Mohon tunggu...
Deon Noval S
Deon Noval S Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa yang mencari bacaan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pernah Bertanya "Siapa itu Tuhan?" Ini Jawaban Dari Sejarah dan Islam!

16 Juni 2025   23:52 Diperbarui: 16 Juni 2025   23:52 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pernah Bertanya 'Siapa Itu Tuhan?' Ini Jawaban dari Sejarah dan Islam

Konsep "Tuhan" sering dimulai dari pengertian dasar secara bahasa, di mana menurut KBBI Tuhan dimaknai sebagai entitas yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai yang Mahakuasa. Namun pemahaman ini tidak hanya berhenti pada definisi secara bahasa, karna kata Tuhan mengandung lapisan makna yang lebih mendalam yang dipengaruhi konteks budaya, praktik keagamaan, dan kerangka filosofis. Bagi Setiap orang, memahami makna "Tuhan" dapat berbeda antar kelompok masyarakat, membantu menghindarkan dari sikap fanatik  dan dapat membuka ruang refleksi kritis terhadap asumsi yang terbawa secara turun temurun.

Pertanyaan "Siapa itu Tuhan?" mengantarkan kita pada jejak panjang pemikiran manusia yang telah berkembang sejak masa prasejarah hingga era modern. Secara historis, gagasan tentang entitas tertinggi muncul dari kebutuhan awal manusia untuk menjelaskan fenomena alam dan memberi makna pada kehidupan. Pada tahap awal, muncul keyakinan animisme, lalu berkembang ke politeisme. Seiring waktu, muncul kesadaran akan satu realitas tertinggi yang bersifat lebih universal, mendorong lahirnya monoteisme dalam tradisi Abrahamik dan pemikiran filosofis yang memformulasikan konsep Tuhan sebagai penyebab pertama atau pokok keberadaan. Dalam konteks sejarah pemikiran, para filsuf klasik seperti Plato dan Aristoteles memberikan kerangka teoretis yang memandang Tuhan atau Yang Mutlak sebagai sumber kebaikan dan penyebab tak bergerak, meski tanpa personalisasi seperti dalam agama-agama. Periode ini menunjukkan upaya rasional untuk memahami keberadaan tertinggi, saling melengkapi narasi religius yang bersandar pada wahyu atau tradisi.

Dalam tradisi Islam, pertanyaan "Siapa itu Tuhan?" dijawab dengan doktrin tauhid yang menegaskan keesaan dan kemahakuasaan Allah tanpa sekutu atau keturunan. Surah Al-Ikhlas menegaskan inti ini dengan ringkas: bahwa Tuhan adalah Yang Maha Esa, sumber segala sandaran, tanpa beranak dan tidak diperanakkan, serta tiada banding bagi-Nya. Pemahaman ini menekankan sifat transenden dan unik yang menjauhkan dari penyamaan atau pengaburan wibawa Ilahi. Meski demikian, menyelami konsep Tuhan dalam kerangka Islam tidak mengesampingkan dialog dengan pemahaman lain. Tradisi lain mungkin menekankan manifestasi ilahi dalam aspek kosmis atau pengalaman batin tanpa sosok pencipta yang personal, sementara pemikiran sekuler menyorot makna eksistensial tanpa entitas transenden.

Sejarah Pemikiran Manusia Tentang Tuhan: Dari Kekuatan Alam Menuju Ketuhanan yang Esa

Sejak zaman prasejarah, manusia selalu mencari jawaban atas pertanyaan mendasar tentang kehidupan, alam semesta, dan kekuatan di balik keduanya. Pencarian ini memunculkan berbagai bentuk keyakinan yang berkembang seiring waktu. Dari kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan gaib, hingga pengakuan terhadap Tuhan yang tunggal dan universal, perjalanan pemikiran manusia tentang Tuhan mencerminkan pertumbuhan spiritual dan intelektual peradaban.

1. Dinamisme: Kepercayaan terhadap Kekuatan Benda

Tahapan awal dalam sejarah kepercayaan ditandai dengan dinamisme, yaitu keyakinan bahwa benda-benda tertentu mengandung kekuatan supranatural. Benda seperti batu besar, pohon tua, air terjun, atau bahkan senjata dianggap memiliki kekuatan yang bisa memengaruhi keberuntungan, kesehatan, atau keselamatan seseorang. Praktik ini banyak ditemukan dalam budaya masyarakat tradisional dan menjadi cikal bakal dari bentuk kepercayaan yang lebih kompleks.

2. Animisme: Kehidupan dalam Roh

Dinamisme kemudian berkembang menjadi animisme, yakni kepercayaan bahwa setiap makhluk dan benda memiliki roh atau jiwa. Roh-roh ini, termasuk roh leluhur, dipercaya tetap hidup setelah kematian dan memiliki kekuatan untuk membantu atau mencelakakan manusia. Untuk menjaga hubungan baik dengan roh-roh tersebut, masyarakat melakukan berbagai ritual, persembahan, dan upacara adat. Animisme menjadi dasar dari banyak sistem kepercayaan tradisional di berbagai belahan dunia.

3. Politeisme: Dunia yang Dipenuhi Banyak Dewa

Dengan berkembangnya peradaban, lahir konsep politeisme atau kepercayaan kepada banyak dewa. Setiap dewa memiliki tugas dan kekuasaan atas aspek tertentu dalam kehidupan, seperti perang, panen, cinta, atau laut. Di Mesir Kuno, Yunani, dan Romawi, para dewa digambarkan memiliki sifat dan cerita masing-masing, mencerminkan sifat manusia itu sendiri. Politeisme juga memperlihatkan bagaimana manusia mencoba memahami kompleksitas dunia melalui tokoh-tokoh ilahi yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari.

4. Henoteisme: Satu Dewa yang Diutamakan

Dalam beberapa budaya, politeisme berkembang menjadi henoteisme, yaitu keyakinan kepada banyak dewa namun dengan penekanan pada satu dewa yang paling utama. Dewa tersebut dipandang lebih tinggi, lebih berkuasa, atau lebih dekat dengan umatnya dibanding dewa-dewa lain. Contohnya terlihat dalam tradisi keagamaan Mesir dengan Amun-Ra sebagai dewa tertinggi, atau dalam agama-agama India kuno yang memusatkan ibadah pada satu dewa dalam satu waktu meski mengakui keberadaan dewa lainnya.

5. Monoteisme: Keyakinan pada Tuhan yang Maha Esa

Puncak perkembangan pemikiran keagamaan adalah monoteisme, yaitu kepercayaan kepada satu Tuhan yang maha kuasa, maha mengetahui, dan menjadi pencipta seluruh alam semesta. Konsep ini menegaskan bahwa Tuhan bersifat tunggal, tidak terbagi, dan tidak memiliki tandingan. Monoteisme menjadi dasar dari agama-agama besar dunia seperti Yudaisme, Kristen, dan Islam. Dalam sistem ini, Tuhan tidak hanya menjadi objek ibadah, tetapi juga sumber moral, hukum, dan tujuan hidup manusia.

Perjalanan panjang pemikiran manusia tentang Tuhan mencerminkan proses spiritual dan intelektual yang kaya dan mendalam. Dari kekuatan benda hingga Tuhan yang tunggal dan transenden, perkembangan ini menunjukkan bahwa manusia secara naluriah terus mencari makna hidup dan keterhubungannya dengan kekuatan yang lebih besar dari dirinya. Pemahaman ini terus berkembang, seiring manusia terus menggali nilai-nilai ketuhanan dalam konteks budaya dan zaman yang terus berubah.

Mengenal Tuhan: Melalui Akal dan Hati

Pencarian terhadap Tuhan merupakan proses spiritual dan intelektual yang telah menjadi bagian dari perjalanan manusia sepanjang sejarah. Dalam Islam, proses mengenal Tuhan bukanlah sesuatu yang instan atau terbatas pada warisan budaya dan tradisi semata, melainkan merupakan tanggung jawab individu yang bersifat mendalam. Islam membuka dua jalan utama untuk mengenal Tuhan secara utuh: melalui akal dan hati.

1. Akal: Jalan Rasional Menuju Kesadaran Ilahiah

Islam sangat menghargai penggunaan akal. Bahkan dalam banyak ayat Al-Qur'an, manusia diajak untuk berpikir, merenung, dan mengamati. Misalnya, dalam Surah Al-Imran ayat 190-191, Allah menyebutkan bahwa dalam penciptaan langit dan bumi terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. Mereka adalah orang-orang yang berpikir tentang penciptaan dan kemudian mengakui bahwa Tuhan tidak menciptakan semuanya sia-sia.

Menggunakan akal dalam mengenal Tuhan berarti membuka mata terhadap tanda-tanda kebesaran-Nya yang tersebar di alam semesta. Keteraturan pergerakan planet, keajaiban tubuh manusia, hukum alam yang konsisten---semuanya merupakan "ayat-ayat kauniyah" atau tanda-tanda Tuhan yang dapat ditangkap oleh logika dan nalar. Dari sana, seseorang akan menyadari bahwa keberadaan Tuhan bukan sekadar dogma, tetapi sebuah kesimpulan logis dari keberadaan dan keteraturan semesta.

Namun, akal punya batas. Ia hanya bisa menjangkau hal-hal yang bersifat empiris dan logis. Untuk menembus ke wilayah yang lebih dalam---wilayah rasa dan makna---maka diperlukan jalan kedua: hati.

2. Hati: Jalan Spiritualitas Menuju Kedekatan

Hati, dalam bahasa Arab dikenal sebagai qalb, bukan sekadar organ fisik, tetapi pusat rasa, kesadaran batin, dan intuisi spiritual. Dalam banyak tradisi Islam, mengenal Tuhan melalui hati berarti melalui proses penyucian jiwa, introspeksi, dan penguatan hubungan spiritual dengan Sang Pencipta.

Salah satu konsep penting dalam mengenal Tuhan lewat hati adalah mujahadatun nafs---perjuangan melawan hawa nafsu. Ini adalah proses penyaringan dan pembenahan diri agar hati tidak tertutup oleh kesombongan, kesibukan duniawi, dan nafsu rendah. Hanya dengan hati yang jernih, seseorang bisa merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap aspek kehidupannya.

Cara-cara mendekatkan diri kepada Tuhan melalui hati antara lain:

  • Dzikir (mengingat Allah secara terus-menerus)
  • Doa yang tulus
  • Ibadah yang khusyuk
  • Tafakur (merenung dalam kesunyian)
  • Menjauhi maksiat dan memperbanyak amal baik

Dari sinilah lahir rasa yakin yang lebih mendalam, yang dalam Islam disebut sebagai yaqin. Terdapat tiga tingkatan yaqin:

  • Ilmul Yaqin: keyakinan melalui pengetahuan
  • Ainul Yaqin: keyakinan melalui pengamatan langsung
  • Haqqul Yaqin: keyakinan melalui pengalaman batiniah

Tingkatan tertinggi hanya bisa dicapai jika seseorang menyelaraskan akal dan hati---rasio dan rasa.

3. Harmoni Akal dan Hati

Akal tanpa hati bisa membuat seseorang kering secara spiritual. Ia mungkin memahami konsep Tuhan, tetapi tidak merasakannya. Sebaliknya, hati tanpa akal bisa membawa seseorang ke arah fanatisme atau kesesatan spiritual karena minim dasar logis. Islam mengajarkan keseimbangan: berpikir dengan logika, tetapi juga merasakan dengan empati dan intuisi.

Mengenal Tuhan bukan hanya soal memahami keberadaan-Nya, tetapi juga membentuk kesadaran ilahiah yang membimbing cara hidup seseorang. Ketika akal memahami bahwa Tuhan Mahakuasa, hati ikut tunduk dalam ketenangan dan kepercayaan total kepada-Nya. Maka, lahirlah pribadi yang bijak, tenang, dan penuh kasih.

Mengenal Tuhan melalui akal dan hati adalah proses yang terus berlangsung sepanjang hidup. Ia menuntut keterbukaan, kesungguhan, dan ketulusan. Dalam Islam, mengenal Tuhan bukanlah tujuan akhir, melainkan awal dari kehidupan spiritual yang lebih bermakna. Saat manusia mampu mengintegrasikan logika dan rasa, ia tak hanya mengenal Tuhan di pikirannya, tapi juga merasakan kehadiran-Nya dalam relung terdalam jiwanya.

Tingkatan Keyakinan kepada Tuhan

Tingkatan keyakinan kepada Tuhan menggambarkan seberapa dalam dan matang keimanan seseorang terhadap Tuhan. Dalam berbagai tradisi keagamaan dan spiritualitas, tingkatan ini bisa dijelaskan dalam beberapa cara. Secara umum, berikut adalah tingkatan keyakinan kepada Tuhan yang dapat digunakan secara lintas agama.

Ilmul Yaqin, Ainul Yaqin, Haqqul Yaqin adalah tahapan dalam pendirian seseorang dalam pandangan Musyahadahnya (penyaksiannya) kepada Allah Swt. Di dalam Ilmul Yaqin segala pengetahuan ilmu telah diliputi dengan Ilmu Allah sehingga apapun amaliah maupun ubudiyah itu semua menunjukkan dari pada lautan Ilmu Allah Ta'ala.

Ilmul Yaqin: 

Ilmu al yaqin itu adalah keyakinan akan keberadaan Allah swt berdasar ilmu pengetahuan tentang sebab akibat atau melalui hukum kausalita, seperti keyakinan dari para ahli ilmu kalam. Misalnya apa saja yang ada di alam semesta ini adalah sebagai akibat dari sebab yang telah ada sebelumnya. Sedangkan sebab yang telah ada sebelumnya yang juga merupakan akibat dari sebab yang sebelumnya lagi, sehingga sampai pada satu sebab yang tidak diakibatkan oleh sesuatu sebab, yang disebabkan penyebab pertama atau causa prima. Dan itulah Tuhan.

Allah Ta'ala menyebutkan tentang ilmul yaqin dalam firman-Nya, "Janganlah begitu. Jika kalian mengetahui dengan pengetahuan ainul yaqin." (QS At-Takatsur: 5)

Contohnya :

  • Memahami bahwa Allah itu ada dan memiliki sifat-sifat tertentu berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis.
  • Mengetahui bahwa amal baik akan mendapatkan pahala berdasarkan ajaran Islam.

Ainul Yaqin:

Dalam kitab Al-Hikam karya Syekh Ibnu Atoilah Asyakandari disebut syu'aaul bashiirah atau cahaya akal. Ainul Yaqin ialah orang-orang yang menggunakan nurul ilmu, merasa dirinya tidak ada jika dibandingkan dengan adanya Allah SWT. Ainul Yaqin disebut juga ainul bashiirah atau cahaya ilmu. Ainul yaqin artinya adalah keyakinan yang merupakan hasil dari pengamatan dan persaksian. Ainul yaqin lebih kuat lagi sifatnya daripada ilmul yaqin karena seseorang sudah menyaksikannya sendiri.

Firman Allah 'Azza wa Jalla mengenai ainul yaqin terdapat dalam ayat,

"Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin." (QS At-Takatsur: 7)

Contohnya :

  • Melihat dengan mata sendiri bagaimana seseorang yang beramal baik mendapatkan balasan yang baik dalam hidupnya.
  • Mengalami sendiri ketenangan dan ketentraman saat beribadah, yang menunjukkan kehadiran Allah dalam hidup.

Haqqul Yaqin:

Haqqul Yaqin, adalah kemantapan dalam pendirian yang kokoh setelah ia mengetahui kemudian ia melihat dengan penyaksian lalu kemudian tertanam sedalam2nya pada dirinya bahwa : "Segala sesuatu apapun yang terlihat, tidak ada yang ada melainkan ilmu allah ta'ala, segala sesuatu apapun yang terdengar todak ada yang ada melainkan kalam allah ta'ala, dan tidak ada yang terasa maupun dirasakan melainkan sirrullah (zatullah)".

Penjelasan makna Haqqul yaqin bisa dimaksudkan keyakinan yang dimiliki oleh orang yang telah menyadari bahwa alam semesta ini pada hakekatnya adalah bayangan dari Penciptanya, sehingga dia dapat merasakan wujud yang sejati itu hanyalah Allah, sedangkan lainnya hanyalah bukti dari wujud yang sejati tersebut, yaitu Allah swt.

Contohnya :

  • Merasakan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan, sehingga setiap tindakan dilakukan dengan penuh kesadaran akan-Nya.
  • Mengalami kedamaian dan kepuasan batin yang mendalam saat menjalani ibadah, yang menunjukkan pemahaman akan makna dan tujuan hidup.

Keimanan dan ketaqwaan sebagai bukti pengenalan Tuhan 

Pengenalan terhadap Tuhan yang sejati tidak cukup hanya dengan mengetahui nama dan sifat-Nya, melainkan harus tercermin dalam keyakinan hati dan perilaku sehari-hari. Dua hal yang menjadi bukti nyata seseorang benar-benar mengenal Tuhannya adalah keimanan dan ketaqwaan. Iman merupakan keyakinan penuh dalam hati terhadap keberadaan Allah, kebenaran ajaran-Nya, serta enam rukun iman : percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan takdir baik maupun buruk. Iman bukan sekadar pengakuan lisan, tetapi keyakinan yang hidup dan memengaruhi cara berpikir serta bertindak.

Pengenalan terhadap Tuhan yang sejati tidak cukup hanya dengan mengetahui nama dan sifat-Nya, melainkan harus tercermin dalam keyakinan hati dan perilaku sehari-hari. Dua hal yang menjadi bukti nyata seseorang benar-benar mengenal Tuhannya adalah keimanan dan ketaqwaan. Iman merupakan keyakinan penuh dalam hati terhadap keberadaan Allah, kebenaran ajaran-Nya, serta enam rukun iman : percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan takdir baik maupun buruk. Iman bukan sekadar pengakuan lisan, tetapi keyakinan yang hidup dan memengaruhi cara berpikir serta bertindak.

Dari iman yang kokoh akan lahir taqwa, yaitu sikap hati dan perilaku yang dilandasi kesadaran untuk menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Taqwa merupakan bentuk nyata dari keimanan sebuah bukti bahwa keyakinan dalam hati tidak tinggal diam, melainkan mendorong seseorang untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah. Orang yang bertaqwa akan selalu berhati-hati dalam setiap langkahnya, menjaga diri dari dosa, dan senantiasa berusaha memperbaiki amal perbuatannya.

Maka, orang yang sungguh-sungguh mengenal Allah akan tampak dari kuatnya iman dalam hatinya dan konsistensinya dalam bertaqwa. Pengenalan kepada Tuhan bukan hanya meningkatkan pemahaman, tetapi juga menumbuhkan cinta, takut, dan harapan kepada-Nya. Inilah bukti bahwa pengenalan itu hidup dan membawa perubahan bukan sekadar pengetahuan, melainkan kesadaran yang menuntun kepada jalan yang diridhoi Allah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun