Apakah aku dipecat karenanya? Â Tidak sama sekali, aku bahkan tidak menghiraukannya yang memintaku kembali ke ruang rapat. Â Membiarkan mereka para petinggi melanjutkan rapat tanpa notulen. Â
Kocaknya, ketika rapat berakhir beberapa dari petinggi "Country Manager" menghampiri ruangku, "Well done, unbelievable," sebuah senyum terlukis di wajah mereka mendukungku.
Suasana antara aku dan Mr. Boss sore itu pun tegang. Â Singkat cerita, kembali cair ketika dengan sportif si Pak Boss bule menghampiri ruangku. Â "Not sure if you accept my apology. Â
My silly colleague, he just told me that he forgot emailing me. Â No wonder, you can't even find it dear. Â Bla...bla...bla..."
Menariknya disini adalah budaya. Â Bagiku, tidak bisa dibenarkan mempermalukan siapapun di depan orang banyak. Â Apalagi dengan mengatakan seolah aku "blind" buta. Â Walaupun itu sebuah ekspresi marah. Â Kejadian ini sebenarnya pernah beberapa kali terjadi, tetapi dalam skala kecil. Â Hanya perdebatan kerja diantara kami, dan aku anggap lumrah berbeda pendapat.
Semua aku coba tolerir, karena pertimbangan karakter dan budaya. Â
Tetapi, puncaknya adalah rapat besar. Â
Aku dipermalukan di depan banyak orang?
Jelas aku tidak akan membiarkan siapapun menginjak harga diriku, oleh atasan sekalipun. Â Sebab, menurutku, jika kita saja tidak menghormati atau menghargai diri sendiri, apalagi orang lain. Bagiku, ini pembunuhan karakter. Â
Bukan tidak mungkin ada yang menilai performa kerjaku yang buruk.
Tetapi, di kejadian itu yang bisa aku hargai adalah jiwa besarnya. Â Secara sportif Mr. Bos mau ke ruanganku untuk mengakui kesalahannya. Â Inilah yang menjadi momen penting dan mengubah segalanya.