Dalam adat Batak Toba, khususnya di kalangan marga Parna, terdapat larangan tegas untuk menikah dengan sesama marga Parna. Larangan ini didasarkan pada kepercayaan bahwa sesama marga Parna adalah saudara sedarah, sehingga pernikahan di antara mereka dianggap sebagai pelanggaran adat yang serius. Marga Parna sendiri merupakan kumpulan marga yang berasal dari satu leluhur, Raja Nai Ambaton, sehingga hubungan sesama marga Parna dianggap seperti saudara kandung biologis.
Pelaksanaan larangan ini sangat dijaga dan menjadi bagian dari perjanjian leluhur yang wajib dipatuhi. Jika ada pasangan yang tetap melanggar larangan ini, masyarakat adat dan para ketua adat akan memberikan sanksi adat secara langsung. Sanksi yang diberikan berupa pengucilan sosial, di mana pasangan tersebut akan dikucilkan dari kehidupan sosial dan tidak diizinkan mengikuti kegiatan adat Parsadaan Parna. Pasangan yang melanggar biasanya memilih untuk merantau ke daerah lain agar terhindar dari tekanan sosial dan sanksi adat.
Larangan ini juga berfungsi untuk menjaga kemurnian garis keturunan dan mencegah terjadinya pernikahan sedarah (incest) yang dapat merusak tatanan sosial dan adat Batak. Selain itu, larangan ini merupakan bentuk penghormatan terhadap sumpah dan perjanjian yang telah dibuat oleh leluhur Batak, khususnya Raja Nai Ambaton, yang menjadi dasar tegaknya aturan adat di kalangan marga Parna.
Faktor penyebab terjadinya pelanggaran larangan ini antara lain adalah faktor cinta, globalisasi, dan perpindahan penduduk. Namun, upaya pencegahan terus dilakukan melalui pendidikan adat dan seminar sosial untuk mengingatkan masyarakat, terutama generasi muda, agar tidak melanggar aturan adat ini.
 Larangan menikah sesama marga Parna didasarkan pada hubungan darah yang dianggap seperti saudara kandung. Sanksi pelanggaran berupa pengucilan sosial dan tidak boleh mengikuti kegiatan adat marga Parna.  Larangan ini merupakan perjanjian leluhur Raja Nai Ambaton yang dijaga ketat hingga kini.  Faktor pelanggaran antara lain cinta dan pengaruh globalisasi, namun ada upaya sosialisasi dan pendidikan adat untuk pencegahan. Larangan ini menjaga kemurnian garis keturunan dan tatanan sosial adat Batak. Â
seperti pada film layar lebar yang berjudul mursala yang dimana bercerita kan tentang laki laki dan perempuan yang sama sama marga dan Boru Parna yang jatuh cinta ,dimana mereka sudah bersama sejak kecil hingga mereka dewasa dan sukses tetapi karena mereka sama sama Parna menjadi penghalang atas cinta mereka, orang tua serta para tetua adat melarang keras mereka untuk bersatu. mereka dilarang bersama karena mereka adalah namariboto atau saudara.
Namariboto merupakan serangkai/sekelompok marga yang menghasilkan setiap marga di kelompok marga tersebut begitu juga dengan saudara dan di anggap semarga. Seumpama kelompok simbolon terdiri dari marga sitanggang dan lainnya. Maka di antara marga tersebut memenuhi syarat pernikanan secara semarga. Masyarakat batak juga menghindari adanya perjanjian pernikahan. Perjanjian tersebut diartikan sebagai hubungan persaudaraan antara dua marga yang bertentangan leluhur dan saling berjanji untuk menikahi keturunan mereka dengan alasan tertentu.
Dalam pelaksanaan adat, terdapat 14 tahapan dalam sistem perkawinan Batak Toba yang harus dipenuhi, termasuk pemeriksaan marga calon mempelai untuk memastikan tidak terjadi pernikahan sesama marga. Jika larangan ini dilanggar, sanksi adat langsung diberlakukan tanpa proses yang rumit. Pasangan yang menikah sesama marga Parna akan dikenai sanksi berupa pengucilan sosial, yaitu dikeluarkan dari ikatan keluarga besar Parsadaan Parna dan tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan adat marga tersebut. Biasanya pasangan yang melanggar akan memilih merantau ke tempat lain untuk menghindari tekanan sosial dan sanksi adat.
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pelanggaran larangan ini antara lain faktor cinta, perpindahan atau perantauan, dan pengaruh globalisasi yang membuka interaksi lebih luas antar suku dan budaya. Meski demikian, para tokoh adat dan Raja Parhata berupaya mencegah pelanggaran ini dengan memberikan edukasi sejak dini dan mengadakan seminar sosialisasi adat agar generasi muda memahami pentingnya aturan ini
ini menegaskan bahwa adat Batak, khususnya marga Parna, sangat menjaga aturan perkawinan sesama marga demi kelestarian budaya dan keharmonisan sosial. Pelanggaran terhadap larangan ini tidak hanya soal hukum adat, tetapi juga soal menjaga kehormatan dan hubungan kekeluargaan dalam masyarakat Batak.