Mohon tunggu...
Dion Muhammad Nadhif
Dion Muhammad Nadhif Mohon Tunggu... Dion Muhammad Nadhif Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta Jurusan Ilmu Hubungan Internasional 151240091

Dion Muhammad Nadhif Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta Jurusan Ilmu Hubungan Internasional 151240091

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Luar Negeri Indonesia pada Masa Transisi: Studi Kasus Referendum Timor Timur 1999

14 Oktober 2025   15:26 Diperbarui: 14 Oktober 2025   16:22 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tahun 1999 menyajikan salah satu momen paling penuh konflik dalam sejarah diplomasi Indonesia, di mana negara ini tengah menavigasi peralihan dari pemerintahan otoriter ke sistem demokrasi yang lebih terbuka. Indonesia menghadapi tantangan krusial: memilih antara menjaga integritas kedaulatan nasional yang telah lama dipertahankan atau menghormati hak rakyat Timor Timur untuk memutuskan nasib mereka secara mandiri.

Pasca runtuhnya kekuasaan Soeharto pada 1998, komunitas internasional melihat Indonesia sebagai negara yang berusaha keras untuk memperbaiki reputasinya. Era Orde Baru yang dipimpin Soeharto meninggalkan dampak yang rumit, termasuk catatan pelanggaran hak asasi manusia, masalah ekonomi yang menekan, dan hubungan luar negeri yang sarat dengan ketidakpercayaan. B.J. Habibie, sebagai presiden yang baru saja dilantik, dituntut untuk segera mengubah persepsi global terhadap Indonesia melalui kebijakan yang tegas dan inovatif.

Isu Timor Timur telah lama menjadi sorotan utama di panggung internasional sejak penggabungannya ke Indonesia pada 1976. Berbagai laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia di wilayah itu sering membuat Indonesia berada dalam posisi yang sulit dalam diskusi global, dengan negara-negara Barat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terus memberikan tekanan untuk mencapai solusi damai. Australia, sebagai salah satu pihak yang paling aktif, secara konsisten mendorong penyelenggaraan referendum sebagai jalan keluar.

Habibie dihadapkan pada keputusan yang sangat pelik, di satu sisi, ia berambisi membangun citra Indonesia sebagai negara yang demokratis dan menghormati hak asasi manusia, sementara di sisi lain, ia harus menghadapi tekanan kuat dari militer serta kelompok nasionalis domestik yang menentang segala bentuk pemisahan wilayah. Dalam situasi tersebut, Habibie memilih pendekatan yang berani dengan memberikan kesempatan kepada rakyat Timor Timur untuk menentukan masa depan mereka sendiri.

Pada awal tahun 1999, tepatnya Januari, Habibie mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan dunia: rakyat Timor Timur akan diberikan dua opsi, yaitu menerima status otonomi khusus di bawah kendali Indonesia atau memilih untuk memisahkan diri dan membentuk negara independen. Keputusan ini menjadi momen pivotal yang secara drastis mengubah arah kebijakan luar negeri Indonesia, karena dianggap terlalu cepat oleh sebagian pihak, meskipun bagi Habibie, langkah tersebut mencerminkan komitmen moral dan politiknya untuk masa depan bangsa yang lebih adil.

Pemungutan suara referendum yang diadakan pada Agustus 1999 menghasilkan hasil yang jelas dan menentukan, di mana 78,5 persen penduduk Timor Timur memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia. Namun, hasil ini memicu gelombang kekerasan dan kerusuhan di wilayah tersebut, terutama dari kelompok milisi yang mendukung integrasi dan menolak keputusan rakyat. Keadaan semakin memburuk, sehingga memaksa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengirim pasukan penjaga perdamaian internasional, yaitu INTERFET, guna mengendalikan situasi dan memulihkan stabilitas.

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, hasil referendum menjadi pengalaman yang menyakitkan, menciptakan rasa kehilangan, kemarahan, dan bahkan rasa malu atas peristiwa tersebut. Meskipun demikian, dari perspektif internasional, keputusan Habibie dianggap sebagai tanda transformasi besar dalam diplomasi Indonesia, di mana untuk pertama kalinya sejak era Sukarno, negara ini menerapkan prinsip "bebas dan aktif" dengan cara yang lebih etis dan demokratis, bukan sekadar berdasarkan pertimbangan strategis semata.

Meskipun Habibie akhirnya kehilangan kendali atas Timor Timur, keputusannya tersebut berhasil memulihkan kehormatan Indonesia di mata global. Langkah ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak lagi menjadi negara yang tertutup terhadap norma-norma hukum internasional, melainkan entitas yang siap menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Akibatnya, politik luar negeri Indonesia mulai diakui sebagai pendekatan yang lebih transparan dan bertanggung jawab, sejalan dengan semangat reformasi yang sedang berkembang di dalam negeri.

Dari segi diplomasi, keputusan tersebut membuka peluang baru untuk kolaborasi internasional, di mana banyak negara Barat yang sebelumnya membatasi interaksi dengan Indonesia kini mulai merintis kembali dialog dan kerjasama. Citra Indonesia, yang telah rusak selama dua puluh tahun terakhir, mengalami perubahan positif berkat keberanian politik Habibie dalam mengambil tanggung jawab moral atas konflik panjang di Timor Timur, sehingga memperbaiki reputasi negara di mata dunia.

Meskipun demikian, keputusan itu meninggalkan bekas luka politik di dalam negeri, di mana sebagian kelompok mengkritik Habibie sebagai sosok yang "terlalu lunak" dan kurang nasionalis karena rela melepaskan wilayah tanpa perlawanan berdarah. Di balik kritik-kritik tersebut, ada pelajaran penting bahwa kedaulatan yang sesungguhnya tidak hanya diukur dari besarnya wilayah, melainkan dari kemampuan suatu bangsa untuk menghormati dan melindungi hak-hak warganya sendiri.

Dilema yang dihadapi Habibie menggambarkan evolusi identitas politik luar negeri Indonesia yang sedang mencari bentuk baru, di mana diplomasi bukan sekadar alat untuk mempertahankan batas negara, tetapi juga sarana untuk menjaga batas moral dan etika. Dalam era globalisasi yang semakin terbuka, diplomasi tanpa dasar nurani akan kehilangan arahnya, sementara kekuasaan yang tidak didasari nilai-nilai akan kehilangan legitimasi di mata masyarakat internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun