Bandung, Gedung Merdeka-- Kongres Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang digelar di Kota Bandung baru-baru ini menghadirkan lebih dari sekadar dinamika organisasi. Forum yang seharusnya menjadi ajang konsolidasi ide dan perjuangan, justru menjelma menjadi panggung pertunjukan kepentingan elit, sebuah pentas megah yang dikoreografikan dengan sangat rapi dan penuh improvisasi politik.
Badan Pekerja Kongres (BPK) mendapat sorotan karena kepiawaiannya dalam bersikap fleksibel, satu kemampuan penting dalam dunia seni peran dan, tampaknya, juga dalam dunia organisasi. Arahan konstitusional ditafsirkan dengan penuh kreativitas, tentu demi "kelancaran acara" dan harmonisasi dengan aspirasi para dermawan yang tidak tercantum dalam AD/ART.
Waktu kongres dikelola dengan sangat "efisien", dalam artian memberikan jeda yang cukup untuk diskusi-diskusi penting bukan di ruang pleno, tetapi di balik pintu tertutup, jauh dari hiruk-pikuk suara kader biasa yang terlalu bising dengan idealisme.
Bandung, yang dahulu dikenal sebagai kota perlawanan dan semangat Marhaenisme, kini menampilkan wajah baru: kota yang ramah bagi negosiasi kepentingan dan kompromi elit. Sebuah ironi yang patut dinikmati dengan tepuk tangan perlahan.
Kongres ini memberikan pelajaran penting tentang bagaimana organisasi mahasiswa bisa beradaptasi dengan realitas politik yang lebih besar. Bahwa perjuangan ideologis pun, jika dirasa terlalu kaku, bisa dikalibrasi agar tidak mengganggu harmoni kekuasaan.
Maka, jika ada yang bertanya apakah kongres ini sukses, jawabannya jelas: sukses menampilkan bagaimana politik akomodasi bisa berdiri tegak di atas nama perjuangan rakyat.
Penulis : Deny Arianto
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI