh ini menekankan pentingnya ikatan sosial dalam menjaga stabilitas dan kekuatan masyarakat.

Max Weber melihat hukum sebagai bagian dari dominasi sosial yang rasional dan sistematis. Ia menekankan bahwa hukum modern lahir dari proses rasionalisasi dan didukung oleh otoritas legal-rasional. Sementara itu, H.L.A. Hart memperbarui positivisme hukum dengan membedakan antara aturan primer dan sekunder, serta memperkenalkan konsep rule of recognition sebagai dasar validitas hukum. Keduanya memisahkan hukum dari moral secara konseptual, namun tetap mengakui pentingnya legitimasi hukum dalam konteks sosial. Pendekatan Weber yang sosiologis dan Hart yang analitis-filosofis saling melengkapi dalam memahami hukum modern.

Efektivitas hukum adalah kemampuan hukum mencapai tujuan sosial melalui interaksi teks, implementasi, dan dampak sosialnya. Faktor penentu efektivitas hukum meliputi kejelasan peraturan, kapasitas penegak hukum, dan kesadaran masyarakat. Soerjono Soekanto mendefinisikan efektivitas sebagai sejauh mana hukum mengatur perilaku masyarakat sesuai harapan. Faktor-faktor utamanya adalah substansi hukum yang jelas (kejelasan, konsistensi, relevansi, kualitas perumusan), struktur hukum yang berfungsi (kapasitas aparat, koordinasi, sumber daya), serta budaya hukum dan kesadaran masyarakat (pemahaman, partisipasi aktif, pendidikan). Selain itu, pengaruh sosial, ekonomi, dan politik (ketidakstabilan politik, konflik sosial, ketimpangan ekonomi) juga memengaruhi efektivitas hukum. Strategi untuk mengatasi ketimpangan hukum meliputi peningkatan kesadaran hukum, kualitas SDM hukum, aksesibilitas hukum, serta transparansi dan akuntabilitas. Di Indonesia, relevansi efektivitas hukum dipengaruhi oleh faktor internal (kualitas peraturan, aparat) dan eksternal (kondisi sosial, ekonomi, politik), serta adaptasi hukum terhadap kemajuan teknologi.

Hukum berperan sebagai kontrol sosial yang mengatur perilaku masyarakat untuk menjaga ketertiban, keadilan, dan melindungi hak individu. Fungsinya tidak hanya melalui norma hukum, tetapi juga norma sosial, agama, dan budaya. Namun, efektivitasnya terhambat oleh pelanggaran, penyalahgunaan kekuasaan, dan penafsiran hukum yang tidak seragam. Keberhasilan hukum sangat bergantung pada penegakan yang konsisten, integritas aparat, dan kesadaran masyarakat.

Pluralisme hukum mengakui keberadaan lebih dari satu sistem hukum dalam satu wilayah atau masyarakat, fenomena yang sangat relevan di Indonesia karena keragaman budaya, agama, dan sejarah kolonialisme. Konsep ini menantang pandangan hukum tunggal, mengkaji hubungan masyarakat majemuk dengan berbagai sistem hukum yang ada, serta menjelaskan bagaimana sistem-sistem hukum ini bekerja bersama untuk mencapai tujuan sosial. Di Indonesia, pluralisme hukum mendorong integrasi antara hukum adat, hukum nasional, dan peradilan adat, yang berorientasi pada kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial. Tiga sistem hukum utama yang diakui dan saling berinteraksi adalah hukum adat, hukum Islam, dan hukum positif, dengan hukum positif sebagai landasan tertulis yang mengharmoniskan keberagaman. Implikasi dari pluralisme hukum mencakup keadilan yang lebih sesuai dengan konteks lokal, pengakuan identitas lokal, dan pengelolaan konflik yang efektif.

Hukum Progresif adalah pendekatan hukum yang beradaptasi dengan perubahan sosial, mengutamakan keadilan substantif dibandingkan kepastian hukum yang kaku, serta mendorong peran aktif penegak hukum sebagai agen perubahan yang humanis. Ini diwujudkan melalui interpretasi hakim yang mempertimbangkan aspek sosial, penerapan restorative justice, reformasi kebijakan, dan partisipasi publik. Tujuannya adalah menjadikan hukum sebagai alat kesejahteraan sosial yang melindungi kelompok rentan dan mengurangi ketimpangan.

Pendekatan socio-legal merupakan alternatif yang menganalisis kajian doktrinal terhadap hukum. Istilah socio

dalam studi sosio-legal menggambarkan hubungan antara hukum dan konteks dimana hukum itu berada atau beroperasi. 

Teori Sociolegal studies ini ada 3 yang meliputi 

1. teori struktural fungsional 

2. teori konflik

3. teori interaksi simbolik 

Pendekatan sosiologis dalam studi Hukum Islam mengkaji hukum sebagai produk interaksi antara teks agama dan realitas sosial, bukan sekadar norma. Tujuannya adalah agar hukum Islam kontekstual dan adaptif terhadap dinamika sosial, budaya, ekonomi, dan politik masyarakat. Implementasinya terlihat pada lembaga keuangan syariah dan perubahan batas usia pernikahan di Indonesia. Pendekatan ini didasari teori fungsional, interaksionisme, dan konflik. Kelebihannya adalah relevansinya dalam pengembangan hukum Islam terkait masalah sosial, namun memiliki kekurangan dalam penerapan teori Barat di wilayah Timur.

Berikut adalah sedikit pemaparan mengenai materi yang saya review selama satu semester pada mata kuliah Hukum dan Masyarakat, cukup sekian

Wassalamu'alaikum Wr.Wb

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun