Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Suka Duka di Sekolah Negeri

6 Juni 2022   03:08 Diperbarui: 6 Juni 2022   06:51 3677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://duniachybill.wordpress.com/

Memutuskan kedua anakku bersekolah di negeri bukanlah tanpa pemikiran matang.  Sekalipun rencana ini sudah diputuskan sejak keduanya di plagroup.  Bahwa nanti jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) mereka lanjut di negeri.  Pertimbangan awalnya, adalah keluar dari zona nyaman.  Kemudian seiring waktu berkembang bahwa mengejar bangku Perguruan Tinggi Negeri (PTN) nampaknya lebih terakomodir di SMA negeri ketimbang swasta.

Jika dipikir-pikir untuk apa juga sudah nyaman di swasta kok memilih di negeri.  Sementara di sekolah asal keduanya fasilitas pendidikan super lengkap.  Dimulai dari plagroup hingga SMA berada di dalam satu lokasi, dengan keamanan yang terjamin.

Inilah yang terjadi, kedua buah hatiku total 13 tahun berada di lingkup yang sama.  Bisa dikatakan teman-temannya nyaris semuanya sama. Demikian juga tenaga pengajarnya bukanlah wajah baru.  Katakanlah ketika keduanya di playgroup saja tenaga pengajar hingga SMA sudah kerap kali berpapasan.  Terekam tanpa disadari, sehingga artinya bukanlah wajah yang asing bagi mereka dikemudian hari.

Aku ingat, ketika itu ada reaksi berlebih di lingkungan pertemananku saat mengetahui putri sulungku lanjut ke SMA negeri.  "Kenapa sih, elo bermasalah dengan uang sekolah yah?  Iih...kok tega sih menyekolahkan di negeri.  Anak-anak negeri khan barbar."  Kemudian, ada lagi yang tak kalah kocaknya, "Jelaslah elo di negeri pasti aman. Sekalipun non-Muslim, elo khan pribumi, tidak seperti kami bermata sipit. Kalau anak kami, selesailah di bully anak-anak negeri."  

Miris mendengarkan suara demikian.  Walau tidak dapat diingkari fakta minoritas kerap menjadi warga ada dan tiada di negeri ini.  Tetapi, di saat bersamaan juga ngakak sambil mengelus dada.  Di zaman semaju ini ternyata masih ada pendapat sekocak itukah.

Belum lagi "beban" label sekolah swasta sebagai sekolah anak orang kaya.  Sekolah anak baik-baik, dan bahkan sekolah anak etnis China. Mengenai ini diantara iya dan tidak.  Sebab, di sekolah asal kedua anakku, mayoritas etnis China dan beragama non-Muslim. Lha..iyalah....karena memang merupakah sekolah Katholik.

Tetapi, bukan komentar kocak tersebut yang membuatku memutuskan si sulung lanjut ke SMA Negeri.  Melainkan, aku ingin putriku dan juga adeknya mengenal lebih beragam perbedaan.  Dimulai dari keyakinan, etnis dan status sosial.  Hal yang sulit didapat jika mereka masih berada di sekolah asalnya.

Bonus lainnya, daya juang.  Faktanya anak yang bersekolah di negeri mayoritas mengejar PTN.  Sehingga umumnya mereka akan bersungguh-sungguh belajar.  Setidaknya langkah awal mereka mengejar bangku jalur undangan atau Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).  Kemudian lanjut siap merebut bangku PTN lewat UTBK (Ujian Tulis Berbasis Komputer).

Sangat berbeda dengan umumnya anak swasta yang dimanjakan materi sehingga tinggal memilih PTS (Perguruan Tinggi Swasta) sesuka hatinya.  

Ibaratnya tinggal menyesuaikan dengan kantong orang tuanya saja.  Jarang ditemui daya juang meraih perguruan tinggi terlihat di SMA Swasta.  Parahnya, bahkan tidak sedikit dari anak-anak ini hanya mengejar selembar ijazah karena hanya menunggu waktu saja warisan untuk meneruskan perusahaan orang tuanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun