Mohon tunggu...
Desi Ratna Sari
Desi Ratna Sari Mohon Tunggu... Lainnya - Umum

Orang biasa yang lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membaca Ulang Ateisme

5 Mei 2024   11:00 Diperbarui: 5 Mei 2024   11:03 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Memang, ketika dihadapkan dengan kejahatan dan segala penderitaan yang nampak di muka bumi ini, kita akan dengan sangat mudah menganggap bahwa Tuhan itu tidak ada. Jika ia ada, mengapa Ia membiarkan makhluk-makhluk di bumi, termasuk manusia, menderita? Dan ini merupakan sesuatu yang lumrah. Ketidakmampuan kita untuk membuat penderitaan itu sirna dari muka bumi menciptakan kemarahan dalam diri kita. Kemarahan atas realitas atau kenyataan. Mungkin ini lantaran kita turut merasakan rasa sakit dari penderitaan mereka. Saya tentu pernah mengalami hal semacam itu. Berkendara dari luar kampus menuju tempat tinggal, tentu harus  menyaksikan kenyataan-kenyataan yang saya 'anggap' sebagai penderitaan. Hingga saya dipenuhi rasa marah dan menjadikan Tuhan sebagai kambing hitam atas semua itu.


Saya bahkan sempat menaruh rasa curiga terhadap Nietzsche dengan pemikirannya yang kerap dijadikan slogan "Amorfati." Ia mengajarkan kita untuk menerima dunia sebagaimana adanya dengan segala baik buruknya, ketimbang membencinya. Menerima keburukan, yaitu segala sesuatu yang dianggap membuat manusia menderita, sebagai sesuatu yang niscaya. Artinya, keberadaannya pasti adanya di muka bumi ini. Saya curiga, karena pada kenyataannya menerima yang buruk sebagai bagian yang niscaya adanya di muka bumu bukanlah perkara mudah, bahkan teramat sangat sulit. Bagi saya, mau menerima dan menyadari bahkan mengamini yang buruk sebagai bagian dari kenyataan di dunia ini merupakan sebuah perilaku spiritual. Bagaimana bisa, seorang manusia, dengan hati yang lapang, mau merangkul yang buruk ini sebagai sesuatu yang niscaya dalam kehidupan tanpa rasa marah sedikitpun.


Ateisme yang berdasarkan pada pandangan positivistik, yaitu bahwa segala sesuatu yang benar adalah ia yang bisa difaktual, bisa diilmiahkan, bisa saya terima karena ia mampu memahami gerak semesta secara ilmiah. Tetapi, ateisme yang berangkat dari menyalahkan Tuhan, yang dianggap sebagai entitas yang Maha Baik, karena membiarkan penderitaan merayap dalam setiap lini kehidupan makhluknya, bagi saya hanyalah sebuah kemarahan atas ketidakmampuannya mengatasi penderitaan dan keikutsertaannya merasakan rasa sakit penderitaan tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun