Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kantin Kejujuran 2000 Rupiah

9 Desember 2021   04:24 Diperbarui: 9 Desember 2021   05:44 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: www.kennywiston.com

Istilah kantin kejujuran mungkin tidak asing bagi sebagian dari kita.  Aku kebetulan mengenalnya di toko sekolah anakku ketika mereka masih di bangku SMP.   Dagangan yang dijual tidak mewah, hanya sekitar Rp. 2000 dan diletakkan dekat mesin pendingin minuman.

Tanpa penjaga, siapa saja yang berminat silahkan mengambil, dan meletakkan pembayaran dalam kotak tersedia.  Sesederhana itu, namun yang mewah disini adalah nilai kejujurannya.  Nilai yang tidak bisa dibeli dan tidak ternilai harganya dalam kemasan sekantong kacang goreng.

Sekilas saja, jika dipikir kurang bagaimana kita mengenal dan mendengar kejujuran.  Kita bahkan tumbuh dengan nilai ini.  Persisnya, sedari kecil kita terdidik oleh orang tua untuk jujur.  Apalagi, kalau kita bicara dari sudut pandang agama.  Apapun keyakinan kita, semua agama mengajarkan nilai kejujuran.  Sehingga harusnya kita sangat kenyang dengan nilai-nilai ini.

Sayangnya tidak demikian dalam praktek di kehidupan nyata.  Berbagai bentuk penyelewengan kejujuran terjadi, dan salah satunya korupsi.  Berasal dari Bahasa Latin, corruption.  Korupsi berarti memperkaya diri sendiri atau mengutamakan kepentingan pribadi.

Menurut UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubahkan dalam UU No. 20 tahun 2001.  Dirumuskan tiga puluh tindak pidana korupsi yang disederhanakan dalam 7 kelompok besar, yaitu:

  1. Kerugian keuangan negara
  2. Suap menyuap
  3. Penggelapan jabatan
  4. Pemerasan
  5. Perbuatan curang
  6. Kepentingan dalam pengadaan
  7. Gratifikasi

Tetapi menurutku, kejujuran bukan teori yang cukup diajarkan ibarat ritual.  Tetapi kejujuran adalah praktek keteladan yang diwariskan, menjadi contoh kepada generasi berikutnya.

Kenapa aku mengatakan demikian, karena memang demikianlah yang dilihat oleh generasi saat ini.  Anak-anak terdidik dengan nilai kejujuran tetapi dikecewakan lewat prilaku orang-orang dewasa, atau "orang besar" yang dengan seenaknya menghabiskan uang rakyat misalnya.

Jamak jika beberapa anak sekolah zaman now tidak peduli arti kejujuran, dan melakukan praktek suap demi menyelesaikan ulangan, ataupun tugas sekolah.  Naifnya, sesumbar kita mengatakan ini tidak jujur?

Kita lupa atau mencoba buta, bahwa seiring zaman, generasi pun semakin kritis.  Mereka tidak buta dan tuli, melainkan mendengar serta melihat pembiaran prilaku korupsi di keseharian dan menyedihkannya dianggap normal.

Sehingga jangan bandingankan satu dua soal contekan seharga Rp 5000 dengan anggaran miliaran yang raib tanpa proses hukum, dan cengar cengir para koruptor ketika tertangkap KPK.  Itupun masih tanda tanya besar kelanjutan proses hukumnya. 

Ironis, bak langit dan dasar sumur membandingkannya dengan nasib Saulina Boru Sitorus atau yang sering disapa Oppu Lindu.  Nenek berusia 92 tahun yang divonis 1 bulan 14 hari penjara oleh Pengadilan Negeri Balige, Toba Samosir, Sumatera Utara.  Penyebabnya karena sang nenek menebang pohon durian sebesar lima inci milik kerabatnya.

Inilah potret bangsa ini menempatkan hukum, sehingga tidak heran jika korupsi di negeri ini merajalela.  Kenapa, karena banyak faktor penyebabnya, misalnya: keserakahan, kekuasaan, kesempatan dan kebutuhan.  Secara garis besar perilaku korupsi terjadi karena sikap mental materialistik dan konsumtif di masyarakat serta sistem politik yang masih mendewakan materi.

Singkatnya kantin kejujuran membawaku kembali kepada cerita sebuah toko kue di Bogor setelah 3 tahun.  Berawal ketika itu bersama kedua teman, aku mampir di sebuah toko kue membeli oleh-oleh.  Di saat bersamaan kami mengganjal perut mencicipi beberapa kue. Tetapi setelah sampai di Jakarta kami terlupa untuk membayar kue yang kami nikmati di toko tersebut.  Maka kami sepakat siapapun diantara kami ke Bogor entah kapan, tolong sempatkan mampir.

Rupanya akulah yang kebetulan kembali berkunjung ke Bogor.  "Mbak, maaf ini Rp 15,000 untuk kue yang saya bersama teman nikmati 3 tahun lalu."  Hehehe...si mbak yang melayani tampak bingung, tetapi aku memaksa.  Sementara kedua anakku yang menemani melihat aksiku penuh tanya.

Singkat cerita aku menjelaskan kepada mereka.  Ini bukan soal nominal, tetapi ini soal kejujuran.  Mungkin si mbak toko sudah lupa.  Tetapi aku bersama kedua temanku tidak.  Kami sadar belum membayar, dan bagi kami ini korupsi.  Lain halnya jika kami tidak memungkinkan atau tidak berkesempatan untuk kembali membayar.

Di atas itu, bagiku ini soal bagaimana aku menginginkan anakku melihatku sebagai teladan.  Membedakan antara hitam dan putih di luar sana.  Tidak ada abu-abu di mata hukum, dan terlebih mengenai nilai kebenaran serta kejujuran.

Mungkin aku tidak bisa mengubah dunia.  Tetapi, aku bisa mengubah sudut pandang anakku berprilaku untuk tidak menjadi bagian dari kesalahan dunia.

Bukan apatis, hukum adalah produk manusia, mematuhinya juga tergantung kepada manusia itu sendiri.  Sebab, kejahatan akan selalu menemukan celahnya di setiap kesempatan, kerakusan dan keserakahan manusia.

Sehingga menurutku, kembalikan saja nilai kejujuran kepada masing-masing pribadi.  Seperti halnya sebungkus kacang goreng seharga Rp 2000 di pojok toko sekolah anakku.  Bukan nominal yang berbicara, tetapi bagaimana diri kita dibentuk.

Jakarta, 9 Desember 2021

Sumber:

www.kennywiston.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun