Mohon tunggu...
Desi Ariani
Desi Ariani Mohon Tunggu... -

untuk lebih baik...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

6 Piring dengan Pasal-Pasal yang Mati

3 Februari 2012   10:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:06 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagai suatu kumpulan-kumpulan proses yang melelahkan dikala seseorang yang harus duduk di kursi panas pengadilan. Seseorang telah dinyatakan terdakwa itulah seseorang yang telah melampaui dari tahap-taap penyidikan, penyelidikan oleh aparat penegak hukum yaitu polisi. Terkadang seseorang yang karana kesalahannya seharusnya bisa dimaafkan secara sederhana secara kekeluargaan tanpa harus diadukan di meja hijau.

Seperti kasus Marsinah beberapa hari yang lalu yang diputus oleh MA atas vonis mencuri 6 piring majikannya. Hal ini sebenarnya bisa diselesaikan secara sederna tanpa harus dimeja hijuakan. Seseorang nenek Marsinah yang selama ini telah mengabadi kepada majikannya yang bernama Siti Aisyah Margaret Soekarnoputri telah dituduh mencuri enam piring majikan. Perkara ini menerut saya sangat sederhana sekali, kenapa harus juga dibawa ke pengadilan. Memang pada awalnya Marsinah telah diputus bebas oleh pengadilan tangerang, Namun tetap saja jaksa penunt umum tidak terima akan putusan tersebut lalu mengajukan ke MA. Singkatnya oleh putusan MA bahwa nenek marsinah dinatakan bersalah. Mahkamah Agung (MA) menghukum 130 hari bui Rasminah (55) karena mencuri 6 buah piring majikannya, Siti Aisyah Soekarnoputri. Putusan kasasi itu menyimpan sejumlah kejanggalan. Sangat disayangkan sekali ketika pihak rasminah tidak mengetahui akan dilakukan pemeriksaan di MA kerena kuasa hokum rasminah pun tidak mengetahui Kejanggalan lain, pemberitahuan memori kasasi rupanya diberikan ke alamat rumah Rasminah pada saat Rasminah sudah tidak tinggal di sana lagi, lalu dititipkan ke kantor Kelurahan Sawah Lama, Bogor. Dianggap selesai ketika sampai di kantor kelurahan.Alhasil, pihak Rasminah sangat kaget dengan adanya putusan kasasi tersebut. Pihak Rasminah sangat menyayangkan vonis yang disamakan dengan lamanya masa hukuman tahanan. (detikNewsSelasa, 31/01/2012).

Memang sangat disayangkan sekali, kenapa jaksa penuntut umum juga mau meneruskan kasusnya ke MA padahal itu boleh dibilang hanyalah kasus sepele saja. Dan aneh pula dari tahap penyidikan dan penyelidikan juga polisi mau-maunya menerima kasus tersebut sampai di pengadilan. Hal ini sangat mengagetkan dan menusuk rasa keadilan. Rasa keadilan bagikan permata yang terselubung dengan pasal-pasal undang-undang yang kaku. Harusnya sejak awal memang tak usalah diajukan ditingkat kasasi di MA. MA dalam memutuskan pun juga tak mengindahkan rasa keadilan, hakim hanya melihat pasal-pasal yang kaku tidak mempertimbangkan dari segi rasa kemanusian si terdakwa. Keadilan yang diagung-agung dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan hanyalah suatu yang absurd dan maya. Adil itulah adalah soal rasa nyaman bagi yang ditimpanya degan nalar, rasio, perasan yang memang masuk akal. Jika akalnya hanyalah terpatok pada undang-undang semata tanpa melihat latar belakang kasus yang terjadi maka penegak hokum (hakim) hanyalah sebagai corong kekuasaan perintah undang-undang yang hanya diperdaya oleh alat yang kaku perintah undang-undang bagaikan mesin pemotong rumput yang siap untuk memotong tanpa memandang itu rumput berguna bagi manusia atau rumput perusak tanaman lainnya.

Sungguh aneh sekali hukum di Indonesia. Hukum bagi keadilan semua orang. Namun nyatanya hanyalah memihak pada kepentingan yang mempunyai 'duit' jaksa pun kaya loh kalau seperti itu. Cari-cari masalah saja biar perkaranya terus dapat dilanjutkan.Heran.

Seperti yang dikemukankan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Assiddiqie yang memberikan komentar terhadap kasus tersebut, beliau menilai ''hakim agung semakin membuktikan bahwa pengadilan itu sangat mekanistik dan cara berpikir hakim sangat rigid. Padahal harusnya hakim itu harus menyadari semangat hukum itu untuk kehidupan, bukan malah hakim hidup untuk hukum. "Hakim bukan sekadar penegakan peraturan-peraturan tekstual yang belum tentu berisikan keadilan,"

Itulah saya kira yang bisa saya sebut dengan pasal-pasal yang mati, pasal-pasal di dalam undang-undang tidak mampu menyerap aspirasi hati narani manusia, memang hakimlah yang bisa memainkan dengan manfsirkan aturan di dalam perundang-undangan sehingga tidak kaku, dan sesaui dengan situasi kondisi latar belakang permasalahan si terdakwa. Namun agaknya hakim, sebagai pemutus perkara dalam hal ini memang hatinya tak mampu mendengar dari sisi hati nurani nenek Marsinah.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun