"Mama...mama..., mama dimana?" berteriak Abigail putriku yang rupanya sudah sampai diantar bajaj langganan kami.
"Duduk sini dulu ma. Â Aku punya berita heboh. Â Hehehhe....hari ini aku mengusir Ibu Imel dari kelas!" ceritanya tanpa ku minta dengan mata dan senyumnya bahagia sekali. Â Nggak pakai lama, segera aku menghentikan kegiatanku. Â Di dalam kepalaku mulai bermain berbagai narasi.
"Gile...Ibu Imel itu guru paling killer di sekolah anakku. Â Tetapi, aku juga sangat percaya Abigail mempunyai alasan yang cukup kuat untuk bersikap gila seperti itu," batinku dalam hati.
Aku memilih duduk, menunggu kelanjutan ceritanya. Â Tidak ada nada tinggi, muka sangar ataupun mata api ala emak-emak pada umumnya.
"Begini ma, tadi itu jam pelajaran Ibu Mel. Â Kita semua sudah baik-baik sekelas. Â Tetapi si ibu kumat reseknya, dan marah-marah nggak jelas. Â Sepertinya sih, sisa marah dari kelas sebelumnya. Â Nah, itu khan nyebelin banget. Â Kita ini bukan tong sampah yang seenak tempat luapan amarahnya. Â Apalagi, ibu bilang yang tidak suka dengan pelajarannya, silahkan keluar." ceritanya berapi.
"Hahhah....mimpi banget tuh ibu!" terdengar Gail tertawa ngakak . Â Jujur saat itu aku mulai khawatir. Â Sebagai ibu, aku paham banget karakter putriku ini yang bisa eror jika dirasanya itu kebangetan. Â Tetapi, aku tetap memilih diam menunggu kelanjutannya.
"Aku langsung berdiri ma," katanya kemudian sambil memperagakan. Â Terus aku bilang begini, "Maaf bu, tetapi 6C ini kelas kami. Â Jadi kalaupun ada yang keluar itu bukan kami, tetapi ibu. Â Silahkan ibu keluar, itu pintu keluarnya." Â Heheh....begitu ma, dan aku tunjukin tanganku ke arah pintu mempersilahkan.
"Ee...cemen....Ibu Imel nangis, dan keluar benaran ma sambil banting pintu!" lanjutnya sambil tepok jidat ngakak. Â Sementara aku terdiam lupa bernafas, antara menganggumi nyali putriku dan siaga 1 jika besok dipanggil ke sekolah.
Ini cerita lama saat putriku di Sekolah Dasar. Â Kegilaannya yang cetar sehingga wali kelas Ibu Madu ketika itu berlari mendatangi kelas. Heheh...Ibu Madu, seperti namanya memang manis. Â Tidak ada sikapnya menyalahkan 6C, dan juga Abigail. Â Memang dimintanya untuk minta maaf ke Ibu Imel. Â
Tetapi memaklumi, karena tidak seharusnya Ibu Imel membawa persoalan dari kelas lain kedalam kelas 6C. Â Singkatnya, cerita itu menjadi heboh, dan hot hingga kini. Â Puncak dari sikap keberanian putriku mempertahankan prinsipnya. Â Ngaku, aku memang mengajarinya untuk berani berpendapat jika yakin benar. Â "Jangan pernah takut bersuara, selagi bisa dipertanggungjawabkan," itu pesanku kepada anak-anakku.
Banyak kenangan dan airmata saat aku membesarkan Abigail yang lahir sebagai si sulung. Â Di dalam tulisanku sebelumnya pada 24 Juli 2020 berjudul "Mama, Apakah Aku Ada Masalah" aku bercerita bagaimana Abigail di usianya 3.5 tahun belum bisa berbicara. Â Bagaimana aku berjuang agar putriku ini diterima di playgroup, dan bagaimana ketika dengan terbata dirinya bertanya, "Ma, aku ada asalah?" bermaksud mengatakan masalah ketika aku menggandengnya memasuki halaman terapi anak. Â Mata bulat yang menatapku ketika itu meluluhkanku. Â Aku harus berjuang membuatnya menjadi putriku yang hebat. Â Akulah yang harus berjuang untuknya, tekadku ketika itu.
Begitulah Abigail, yang kini tumbuh menjadi putri membanggakan bagiku, dan keluarga besar. Â Berbagai lomba dan prestasi diraihnya sudah. Sejak dirinya belum bisa berbicara, ketika di masa terapi, hingga kini sudah berada di bangku kelas XI sekolah favorit. Â Tidak hanya itu, dirinya juga melayani Tuhan di gereja. Â Dia yang Maha Kasih, yang telah memberi semua kebahagiaan dan mujizat ini.
Teringat ketika diriku merasa sendiri dengan segudang pertanyaanku, mampukah aku membesarkan Abigail. Â Membuatnya tumbuh seperti anak lainnya yang ramai berceloteh?
Hahah...semua justru bak langit dan bumi kini. Â Abigail tumbuh menjadi anak periang, dengan segambreng teman yang sama ramainya dengannya. Â Bahkan, jika kita bertanya satu, maka akan dijawabnya dengan satu buku! Â Hehehe...yup, putriku sangat suka membaca, dan bercerita. Â Entah itu verbal, ataupun lewat tulisan atau gambar. Â Novel setebal apapun, baik dalam bahasa Indonesia dan Inggris, habis dilahapnya dalam hitungan menit. Â Dia juga sanggup untuk menceritakannya kembali semua secara rinci!
Sosok Ibu Madu, dan Ibu Arie adalah sosok guru yang sangat berperan dalam perkembangan putriku. Â Kesabaran Ibu Arie mengajarinya ketika di TK, dan Ibu Madu ketika di SD adalah perpanjangan tangan Tuhan. Â Bahkan karakter Ibu Madu begitu berbekas di putriku. Â Termasuk dalam hal hoby membaca, menikmati hidup dengan hati selalu gembira, serta bersyukur, adalah warisan dari guru favoritnya ini. Â "Jangan lupa untuk bahagia ma," itu katanya kepadaku. Â Kata-kata yang didapat dari guru kesayangannya itu.
Semua ini adalah perjalanan panjang, bukti penyertaan Tuhan dalam kehidupanku sebagai ibu. Â Percayalah, Tuhan itu teramat baik. Â Bukan sebuah kebetulan ketika Dia mempercayakan Abigail menjadi putriku. Â Darinya aku belajar menjadi ibu yang sebisa mungkin terbaik untuk kedua anakku. Â Anak-anaklah yang mengajari arti bersabar, dan mengandalkan Tuhan saat kita merasa sendiri.
Mengajari Abigail berbicara, membedakan kanan-kiri, depan-belakang, membedakan huruf "d" dan "b" benar-benar menguras seluruh kesabaran dan energiku. Â Aku dipaksa memutar otak berkreasi membuat yang tidak bisa menjadi bisa, dan harus bisa.
Kini putriku telah tumbuh menjadi seorang gadis. Â Dia, bukan sekedar seorang putri yang lahir dari rahimku, tetapi Abigail adalah sahabatku. Terlepas aku adalah mama baginya, kami berdua suka berbagi cerita, bercanda dan bahkan aku bergaul dengan teman-temannya juga.
Kedekatan yang luarbiasa memang. Â Disaat aku sedih, dirinya peka sekali, dan akan langsung bertanya, "Mama kenapa diam saja seharian ini?" Bahkan tidak jarang teh manis di sore hari ataupun semangkok mie instant disiapkannya sebagai kejutan untukku. Â Heheh...manis memang. Seperti manisnya berjanji, "Mama, kalau aku sudah kerja, dan banyak uang nanti kita jalan-jalan yah ma," katanya suatu hari.
Cerita manis itu berjalan hingga membawa ke hari ini 5 November, saat Abigail genap berusia 17 tahun. Â Tidak ada hadiah istimewa yang bisa aku berikan kepadanya seperti kebanyakan anak gadis disaat mencapai usia 17 tahun.
Teringat sewaktu diriku dulu berusia 17 tahun ketika bapak memberikan kejutan manis izin pulang ke rumah dari tugas dinasnya di luar kota. Â Hanya khusus untuk membuat masakan kesukaanku. Â Rindu yang sama itu aku rasakan kini sebagai orang tua, ingin memberi yang terbaik untuk Abigail.
Terima kasih Tuhan mengizinkan aku membesarkan Abigail menjadi putriku. Â Terima kasih, Kakak Gail telah tumbuh menjadi anak yang membanggakan keluarga, dan menjadi sahabat terbaik mama. Â Selamanya dirimu akan selalu menjadi putri kecilku nak.
Terbanglah setinggi langit, tetapi jangan lupa menginjak bumi. Â Tetaplah merendah, dan menjadi berkat untuk sesama, karena berkat adalah kasih Tuhan yang dititipkan kepada kita nak.
Selamat ulang tahun Abigail, putriku. Â Tuhan menjaga dan memberkatimu.
Jakarta, 5 November 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI