Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

WNA Bukan Manusia Setengah Dewa

19 Januari 2021   23:44 Diperbarui: 19 Januari 2021   23:51 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://ridwansyahyusufachmad.wordpress.com/

Punten, jangan ngambek yah.  Mencoba berbagi pengalaman, kalau menghormati ngga usah pakai lebay!  Tragisnya, sikap ini yang sering kebablasan dalam budaya Indonesia.  Sangking menghormati, akhirnya lupa menghargai dirinya sendiri.  Ironis memang, apalagi jika sampai "menghamba" kepada si Mister atau Madam yang mereka panggil Tuan dan Nyonya?  Weleh..weleh...jujur nyesek banget!

Kebetulan aku sempat menjadi WNA (Warga Negara Asing), lebih tepatnya sih menjadi mahasiswa asing selama 3 tahun lebih di Melbourne. Kenapa aku memilih belajar ke negeri orang bukan karena tidak mencintai pendidikan di dalam negeri.  Tetapi, beberapa alasannya antara lain ingin mandiri, ingin mengenal budaya asing, dan melihat belahan dunia lain.

Fixed 3 tahun aku belajar, bekerja dan bergaul dengan berbagai kebangsaan selama berada di Melbourne.  Pelajaran apa yang aku petik disana, ternyata orang Aussie (sebutan untuk warga negara Australia) sangat menghormati sportifitas dan umumnya menghargai keberagaman.  Inilah yang kemudian membentuk karakter diriku. 

Tidak mengikari, ada beberapa kasus yang racis terhadap pendatang.  Tetapi aku disini tidak membicarakan racis karena itu hanya segelintir.  Catatan penting bagiku, masyarakat Aussie menerima pendatang, tetapi tidak mendewakannya. 

Berbanding terbalik dengan cerita di negeri ini.  Begitu melihat orang asing alias WNA, kita seperti melihat manusia setengah dewa yang harus dihormati, sanjung dan mendapatkan segala fasilitas best of the best.  Pembuktiannya lihat saja di daerah wisata, ataupun bisa dilihat dalam dunia kerja yang memperkerjakan expatriate.

Berbagi pengalaman sepulang dari Melbourne, entah kenapa tidak ada perusahan lokal yang mau memperkerjakan aku.  Mungkin di benak mereka lulusan luar pastilah songong dan meminta gaji setinggi langit.  Jujur sih aku waktu itu heran, kenapa hanya perusahaan asing yang memanggilku interview. 

Singkat cerita nggak pakai lama, aku diterima di perusahaan Filipina sebagai Private Secretary.  Hahaha....jangan salah, gajiku tidak tinggi-tinggi banget kok.  

Menurut Kepala Human Resources Department (HRD) ketika itu, aku ini baru lulus dan belum berpengalaman.   Wokehlah, terpenting saat itu bagiku sih langsung dapat kerja.

Tetapi kemudian situasi politik di tahun 1998 mengalami gejolak, dan rupiah terjun bebas.  Ekonomi berdampak tajam dan banyak perusahaan mulai sesak nafas.  Perusahaan tempatku bekerja termasuk satu diantaranya yang jantungan.  Berbagai upaya dilakukan, termasuk mengajak investor.  Nggak nendang, tetap tidak membuahkah hasil maksimal.  Para expat mulai berpikir "nakal" demi menjaga nafas perusahaan.

Singkat cerita, mereka memanggilku.  Menurut mereka, aku dapat mewakili suara dari para staff.  Yups, apa lagi kalau bukan pengurangan karyawan yang jadi ide cemerlang mereka.  Prreettlah...kataku dalam hati!  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun