Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Maafkan Aku Pergi

2 Agustus 2020   01:15 Diperbarui: 2 Agustus 2020   02:01 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: lucufotovidio.blogspot.com 

Teringat cerita cinta alamarhum bapak yang meninggalkan kami 5 tahun lalu.  Lelaki yang mengajari aku apa artinya cinta sejati.  Dulu katanya, bapak tak mengenal wanita.  Mama adalah cinta pertamanya, dan hanya sepucuk surat yang menjadi saksi bisu perjalanan cinta mereka berdua, Pontianak dan Medan.

Nyesek, saat ini cinta kehilangan arti.  Begitu mudah untuk jatuh cinta, semudah untuk melupakan arti cinta dan mencinta.

Cerita ku tentang 5 tahun yang lalu, saat bapak memanggilku.

"Des, bapak mau kasih kejutan.  Bulan Maret ulangtahun perkawinan bapak dan mamamu yang ke 50 tahun.  Bapak mau berterima kasih karena diizinkan bertemu mamamu, separoh jiwa bapak.  Kita bikin ucapan syukur dan makan enak yuk," begitu kata bapak bersemangat.

Sayang cerita kemudian berubah saat bapak harus dirawat di rumah sakit.  Terbaring dengan infus, selang-selang berseliweran, berteman dinding rumah sakit, tanpa mama disampingnya.  Hanya diam dan sesekali menatap jauh keluar jendela kamarnya.  Seolah ada yang menantinya disana.

"Bapak lihat apa?" kataku bertanya.  Tetapi tak pernah aku mendapatkan jawaban darinya, kecuali airmata dari sudut mata tuanya.

Seminggu berlalu, dengan berat hati, aku membawa mama menemui bapak di rumah sakit.  Ku dorong kursi roda mama, mengangkat tubuh lumpuhnya karena stroke sejak 20 tahun lalu.

Bapaklah yang selama ini menjaga mama.  Menyendokkan nasi pada piring makan mama, menjadi teman bercerita dari pagi hingga gelapnya malam, dan berbagi potongan roti setiap pagi hari.  Mesra, mesra sekali kedua orang tuaku.

Airmataku menetes, saat mama meraih tangan bapak.  Keduanya saling menatap dengan mata basah tanpa suara.

"Bapak, bapak cepat sembuh yah.  Dua minggu lagi ulang tahun perkawinan kita pak," begitu suara mama terbata akhirnya.  Tetapi bapak hanya diam, diam dan diam sambil menatap mama, lalu mengalihkan kembali pandangannya jauh lewati jendela itu.

Hari itu, Minggu 26 Maret 2017 kembali aku membawa mama menemui bapak di rumah sakit sepulang kami bergereja.

Satu yang terindah hari itu tepat 50 tahun usia perkawinan bapak dan mama.  Seperti kerinduan bapak ingin mengucap syukur, maka bersaksi kebisuan dinding rumah sakit, kami berdoa bersama.  Pendeta dan beberapa keluarga dekat hadir bersama dalam sukacita berairmata haru.

"Pak, ini mama.  Bapak tidak pulang, mama saja yang datang ke sini yah pak.  Hari ini 50 tahun sudah Tuhan izinkan kita bersama.  Terima kasih pak untuk menemani dan mengajari mama.  Terima kasih untuk cinta bapak.  Menjaga dan merawat mama yang lumpuh ini.  Maafkan mama pak kalau tidak bisa mencinta seperti bapak mencintai mama," isak mama sambil menggengam kuat tangan bapak.

Tidak ada suara bapak terdengar.  Tetapi airmatanya mengalir deras, dan matanya lekat memandangi mama.  Kantong nafas itu pun melemah, seperti tubuh bapak yang kian lemah hari demi hari.

Bapak memang tidak pernah pulang menemui mama.  Tetapi lelaki yang sangat aku hormati dan cintai itu menepati janjinya mencintai mama hingga maut memisahkan mereka.

Seminggu kemudian bapak berpulang, menemui sang Khalik pemberi hidup dan cinta.

Sampai di keabadian bapak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun