Mohon tunggu...
Deo pastika
Deo pastika Mohon Tunggu... Mahasiswa

Salah satu mahasiswa di universitas Sriwijaya, Palembang Sumatera Selatan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lunturnya Rasa Malu di Era Facebook Pro

12 Oktober 2025   06:16 Diperbarui: 12 Oktober 2025   06:19 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto hanya ilustrasi 

Dalam budaya Indonesia, "rasa malu"adalah tanda seseorang masih memiliki sopan santun dan harga diri. Sejak kecil kita diajarkan untuk tahu batas — malu jika berkata kasar, berpakaian tidak pantas, atau berbuat sesuatu yang mempermalukan keluarga. Dulu, rasa malu menjadi benteng moral yang menjaga kehormatan diri dan nama baik.

Namun, kini nilai itu mulai memudar, terutama sejak hadirnya "Facebook Pro" dan media sosial lain yang memberi ruang besar bagi siapa pun untuk tampil di depan publik. Banyak orang kini berani melakukan hal-hal memalukan hanya demi tontonan. Nilai malu yang dulu dijunjung tinggi, perlahan digantikan oleh keinginan untuk viral dan populer.

Sistem Facebook Pro yang Menggiurkan

Facebook Pro memberikan kesempatan bagi penggunanya "untuk menghasilkan uang dari jumlah tayangan dan interaksi pada konten." Artinya, semakin banyak penonton dan komentar, semakin besar pula pendapatan.
Sayangnya, sistem ini sering kali membuat orang terdorong membuat "konten ekstrem, sensasional, bahkan tak pantas", karena video semacam itu lebih cepat menarik perhatian publik.

Walau Facebook tidak secara langsung mendorong perilaku demikian, "algoritma platform ini memberi keuntungan bagi konten yang ramai ditonton", bukan yang bermutu atau beretika. Akibatnya, perhatian publik kini menjadi "alat tukar baru" — menggantikan nilai moral yang dulu menjadi pegangan hidup.

Akar Hilangnya Rasa Malu di Dunia Digital

Fenomena pudarnya rasa malu ini muncul karena beberapa hal:

1. Terbiasa melihat hal tak pantas
   Semakin sering orang disuguhi konten vulgar, kasar, atau berlebihan, semakin tumpul pula rasa malunya. Hal yang dulu dianggap memalukan, kini dianggap biasa.

2. Budaya ikut-ikutan
   Melihat orang lain terkenal karena konten ekstrem membuat sebagian orang berpikir bahwa cara itu sah-sah saja. Padahal, popularitas seperti itu sering kali berumur pendek dan berisiko.

3. Tekanan ekonomi
   Tidak sedikit orang yang nekat membuat konten memalukan karena tergiur penghasilan dari Facebook Pro. Demi uang, rasa malu pun dikorbankan.

4. Perasaan aman di dunia maya
   Karena bersembunyi di balik layar, banyak pengguna merasa tindakannya tidak akan menimbulkan konsekuensi nyata, sehingga lebih berani bertingkah tanpa kontrol.

Akibatnya, rasa malu yang seharusnya menjadi pengingat moral, kini justru dianggap penghalang menuju “kesuksesan digital.”

Konten Sensasional, Uang Mengalir

Jenis konten yang paling laris di Facebook Pro biasanya yang menarik emosi penonton — seperti pertengkaran, pamer harta, prank berlebihan, hingga aksi tak senonoh di ruang publik.
Konten seperti ini menimbulkan rasa penasaran dan komentar ramai, meski jelas melanggar norma kesopanan. Ironisnya, semakin parah perilaku yang ditampilkan, semakin tinggi jumlah penontonnya.

Salah satu contoh nyata terjadi pada Grup Facebook “Fantasi Sedarah” yang sempat viral pada tahun 2024. Grup tersebut menyebarkan konten asusila dan eksploitasi anak, bahkan menjual konten kepada anggota lain. Setelah viral, polisi menangkap adminnya dan Kominfo memblokir grup tersebut.
Kasus ini membuktikan bahwa rasa malu kini bisa dikalahkan oleh motif ekonomi dan ketenaran semu.

Dampak bagi Individu dan Keluarga

Bagi pembuat konten, kebiasaan mencari perhatian dengan cara ekstrem dapat menimbulkan "krisis identitas. Mereka kehilangan batas antara kenyataan dan sandiwara. Saat popularitas meredup, banyak yang merasa tertekan dan kehilangan jati diri.

Di lingkungan keluarga, tindakan seperti ini sering menimbulkan aib dan konflik. Orang tua atau anak-anak bisa ikut menanggung malu akibat ulah anggota keluarganya yang tampil tidak pantas di media sosial.
Lebih parah lagi, dalam kasus seperti Grup Fantasi Sedarah, banyak korban anak-anak kehilangan privasi dan martabat karena dijadikan bahan tontonan.

Dampak Sosial: Bergesernya Nilai dan Empati

Fenomena hilangnya rasa malu ini juga berdampak luas pada masyarakat. Nilai-nilai seperti sopan santun, empati, dan saling menghargai mulai terkikis. Hal yang dulu dianggap salah kini dianggap lumrah, asal bisa menghibur atau mengundang perhatian.

Masyarakat pun cenderung lebih individualistis. Ukuran keberhasilan bukan lagi kebaikan hati, melainkan jumlah penonton, pengikut, dan pemasukan. Hubungan sosial menjadi dangkal karena orang lebih fokus mencari pengakuan di dunia maya daripada menjaga hubungan nyata.

Tanggung Jawab Bersama

Fenomena ini tidak bisa disalahkan pada satu pihak saja, karena tanggung jawabnya bersifat kolektif.

Platform digital perlu memperketat pengawasan terhadap konten yang berpotensi merusak moral publik.
Pemerintah harus menegakkan regulasi tegas agar ruang digital tidak dipenuhi konten berbahaya.
Media dan masyarakat sebaiknya berhenti mengangkat konten memalukan hanya demi sensasi.
Keluarga harus berperan aktif mendidik anak agar memahami batas etika dalam bermedia sosial.

Kasus seperti "Grup Fantasi Sedarah" menjadi bukti bahwa tanpa pengawasan, dunia digital bisa menjadi lahan subur bagi penyimpangan moral dan kejahatan daring.

Langkah Perbaikan dan Harapan

Untuk mencegah kerusakan moral akibat media sosial, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan:

1. Edukasi literasi digital sejak dini — agar generasi muda memahami etika dan tanggung jawab dalam menggunakan media sosial.
2. Kampanye kesadaran publik — agar masyarakat peka terhadap dampak sosial dari konten tidak pantas.
3. Kebijakan platform dan pemerintah — untuk memastikan sistem monetisasi tidak mendorong perilaku ekstrem.
4. Keteladanan dari tokoh publik dan kreator positif — agar masyarakat punya panutan yang menampilkan nilai-nilai moral tanpa kehilangan kreativitas.

Yang paling penting, kita perlu menghidupkan kembali makna rasa malu sebagai cermin moral, bukan sebagai hukuman sosial. Rasa malu justru menandakan seseorang masih memiliki hati nurani dan kesadaran diri.

Penutup

Fenomena "hilangnya rasa malu demi konten Facebook Pro" mencerminkan perubahan besar dalam cara masyarakat memandang kehormatan. Generasi kini bukan tidak bermoral, tetapi hidup dalam sistem yang lebih menghargai popularitas dibanding integritas.

Sudah waktunya kita bersama — orang tua, pendidik, dan warga negara — menanamkan kembali nilai-nilai sopan santun dan rasa malu dalam kehidupan digital. Dengan demikian, media sosial dapat menjadi sarana untuk berbagi manfaat dan pengetahuan, bukan tempat untuk mempermalukan diri sendiri demi sensasi sesaat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun