Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenai LGBT di Antara Salah dan Mereka Orang Baik

7 Oktober 2020   18:44 Diperbarui: 7 Oktober 2020   18:47 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengangkat dari cerita nyata mereka yang penulis kenal.  Mereka adalah sahabat dan orang baik yang penulis kenal, namun memiliki orientasi seksual dalam hal ini homoseksual, atau ketertarikan pada sesama jenis. 

Pertama kali penulis mengenal pasangan suami istri ini saat diundang di perayaan pernikahan mereka, yang baru dilangsungkan di luar.  Ketika itu tidak kepikiran apapun dan tidak melihat adanya kejanggalan karena keduanya penulis kenal sebagai sahabat.  Barulah kemudian beberapa waktu kemudian dari keduanya pula mereka mengatakan bahwa keduanya adalah perempuan. 

Membedakannya disini, satu diantara mereka yang lebih dominan jiwa maskulinnya memilih untuk berubah secara fisik, benar-benar menjadi laki-laki melalui sebuah operasi.  Mungkin kita mengenalnya dengan istilah transgender.  Kondisi ini pun banyak terjadi kepada mereka yang ketika lahir dengan tampilan fisik berkelamin pria/ wanita namun jiwa atau mungkin hormonnya tidak dirasakan pas dengan tampilan fisiknya. Operasi transgender sering di kemudian hari menjadi pilihan.

Di lain cerita lagi adalah dua sahabat laki-laki.  Setidaknya begitu awalnya penulis mengenal mereka.  Di kemudian hari barulah penulis mengetahui bahwa keduanya adalah pasangan gay.  Tetapi menariknya, mereka tetap menjalani hubungan seperti layaknya hubungan dalam komitmen.  Termasuk dalam hal membentuk keluarga, dan (maaf) juga mengangkat serta membesarkan seorang anak.

Apakah LGBT bisa sembuh?
Pertanyaan yang ruwet, karena penyebab LGBT itu sendiri banyak faktor.  Sebagai satu contohnya adalah faktor psikologis dan lingkungan. Pada umumnya, seorang anak yang memiliki kedekatan dengan lingkungan feminim entah itu lingkungan kerja ataupun keluarga, misalnya ibu dan mayoritas saudara perempuan.  

Maka dia akan cenderung tumbuh lebih feminim dan sensitif seperti layaknya kaum perempuan.  Demikian juga dengan anak perempuan yang tumbuh dalam lingkungan keras, maka cenderung lebih maskulin atau mungkin tomboy.  Sering terlupakan disini bahwa lingkungan kemudian membuat mereka lupa identitas gender.  Sehingga berlarut membentuk, dan parahnya ada yang berdampak pada orientasi seks.

Kembali kepada pertanyaan apakah bisa sembuh?  Pertama harus dipahami ini bukan penyakit, tetapi mungkin lebih kepada kondisi kejiwaan yang disebabkan berbagai faktor.  Mengenai sembuh atau kembali "normal" pada kasus tertentu penulis juga memiliki sahabat yang bisa total lepas dari bayang-bayang label LGBT.  Mereka membentuk keluarga seperti layaknya dan seharusnya, memiliki anak dan bahagia.

Pada kenyataannya juga terkadang LGBT menjadi gaya atau style dalam pergaulan di komunitas tertentu. Mungkin yang menarik dan ini menurut opini penulis adalah bagaimana komunitas mereka memiliki kedekatan yang erat, dan selalu terlihat menyenangkan, tulus dan hidup. Jujur sebagai sahabat, penulis harus katakan mereka adalah karakter-karakter yang menyenangkan, memiliki jiwa seni tinggi, dan mereka adalah pribadi yang baik.  Setidaknya inilah penilaian penulis yang mengenal beberapa dari mereka.

Bagaimana LGBT di mata agama?
Berbicara salah dan benar dari sudut pandang agama sudah jelas manusia diciptakan hanyalah laki-laki dan perempuan.  Tetapi agama itu sendiri adalah bentuk hubungan yang manis antara Tuhan dan manusia ciptaanNya.  Mungkin artinya, dikembalikan saja kepada masing-masing individunya.  Mereka cukup dewasa untuk menafsirkan bahasa dan ajaranNya.  Tanggungjawab pribadi lepas pribadi.

Seperti juga kedua sahabat gay penulis yang tetap taat beribadah.  Beberapa kesempatan penulis bertemu dengan mereka.  Heheh...kali pertama tentu saja kaget, berhubung mereka rekan kerja, jadi penulis sangat mengetahui kehidupan mereka.  Tetapi mendapati mereka rajin beribadah dengan khusuk maka bukan hak siapun untuk menghakimi.  Bahasa mereka ketika itu, "Gw tahu apa yang lu pikir.  Tetapi, izinkan kita memberikan hati dan biar Dia yang menilai."

Ehhmmm...fair enough menurut penulis, karena siapa sih kita ini yang menghakimi dan menentukan bahwa mereka lebih berdosa dari kita? Bahkan cermin saja bisa kita bohongi, apalagi manusia.  Secara agama memang bertentangan, tetapi biarkan hanya Dia sang pencipta yang berhak menilai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun