Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

The Passion of the Christ, Membuatku Jatuh Cinta PadaNya

23 Desember 2020   03:00 Diperbarui: 23 Desember 2020   03:03 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: jawaban.com

Natal tidak harus 25 Desember, tetapi Natal bagiku itu setiap hari.  Kok bisa?  Bisalah, karena Natal bagiku adalah Dia tinggal diam dalam hatiku, dan aku mampu mencerminkan karakter Yesus dalam hidupku.  Beda banget pemahaman Natalku kini ketika imanku semakin bertumbuh dewasa. 

Sukacita natal pada umumnya tidak jauh-jauh dari pohon natal, Santa Claus, kado natal, nastar dan juga film-film khas natal.  Wajar, karena inilah bentuk sukacita menyambut kelahiran Yesus Kristus.

Satu contoh film natal yang tidak pernah absent itu, Home alone!  Iya, film bagus yang aneh bisa bikin ketagihan, dan tidak pernah bosan menontonnya.  

Tetapi, ada satu film natal yang membuatku jatuh cinta pada Yesus!  Film The passion of the Christ telah membuatku jatuh cinta kepada Dia, dan mengubah caraku mencintai Yesus. 

 Ini benaran jujur apa adanya, padahal sebelumnya kita pun mengenal film Jesus from Nazareth.  Tetapi, The Passion of the Christ membuat hatiku hancur, dan mengubahku menjadi pribadi yang baru.


Film ini dirilis pada tahun 2004, dan disutradarai oleh Mel Gibson.  Digambarkan detail pada film ini saat 12 jam sebelum Jesus Kristus mati disalibkan.  

Tidak hanya memiliki spirit, atau nyawa tetapi penderitaan Yesus Kristus terasa hidup.  Inilah alasan tepat film ini pantas untuk ditonton karena tak lekang oleh waktu, dan wajib ditonton umat Kristen khususnya.

Berbeda dari beberapa film mengenai Yesus, di film ini bahasa dan dialek yang digunakan adalah Aramaik, yaitu dialek asli ketika zaman Yesus. Bisa dibayangkan bagaimana kita dibawa kepada kondisi ketika Yesus hidup, dan menjadi begitu nyata bagi kita yang menontonnya.

Pemilihan pemeran Yesus pun dilakukan Mel Gibson dengan luarbiasa, yang entah kebetulan atau tidak tetapi aktor Jim Caviezel dipercaya memerankan sosok Yesus, yang jika dalam bahasa Inggris initial JC terdengar seperti Jesus.  Ajaibnya ketika dipercaya Jim berusia 33 tahun, persis seperti umur Yesus saat disalibkan.

Sebagai aktor sebenarnya Jim bukan aktor besar, karena kebanyakan di film yang pernah dibintanginya hanyalah mendapatkan peran kecil tidak berarti.  

Salah satu film yang cukup baik pernah diperankan walau peran kecil adalah, The Thin Red Line.  Dimana Jim ditampilkan sebagai prajurit yang rela berkorban, dan mati demi menolong temannya.

Film The Passion of the Christ sendiri begitu mendekati kondisi asli ketika Yesus mengalami penderitaan sebelum disalibkan.  Film ini "berhasil" menampilkan kesadisan dan kebrutalan saat Yesus disiksa.  

Mencoba bercerita jujur apa adanya orang Yahudi yang digambarkan sebagai orang-orang jahat dan menikmati penderitaan yang dialami Yesus. 

Sangking jujurnya, film ini konon dikategorikan violent atau mengandung kekekerasan.  Padahal memang demikian interpretasi kengerian yang berhasil disampaikan oleh Mel Gibson mengenai kondisi Yesus ketika itu.

Ketika pembuatan film ini sendiri juga ada beberapa peristiwa luarbiasa, diantarannya petir yang menyambar beberapa kali saat syuting berlangsung.  

Ini persis seperti yang kita ketahui bahwa saat Yesus disalibkan pun ketika itu langit gelap, dan petir bergemuruh menggelegar seakan Bapa menunjukkan kekecewaannya karena putraNya disalibkan oleh manusia.

Begitu nyata dan totalitasnya film ini dibuat serta diperankan dengan baik, bahkan Jim Caviezel yang memerankan Yesus juga tanpa sengaja mengalami tercambuk 2 kali.  Sehinga ekspresi kesakitan Jim dicambuk prajurit Romawi pada film tersebut adalah nyata, dan meninggalkan luka yang luarbiasa sakit di tubuhnya.

Tidak hanya film ini berhasil berbicara, tetapi juga berhasil mengubah kehidupan dan iman para pemeran dan kru.   Kabarnya pemeran Yudas Iskariot, bernama Luca Lionello dari atheis kemudian mengalami pertobatannya.

Lalu bagaimana dengan saya?

Terus terang setiap kali menonton film tentang Yesus maka airmata saya akan menetes.  Tetapi film The Passion of the Christ membuat saya lebih dari meneteskan airmata, saya menangis!

Di film ini digambarkan ketika Yesus dicambuk lebih dari 40 kali bergantian oleh prajurit yang bertindak sebagai ekesekutor.  Setiap cambukan itu bukan hanya melukai kulit, tetapi juga mencabik daging dan merusak pembuluh darah.

Lalu Yesus disalibkan hina oleh mereka.  Dimasa itu salib digunakan untuk menyiksa dan menghukum mati orang yang dianggap terkutuk. Yesus dianggap demikian oleh mereka, dan sebagai pesakitan harus mengangkat sendiri kayu palang yang ditambahkan di puncak tiang.  

Berat salib yang dipikul Yesus konon untuk tiang sekitar 2,4 meter dengan berat sekitar 130 kg, sedangkan palang perkiraannya 1,8 meter dengan berat 57 kg.

Dengan kondisi lemah, dan darah menetes akibat cambuk dan mahkota durinya.  Yesus mengangkat beban berat salib yang merupakan gambaran dosa kita, manusia yang dicintaiNya.  Jujur disinilah saya merasakan berdosa.

Ada saat di film ini saya melihat mata Yesus memandang lembut mereka yang mengolok ataupun melihatnya saat diriNya terjatuh ketika mengangkat salib.  Saya menangis, merasakan mata lembut itu juga untuk saya.  Padahal saya ini menonton, dan itu hanyalah sebuah film.  

Tidak tahu apakah ini satu mujizat dari film ini.  Pastinya film ini membuat saya begitu tersentuh, marah dan tidak menerima Yesus dipermalukan dan disiksa dengan keji seperti itu.

Mungkin memalukan, tetapi beberapa kali saya mengatakan menangis adalah benar.  Ada rindu di hati ini, "Tuhan, andaikan mungkin saya pergi menyusuri jalan salibMu dan melihat bukit Golgata.  Saya ingin merasakan kehadiratMu."

Bagi saya film ini telah sangat menyentuh hati ini, dan membuat saya jatuh cinta pada Yesus Kristus.  Saya sungguh jatuh cinta padaNya.  

Dia bukan lagi Yesus yang saya kenal karena terlahir sebagai seorang Kristen.  Tetapi Yesus adalah Tuhan, yang begitu mencintai saya hingga nyawaNya pun diberikan untuk saya.

Mengapa saya mengatakan demikian, karena ada banyak cara Tuhan berbicara kepada kita.  Persoalannya, apakah kita mau mendengar suaraNya.  Demikian juga film The Passion of the Christ yang bukan tidak mungkin caraNya mengatakan cinta kepada kita.

Baiklah kita bertanya, apakah sanggup kita menanggung goresan pisau?  Bayangkan bagaimana Yesus harus menanggung kesakitan luarbiasa dicambuk, mengangkat salib, dan disalibkan dengan paku, juga ditusuk lambungnya.

Saya tidak sanggup untuk menjadi orang sejahat itu yang rela menyalibkan Yesus.  Hal yang sama saat ini, saya tidak mau mengecewakan dan menyakiti hati Yesus.

Menjadi terang dan garam, memberkati sesama adalah kerinduan saya seiring iman yang semakin dewasa.  Semuanya hanya untuk satu alasan, menyenangkan hati Yesus.  

Sebisa dan semampu saya mencoba menjadi orang lebih baik, dengan berbagi apa saja.  Tidak selalu materi, tetapi juga ilmu, bahkan kasih kepada sesama. Seperti hukum cinta kasih yang diajarkan olehNya, dan dibuktikan dengan rela disalib demi menebus dosa umat manusia.

Diceritakan kesaksian banyak orang betapa film ini mengubah kehidupan banyak pemeran dan kru filmnya.  Demikian juga saya dijamah olehNya lewat film ini.

Tidak ada salahnya menjadikan The Passion of the Christ sebagai tontonan di hari Natal, dan merasakan cintaNya lewat film tersebut.

Jakarta, 23 Desember 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun