Mohon tunggu...
Desta Eka Fahrurozi
Desta Eka Fahrurozi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UNS Solo

Tertarik pada Otomotif, Pertanian, dan Lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Dilema Transportasi Publik: antara Pengurang atau Penambah Beban Pencemaran Udara Perkotaan

8 Juli 2022   08:00 Diperbarui: 8 Juli 2022   08:01 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber : Aplikasi AirVisual, 2022)

Kualitas udara yang buruk menjadi isu yang hangat diperbincangkan di seluruh dunia. Pasalnya, meningkatnya aktivitas antropogenik mendorong pertambahan emisi gas rumah kaca yang dapat menimbulkan berbagai pengaruh negatif pada kualitas udara, serta berdampak terhadap kenyamanan, kesehatan manusia, maupun lingkungan. Di Indonesia sendiri, kualitas udara yang buruk menjadi permasalahan yang kompleks di berbagai kota-kota besar dengan penduduk yang padat. Dikutip dari World Resources Institute (WRI), faktanya Indonesia berada pada 10 besar, tepatnya peringkat ke-9 negara penyumbang emisi gas rumah kaca global terbanyak di dunia. Sejak tahun 1990, diketahui bahwa sektor yang paling menonjol dan berkembang paling cepat sebagai sumber emisi gas rumah kaca adalah dari proses industri, listrik dan pemanas (sub sektor energi), dan transportasi. Sektor transportasi termasuk salah satu penyumbang emisi yang cukup besar. Bahkan, Nurdjanah (2015) menyatakan emisi kendaraan bermotor berkontribusi mencapai 70% terhadap pencemaran udara meliputi Oksida-oksida Nitrogen (NOx), THC (Total Hidrokarbon), TSP (debu), Karbon Monoksida (CO), Karbon Dioksida (CO2), Oksida-oksida Sulfur (SOx), dan Partikulat (PM) di perkotaan besar. Melalui aktivitas dari penggunaan kendaraan bermotor di wilayah perkotaan yang tak terkendali ini, zat pencemar udara yang berlebihan dapat terlepaskan dan dapat menurunkan kualitas udara.

Memang tak dapat dipungkiri bahwa penggunaan transportasi menjadi hal yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari untuk dapat melakukan aktivitas maupun bermobilitas dari suatu tempat ke tempat lain. Secara umum, jenis sistem transportasi manusia dapat dibedakan menjadi dua, yakni transportasi publik dan pribadi. Transportasi publik adalah layanan angkutan perjalanan untuk penumpang secara berkelompok yang disediakan, dikelola, maupun dioperasikan sesuai rute dan jadwal yang telah ditetapkan untuk masyarakat umum, serta dikenakan biaya untuk setiap perjalanannya. Contoh dari transportasi umum adalah bus, kereta api, pesawat terbang, angkutan kota, dan lain-lain. Sedangkan transportasi pribadi merupakan lawan dari transportasi publik yang merupakan angkutan perjalanan dengan menggunakan kendaraan milik pribadi, seperti sepeda, mobil pribadi, sepeda motor, dan lainnya.

Tentunya masing-masing jenis kendaraan bermotor memiliki kelebihan dan kekurangannya. Misalnya, transportasi umum memiliki kelebihan diantaranya adalah dapat mengurangi kemacetan, lebih efisien bahan bakar, dapat mengangkut lebih banyak orang, serta lebih nyaman dan bisa bebas bergerak. Namun, cenderung tidak fleksibel karena terpaku rute dan jadwal, mengeluarkan biaya, maupun belum tentu memiliki fasilitas yang lengkap atau dalam kondisi baik. Di lain sisi, kelebihan dari kendaraan pribadi adalah lebih fleksibel dalam waktu, rute, dan kendali, serta kekurangan dalam memerlukan lahan atau tempat parkir, memiliki lebih sedikit ruang angkut, lebih boros energi dan materi, serta menghasilkan polusi udara lebih besar.  Seiring perkembangan zaman yang cukup pesat, berbagai inovasi di bidang transportasi banyak dihasilkan, dimana transportasi publik digadang-gadang menjadi solusi isu pencemaran udara di daerah perkotaan. Akan tetapi, masih muncul dilema apakah transportasi publik benar-benar dapat menjadi pengurang beban pencemaran udara perkotaan ataukah malah sebaliknya.

Isu Pencemaran Udara di Perkotaan Besar Indonesia: Jakarta dan Surakarta

Perkembangan pesat perkotaan di Indonesia tidak lepas dari berbagai permasalahan yang timbul di dalamnya, termasuk Kota Jakarta. Jakarta sempat menempati posisi ke-2, kota dengan kualitas udara terburuk pada hari Kamis (16/06/2022) dengan nilai indeks kualitas udara mencapai 156 atau dalam kategori tidak sehat. Data tersebut diperoleh dari situs IQAir bersumber dari berbagai stasiun pemantauan kualitas udara baik milik instansi pemerintah maupun Non Government Organization (NGO) seperti Greenpeace. Sama halnya dengan Jakarta, Kota Surakarta juga menjadi salah satu kota besar di Indonesia yang masih berkutat dengan permasalahan pencemaran udara. Indeks kualitas udara (IKU) Surakarta pada Kamis (07/07/2022) tertinggi mencapai angka 162, atau termasuk kategori tidak sehat, namun nilai IKU di hari itu masih dalam kategori sedang. Sementara indeks kualitas udara di Jakarta pada hari yang sama, indeks kualitas udara tertinggi mencapai angka 201 atau termasuk kategori sangat tidak sehat, dengan IKU harian tidak sehat bagi kelompok sensitif. Pencemaran udara yang terjadi disebabkan karena berbagai aktivitas yang ada seperti kegiatan industri, mobilitas penduduk yang menggunakan kendaraan bermotor, dan aktivitas lain yang menghasilkan emisi ke udara.

(Sumber : Aplikasi AirVisual, 2022)
(Sumber : Aplikasi AirVisual, 2022)
(Sumber : Aplikasi AirVisual, 2022)
(Sumber : Aplikasi AirVisual, 2022)

Indeks kualitas udara harian di Surakarta (kiri) dan di Jakarta (kanan) pada Kamis (7/7/2022).

Sebagai kota besar, Jakarta maupun Surakarta, memiliki pertumbuhan penduduk yang pesat dan diiringi dengan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang tak kalah pesat. Gas buangan yang dihasilkan dari mesin kendaraan memiliki kandungan zat berbahaya seperti Karbon Monoksida (CO), Nitrogen Oksida (NOx), dan Hidrokarbon (HC). Akumulasi dari zat-zat emisi kendaraan tersebut diketahui berpotensi merusak lingkungan dan dapat membahayakan kehidupan. Melalui laporan kualitas udara yang diperoleh dari  situs web Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, dalam kurun waktu Januari - Maret 2022, kualitas pencemaran udara termasuk dalam kategori sedang hingga tidak sehat. Parameter kualitas udara yang paling kritis dalam periode tersebut ialah PM 2.5, PM 10, SOx, dan O3, dimana zat-zat polutan tersebut dapat terbentuk sebagai akibat dari pembakaran bahan bakar selama operasional kendaraan bermotor.

Pengawasan ketat telah dilakukan pemerintah dalam rangka mengurangi potensi bahaya dari aktivitas kendaraan bermotor, salah satunya melalui penerapan kebijakan uji emisi untuk mengetahui kelayakan kendaraan. Namun kebijakan tersebut dinilai masih kurang efektif dalam mencapai tujuan transportasi berkelanjutan yang ramah lingkungan. Jumlah kendaraan bermotor yang begitu melimpah menyebabkan emisi yang dihasilkan masih besar. Solusi yang dapat ditarik dari permasalahan tersebut adalah mengurangi jumlah kendaraan yang beroperasi agar emisi yang dihasilkan lebih rendah. Terdapat beberapa opsi yang dilakukan pemerintah di Jakarta, salah satunya dengan menerapkan plat nomor ganjil genap, dimana ketika plat nomor tertentu tidak dapat beroperasi, maka harapannya masyarakat akan beralih menggunakan transportasi publik. Untuk mendukung kebijakan ini, pemerintah telah melakukan pembangunan infrastruktur transportasi publik yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Pengurangan jumlah kendaraan yang berlalu lalang ini diharapkan mampu mengurangi emisi yang dihasilkan setiap harinya.

Perbandingan Transportasi Publik di Jakarta dan Surakarta

Terdapat delapan jenis transportasi publik di DKI Jakarta, yang sejak Maret 2021 beberapa diantaranya terintegrasi dalam sistem transportasi bernama JakLingko. Singkatnya, sistem berbasis digital ini menghubungkan beberapa alat transportasi yang memudahkan penggunanya untuk mencapai tempat tujuan melalui satu atau lebih alat transportasi secara ringkas. Jenis armada yang terhubung meliputi bus besar (Transjakarta), bus medium, dan angkutan kota (angkot), yang mana juga terkoneksi dengan LRT (light rail transit) dan MRT (mass rapid transit). Metodenya yaitu pengguna mendaftar pada aplikasi di telepon pintar, mengisi saldo elektronik, dan dapat kapan saja memulai perjalanan sesuai waktu yang tersedia dengan sistem tarif per 3 jam sebesar Rp 5.000,- (Pemprov DKI Jakarta, 2021).

Potret armada angkot JakLingko (kiri) dan Batik Solo Trans (kanan).  Sumber : news.detik.com & mediaindonesia.com
Potret armada angkot JakLingko (kiri) dan Batik Solo Trans (kanan).  Sumber : news.detik.com & mediaindonesia.com

Beranjak ke Kota Surakarta, di mana memiliki sistem transportasi publik bernama TEMAN BUS yang mirip dengan JakLingko tadi. Sistem yang bertema Intelligent Transport System (ITS) tersebut mengkoneksikan bus medium dan besar (Batik Solo Trans/BST) sebagai armada utama serta angkot sebagai feeder. Metodenya yaitu pengguna mendaftar pada aplikasi, setiap hendak melakukan perjalanan dapat mencari informasi di aplikasi tersebut dan pembayaran dilakukan melalui kartu uang elektronik pada halte (Hasanah, 2020). Menilai dari efektivitasnya, kedua sistem di atas sama-sama memudahkan pengguna, namun di sisi lain juga terdapat kekurangan. Pada JakLingko maupun TEMAN BUS, pengguna tidak perlu repot karena semua by sistem, namun jika saat saldo kurang mencukupi maka harus mengisi ulang di gerai.

Dengan perencanaan dan penerapan kedua sistem di atas, tentu sebagian harapan pemerintah dan beberapa kalangan yaitu dapat membantu mengurangi kemacetan dan beban pencemaran udara perkotaan. Sejak awal beroperasi hingga tulisan ini disusun, kondisi JakLingko mengalami beberapa peningkatan, sebagai contoh penambahan 16 armada bus dan penambahan interkoneksi dengan jasa transportasi online (Wijaya dan Muhtarom, 2022). Dirut PT JakLingko, Muhammad Kamaludin dalam wawancara memberikan masukan “Aplikasi JakLingko saat ini juga sudah terhubung dengan mitra transportasi first mile dan last mile (ojek online) seperti Grab (bike dan car), sehingga memudahkan mobilitas masyarakat menuju stasiun atau halte transportasi umum terdekat sampai ke tempat tujuan” (Anonim, 2022).  Sedangkan dari segi okupansi atau tingkat keterisian penumpang, data pada tahun 2020 didapat data bahwa rata-rata per hari terdapat sekitar 1 juta pengguna JakLingko jika dilihat secara keseluruhan (Muhtarom, 2021). Proyeksi ke depan jumlah tersebut akan meningkat dengan ditambahkannya armada baru.

Keadaan Penumpang di Batik Solo Trans (kiri) dan Transjakarta (kanan). Sumber : asedino.wordpress.com dan suara.com
Keadaan Penumpang di Batik Solo Trans (kiri) dan Transjakarta (kanan). Sumber : asedino.wordpress.com dan suara.com

Kembali menilik TEMAN BUS di Kota Surakarta, hingga tahun 2022 kondisi armada tidak ada penambahan, hanya peningkatan fasilitas seperti halte pada beberapa titik di kota. Dari segi okupansi, sejak awal beroperasi Teman Bus cenderung stabil dengan keramaian hanya pada rute-rute sibuk, bahkan data dari solopos.com menyebutkan bahwa sejak Juli 2020 hingga April 2021 ditotal sebanyak 1 juta penumpang (Ricky dan Sunarsih, 2021). Keadaan tersebut sebenarnya mengalami penurunan sebesar 100% dari periode sebelumnya dampak dari Pandemi Covid-19. Dilihat dari segi kuantitas jelas terdapat perbedaan yang drastis dengan JakLingko dikarenakan jumlah penduduk dan pendatang di Kota Surakarta yang tidak sebanyak DKI Jakarta. Melihat dari dua fakta di atas, kedua sistem transportasi publik tersebut dirasa sama-sama efektif, namun pada JakLingko -lah yang lebih efektif. Pernyataan tersebut didukung oleh faktor sosiokultural masyarakat Kota Surakarta dan wilayah sekitarnya yang lebih gemar menaiki kendaraan pribadi (hasil pengamatan, 2022).

Bagaimanakah Hubungan Transportasi Publik dengan Kualitas Udara?

Pencemaran udara sangat mempengaruhi kualitas udara. Salah satu pemegang faktor penting dalam pencemaran udara adalah sektor transportasi. Menurut Yusrianti (2015), berbagai studi menunjukkan bahwa sektor transportasi menyumbang 70% dari total sumber pencemaran udara. Permasalahan ini disebabkan oleh emisi kendaraan bermotor yang semakin bertambah. Hal ini juga dikarenakan masyarakat lebih memilih untuk menggunakan transportasi pribadi dibandingkan dengan transportasi publik. Transportasi publik masih banyak yang belum terintegrasi dengan seluruh moda yang ada sehingga menyebabkan keinginan masyarakat menggunakan transportasi publik masih sedikit. Padahal penggunaan kendaraan pribadi juga dapat menyumbang kemacetan sehingga kualitas udara perkotaan akan semakin buruk dan kadar polutan udara juga semakin tinggi akibat asap yang dihasilkan kendaraan. Dampak yang dirasakan akibat menurunnya kualitas udara perkotaan ialah pemanasan kota akibat perubahan iklim, penipisan lapisan ozon, dan menurunnya kesehatan masyarakat yang ditandai dengan terjadinya infeksi saluran pernafasan dan pencernaan, darah mengandung timbal (Pb), serta menurunnya kualitas air akibat hujan asam. 

Dilansir dari Kementerian Perhubungan Republik Indonesia (15/7/21), solusi dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat akan permasalahan ini adalah dengan memberikan program pengembangan angkutan umum massal berbasis jalan di wilayah perkotaan dengan skema Buy The Service. Implementasi program Buy The Service diberikan nama “TEMAN BUS” yang diharapkan dapat menjadi bagian digitalisasi 4.0 smart city program yang mendukung cashless society. TEMAN BUS diharapkan dapat memberikan dampak yang signifikan dalam menekan tingkat polusi udara dan menghemat penggunaan bahan bakar fosil. Selain itu pemanfaatan Intelligent Transport System (ITS) diharapkan juga dapat menciptakan transportasi publik yang cerdas, ramah lingkungan serta berkelanjutan. TEMAN BUS ini sudah hadir di 5 kota yaitu Medan, Palembang, Yogyakarta, Surakarta, dan Bali.

Sedangkan di Jakarta sendiri untuk mengurangi kemacetan, Menteri Perhubungan menyediakan layanan transportasi publik yaitu KRL Commuter Line, Transjakarta, Moda Raya Terpadu (MRT), dan Lintas Raya Terpadu (LRT). KRL dan transjakarta dinilai cukup efektif dan efisiensi karena terlihat dari semakin banyaknya rangkaian kereta yang dikeluarkan dan transjakarta semakin diperbaharui melalui armada, koridor, dan halte yang baru. Sedangkan MRT dan LRT dinilai belum efektif dan efisiensi. MRT termasuk kendaraan publik tercepat dan mampu menghemat waktu penumpang, namun dibalik itu biaya yang harus dikeluarkan untuk pembangunan MRT sangat mahal. Terakhir, LRT dinilai mampu mengurangi kemacetan hingga 30%. Artinya akan ada 5.628.000 perjalanan menggunakan kendaraan pribadi dapat berpindah menggunakan LRT. Namun pembangunan kedua transportasi ini masih berdiri sendiri dan biaya pembayaran yang lebih tinggi dari KRL dan transjakarta. Sebenarnya tujuan pemerintah membangun empat moda tersebut untuk mengurangi kemacetan namun mereka kurang memikirkan alternatif lain yang dapat mengurangi kemacetan seperti peningkatan jalan, pembatasan lalu lintas, dan penggunaan kendaraan pribadi. 

Berkembangnya perkotaan di Indonesia tidak lepas dari isu yang timbul di dalamnya, termasuk Kota Jakarta dan Surakarta dalam permasalahan kualitas udara. Hal tersebut dikarenakan kota Jakarta dan Surakarta memiliki pertumbuhan penduduk yang pesat dan juga dengan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor sehingga gas buangan yang dihasilkan dari mesin kendaraan semakin meningkat. Penggunaan transportasi publik dinilai efektif dalam mengurangi pencemaran udara dibandingkan kendaraan pribadi karena dapat mengurangi beban polutan di udara serta dapat menghemat penggunaan bahan bakar fosil. Hal itu jika okupansi penumpang dikategorikan baik (armada selalu terisi setidaknya >50%) serta terdapat perubahan sosiokultural masyarakat yang beralih dari transportasi pribadi ke transportasi umum saat berpergian dalam kota. Sebaliknya, jika sistem dan sarana dirancang baik dan okupansi penumpang hanya sedikit, justru hal itulah yang malah menambah beban pencemaran udara perkotaan. Dengan kata lain armada-armada masih tetap beroperasi sesuai rute namun hanya membawa sedikit penumpang, padahal armada tersebut juga mengeluarkan emisi yang cukup besar yang mana tidak terlalu terpengaruh sedikit-banyaknya penumpang. Sebagai contoh bus medium dan bus besar baik yang terdapat di JakLingko maupun TEMAN BUS.

Guna meningkatkan efektifitas transportasi publik dan tidak malah menjadi penambah beban pencemaran udara perkotaan, penulis merekomendasikan kepada pemerintah, operator, dan seluruh masyarakat di DKI Jakarta, terlebih Kota Surakarta. Pertama adalah sosialisasi dan promosi yang semakin digencarkan sehingga pengetahuan masyarakat lebih banyak termasuk kelebihan-kelebihan yang didapat. Kedua, merubah pola pikir masyarakat melalui kampanye, kebijakan, maupun aturan-aturan yang bersifat konkret yang muaranya yaitu masyarakat lebih memilih menaiki transportasi publik di dalam kota. Ketiga, bagi masyarakat, marilah kita peduli terhadap lingkungan, dunia, dan keberlanjutannya, kurangi ego dan bersama-sama mensukseskan upaya pengurangan pencemaran udara perkotaan melalui transportasi publik. Keempat, bagi semua stakeholder untuk tetap konsisten mengoperasikan layanan ini dan terus berinovasi guna efisiensi dan kemudahan bagi pengguna. Pemerintah sebagai pengawas selalu secara rutin melakukan inspeksi, evaluasi, dan monitoring guna mengetahui perkembangan untuk pengambilan kebijakan di kemudian hari.

------------------

Penulis:

Aninda Maulidyna (M0819006)

Desta Eka Fahrurozi(M0819019)

Helena Joan Noven(M0819039)

Rady Qodaril Haq(M0819073)

Thalita Aldila Pramitasari(M0819090)

Mata Kuliah Manajemen Kualitas Udara, Prodi S1 Ilmu Lingkungan UNS, 2022.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun