Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendidikan Esensial

8 Maret 2023   15:09 Diperbarui: 1 April 2024   10:06 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: unsplash.com


Yang dimaksud dengan pendidikan esensial kira-kira berarti: “menyelenggarakan pendidikan dan pembelajaran yang hanya berfokus pada kompetensi terpenting yang semestinya dimiliki peserta didik.”

Pemilahan kompetensi itu berarti pula menyampingkan dan bahkan meniadakan kompetensi-kompetensi lain yang kurang atau tidak penting sebagaimana tercermin dalam materi dan proses pembelajaran. Artinya, pendidikan esensial hanya mengusung materi esensial dan fokus pada peningkatan kualitas kompetensi lulusannya.

Sekitar tahun 2020, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim mempopulerkan istilah ‘materi esensial’. Pembatasan fisik akibat pandemi membuat kegiatan operasional pendidikan terhambat dan mesti dibuat seringkas dan seefektif mungkin. Pembelajaran jarak jauh secara daring menuntut para pendidik untuk menyajikan materi-materi pembelajaran esensial yang sifatnya urgen, kontinu, relevan, dan terpakai.

Apakah hal itu berarti bahwa selama ini pendidikan kita banyak berisikan muatan yang tidak esensial? Ialah konten-konten mubazir yang tidak benar-benar dibutuhkan oleh peserta didik. Sebetulnya profil lulusan macam apa yang hendak dihasilkan?

Greg McKeown dalam bukunya 'Essentialism: The Disciplined Pursuit of Less' (2014) menulis bahwa esensialis melihat hampir segala hal tidak penting dan hanya menatap beberapa hal yang benar-benar vital. Kebalikannya, non-esensialis memandang segalanya penting, mereka mengerjakan segalanya namun tidak mencapai hasil pada batas maksimal sebagaimana yang diinginkan. Esensialis berkeyakinan bahwa dengan memperbaiki beberapa hal yang kecil namun vital akan berdampak besar terhadap hasil yang diinginkan. The vital few ini justru lebih dipentingkan dibanding the trivial many. Untuk itu proses berpikir dan berkontemplasi menjadi bagian terpenting dalam memilah, mengeliminasi dan mencermati sedalam-dalamnya tujuan-tujuan pendidikan, antara yang esensial dan yang tidak. Mengevaluasi kembali proses-proses yang telah dijalani dan menyusun ulang kompetensi paling esensial yang dibutuhkan peserta didik menjadi krusial adanya.

Meski pikiran McKeown banyak dipengaruhi paham minimalisme – yang mengambil sumbernya dari agama Zen dan filsafat Stoik – orang Islam lebih berhak atas pemikiran itu.

Pendidikan tauhid jelas merupakan yang terpenting. Kemudian mencintai dan menaati Rasul. Kemudian adab dan akhlak bersama dengan praktik ibadah. Identitas yang berisikan nilai-nilai, keyakinan dan kebiasaan Islami merupakan kompetensi inti. Setelah itu kapasitas belajar, kompetensi-kompetensi yang membuat seorang peserta didik menjadi pembelajar sepanjang hayat. Baru kemudian, bekal keterampilan-keterampilan lain yang diperlukan sesuai tuntutan konteks tempat dan zaman.

Ada dua paradigma pendidikan Islam yang mencerminkan konsep pendidikan esensial: pendidikan berbasis fitrah dan pendidikan berbasis mulazamah.

Paradigma pendidikan berbasis fitrah meyakini pendidikan sebagai sesuatu yang simpel: pendidik hanya memelihara fitrah peserta didik yang sudah ada dari sananya (innate), menumbuhkannya dan atau memulihkannya manakala fitrah itu rusak atau terganggu. Materi esensial dalam paradigma pendidikan berbasis fitrah berarti menumbuhkan karakter iman dan menunjang karakter bakat yang beragam pada diri masing-masing individu peserta didik.

Meski pendidikan fitrah itu berbasis di rumah (home education) penerapannya di dunia persekolahan bukannya tidak mungkin. Perspektif-perspektif yang diajukan pendidikan berbasis fitrah telah memperkaya para pendidik di sekolah-sekolah konvensional dengan cara pandang dan teknik-teknik mendidik yang baru.

Saat bakat peserta didik telah teridentifikasi maka pendidikan berbasis mulazamah menjadi metode pembelajaran lanjutan yang disarankan. Pada asalnya model dan metode pembelajaran ini ditujukan dalam rangka menguasai matan kitab-kitab ilmu pengetahuan Islam dengan cara menghafal dan memahami suatu topik secara mendalam. Inti dari metode mulazamah adalah fokus, tidak  berpindah materi sebelum betul-betul menguasainya.

Prinsip-prinsip pembelajaran mulazamah yang diajarkan Samir Yusuf Al-Hakali antara lain: (1) Pengajar tidak boleh mengajar sampai dia sendiri benar-benar paham dan terampil; (2) Harus fokus ke satu kitab sebelum pindah ke kitab yang lain, harus paham, hafal bahkan bisa menerangkan dan mengajarkannya kepada orang lain; (3) Pengawasan berlapis dari pelajar-pengajar-pengawas tingkat 1, pengawas tingkat 2, dan pengawas pakar; (4) Tidak boleh belajar banyak subjek dalam satu waktu (mirip sistem blok); (5) Belajar dari materi yang paling sederhana secara bertahap hingga ke materi yang paling rumit; (6) Kebersamaan seorang syaikh (guru utama) yang menyuplai ilmu dan bertindak selaku teladan iman, akhlak dan ibadah.

Prinsip-prinsip metode mulazamah di atas bisa diterapkan ke subjek-subjek yang lain. Prinsip pembelajaran mulazamah memang menghasilkan kompetensi tingkat tinggi. Menurut hemat kami model mulazamah merupakan pendidikan tingkat lanjut setelah fitrah keimanan dan fitrah belajar peserta didik telah beres.

Aktualita di Lapangan 

Harus diakui bahwa ada banyak sekolah Islam yang didirikan tanpa konsep yang memadai. Sekolah-sekolah itu dibuat oleh komunitas yang sangat membutuhkan pendidikan untuk anak-anak mereka. Dalam situasi mendesak, satu dua orang lantas berinisiatif membikin sekolah, merekrut guru, menjalankan sekolah secara apa adanya sembari mengusahakan perizinan ke pihak Pemerintah. Mereka punya visi dan misi akan tetapi kerepotan mengimplementasikannya di ranah operasional. Satu-satunya panduan berasal pengawas Dinas Pendidikan setempat yang tentu saja memberi arahan sesuai visi-misi Pemerintah. Sekolah Islam pada akhirnya harus merekonsiliasikan visi-misinya dengan visi-misi Pemerintah itu.

Ketika itulah materi-materi membanjir. Anak dituntut belajar banyak hal yang sebenarnya tidak dia butuhkan. Belajar matematika kalkulus padahal bakatnya jadi entrepreneur. Belajar sains padahal bakatnya menghafal Quran. Harus menghafal Quran padahal hafalannya lemah dan dia cerdas linguistik.

Kira-kira sejak sepuluh tahun yang lalu, sekolah-sekolah Islam kerap menawarkan hafalan sekian juz Al-Qur`an sebagai standar kompetensi lulusannya. Namun apakah itu yang esensial? Bukankah semangat cinta Al-Qur`annya, nikmat membaca, merenungi, memahami terjemahannya, mempraktikkan tajwidnya, menemukan hikmah dan relevansinya dengan dunia nyata, hingga mengamalkannya, itu yang lebih esensial ketimbang sekadar hafalan tanpa penghayatan? Baru belakangan disadari bahwa hafalan Qur`an yang banyak tanpa penumbuhan iman ternyata telah menghasilkan lulusan yang timpang: hafalannya banyak namun imannya tipis dan buruk adab-akhlaknya.

Menghafal Al-Qur`an hukumnya hanyalah sunnah, bukan wajib. Harusnya ada pemisahan antara pelajar yang berbakat dengan yang tidak berbakat. Yang tidak berbakat hanya diminta menghafal sekemampuannya sedangkan anak-anak yang berbakat bisa menghafal lebih banyak.

Untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah pembelajaran tahfizh seharusnya disertai dengan tadabbur sehingga peserta didik memahami terjemahan surat dan ayat-ayat tertentu. Dalam hal ini ada dua teladan dari model pendidikan kuttab: (1) mementingkan tadabbur Al-Qur`an dalam rangka penumbuhan karakter iman; (2) adanya sosok guru yang dikagumi dan menjadi teladan. Dalam model pendidikan kuttab, guru baru bisa mengajar setelah menjalani pelatihan selama beberapa bulan.

Soft competencies yang lebih dibutuhkan di masa depan: cinta ilmu, belajar swakarsa (self determined learning), belajar sepanjang hayat sesungguhnya merupakan modalitas budaya yang lama dimiliki umat Islam, bahkan ada legitimasi normatifnya. Selebihnya adalah keterampilan berkomunikasi, kreativitas dalam memecahkan masalah, mengembangkan nalar kritis dan kemampuan serta kemauan berkolaborasi dan berjejaring. Semua kompetensi ini harusnya lebih diperhatikan dibanding penguasaan konten dan materi yang sering kehilangan kontekstualitas dan relevansinya dengan dunia nyata  alias mubazir alias tidak esensial.

Wallahu a’lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun