Mohon tunggu...
Dens Saputra
Dens Saputra Mohon Tunggu... Penulis - De

menulis adalah seni berbicara

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Manusia Rasionalisme II

21 Mei 2023   17:22 Diperbarui: 21 Mei 2023   17:25 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Cara pandang linear ini tumbuh dan hidup dalam dimensi logis sosial yang sering disebut sebagai Culture. Kultur (Culture) dalam beberapa praktek keliru ditafsirkan. 

Semakin tinggi kapasitas kultur sebuah masyarakat, semakin tinggi juga keadaan fanatisme radikalnya. Dimana keadaan tersebut membuat manusia cenderung akan bertindak diluar norma yang sebenarnya telah disepakati bersama. Meskipun norma tersebut masih dalam level lisan. Kemampuan lisan ini memang menjadi cikal bakal sebuah masyarakat terbentuk. 

Tidak hanya itu, kemampuan lisan itu menjadi alasan logis sebuah tatanan sosial mulai dibentuk. Manusia mengatur tatanan dengan menggunakan metode lisan. Salah satu indikator yang membentuk kuatnya metode lisan ini adalah kepercayaan (believe). 

Hal ini sekarang menjadi perhatian khusus. Sebab manusia sudah mulai menipiskan udara kepercayaannya kepada sesama. Bahkan ironisnya lagi, kepada dirinya sendiri.

Dalam matematika dikenal sebuah istilah yang biasa disebut dengan Prinsip Transpalasi. Transpalasi dapat dijelaskan 2+3=5 sama halanya dengan 3+2=5. Dapat disimpulkan bahwa, meskipun caranya berbeda tetapi hasilnya tetap sama. 

Masyarakat "Neo", bahkan zaman berburu dan bercocok tanam pun tetap menggunakan rumus yang sama. Menggunakan segala metode untuk bertahan hidup (survival). 

Selebihnya untuk kesejahteraan dan kedamaian. Maka untuk memupuk semua hal yang sifatnya the common good, maka manusia perlu berinteraksi dan menimbah berbagai keterampilan dan pengetahuan. Dalam perjalanan itu peradaban perlahan dibentuk dan di historikan dalam berbagai kisah-kisah heroik dan penghianatan.

Terus terang, peradaban ini berada pada karpet perjuangan-perjuangan untuk mempertahankan eksistensi. Orang-orang yang kita anggap jahat di masa lalu, bisa saja mereka benar dalam konteks tertentu. Siapa sangka film Joker tahun 2019 yang di sutradarai oleh Tood Philips menorehkan sisi lain dari seorang Joker. 

Ternyata perilaku "jahat" Joker disuplai juga oleh aktivitas sosial budaya yang memaksa eksistensinya semakin berantakan. Ironisnya selama beberapa dekade, Joker menjadi tokoh antagonis dan diasingkan secara sosial. Peristiwa ini memberikan refleksi mendalam tentang betapa kejamnya lingkungan sosial apa bila di isi oleh pribadi-pribadi dengan kepala anarkisme sosial.

Kegelapan tidak muncul dengan sendirinya, tetapi itu ciptaan yang bisa dengan sengaja di buat untuk dikapitalkan. Produksi ketakutan di satu sisi merupakan cara ampuh untuk meningkatkan otoritas penindasan. 

Bisa dilakukan secara individu, oligarki, bahkan masyarakat. Rasionalisme menjadi catatan tidak tentu untuk terus diperdebatkan. Pelan-pelan menjadi tumpul karena ketakutan terus menerus dikapitalkan dan bahkan dikonsumsi tanpa ada proses filterisasi. Manusia menampakan topengnya menjadi "binatang politik" atau zoon politicon dalam bahasa Aristoteles. 

Manusia perlu untuk mengendus berbagai ketidakadilan dan penciuman itu harus tajam. Di asah dan ditempa dengan keras agar menghasilkan manusia politik yang mampu menciptakan metode baru. 

Langkah untuk keluar dari goa ketakutan mungkin bisa dimulai dari memahami kegelapan itu sendiri bahwa yang menciptakan the big darkness adalah malu untuk melangkah. 

Rasionalisme mungkin merupakan anak emas pengetahuan. Tapi tidak cukup jika bumi hanya di isi rasionalisme tanpa ada sisi lain. Misalkan cinta, kasih sayang, rindu, kedamaian, air mata, pelukan, kehangatan, dan bahkan sentuhan. 

Rasionalisme bukan menara gading dengan ketamakan dan kerakusan. Justru rasionalisme di ubah menjadi wajah untuk memahami satu dengan lainnya. Bukankah itu penting untuk tetap menata peradaban yang telah di bangun dengan darah dan keringat ini. Bukankah juga itu setimpal untuk menghargai homo sapiens ini yang terus berubah menjadi lebih baik. 

Manusia bisa jatuh, bahkan berulang kali karena pemujaan rasionalisme, tetapi akan berubah karena rasionalisme itu. Rasionalisme seperti pinggiran koin yang terus menjaga titik equilibrium dengan putaran tanpa henti. Putaran dramatis itu tepat berada di telapak tangan manusia sebagai pemain dalam lakon peradaban manusia.

Rasionalisme mungkin salah satu metode menciptakan kesejahteraan. Manusia pasti butuh akal untuk menata tatanan sosial yang sejak awal berantakan. Sistem dibangun berdasarkan kebutuhan dan kemungkinan untuk di isi oleh individu yang mampu.  Dalam konteks ini, tidak bisa dipandang sebagai bentuk penindasan. 

Melainkan tatanan utuh untuk menciptakan keteraturan. Tatanan itu bisa disebut dengan komunitas, suku, bahkan negara dalam konteks hari ini. Manusia ada dan terjebak dalam sistem yang telah dibangun oelh manusia sendiri. 

Pendidikan dengan stratanya, agama dengan stratanya, dan bahkan budaya dengan stratanya. Jelas bahwa ada klaim terselubung yang beranggapan tatanan tertentulah yang paling berpengaruh serta berkualitas untuk mengatur segala aspek kehidupan manusia. 

Hal ini merupakan titik awal di mana tatanan dalam bentuk apapun di ragukan legitimasinya. Krisis legitimasi bisa berdampak serius kepada eksistensi manusia sebagai obyek sekaligus subyek dari pemanfaatan tatanan sosial dalam mengatur perilaku bermasyarakat, bernegara, beragama, dan berbudaya.

Ketika tatanan didasarkan kepada rasionalisme, tirani bisa menjadi parasit untuk menguntungkan beberapa kalangan. Tirani menjadi penyakit berbahaya yang menyerang dari dalam sistem. Sulit ditebak dan bergerak dengan harus tanpa ada hambatan dan

tantangan. Sistem dan tatanan memang diperuntukan untuk menjamu kebutuhan-kebutuhan mayoritas. Tetapi dalam waktu tertentu bisa berubah menjadi serigala yang memangsa siapa saja tanpa pandang kerabat. Tocqueville (dalam David Thomson) menggunakan istilah 'tirani mayoritas'. Atas nama mayoritas manusia bisa bertindak apapun. 

Tindakan itu didasari kepada kepuasan dan kesenangan prakmatis dari mayoritas. Sebenarnya kesenangan itu bersifat semu hanya untuk menunjukan dominasi. Padahal subtansi tidak nampak dalam alur tindakan mayoritas tersebut. 

Tirani mayoritas sebenarnya adalah mentode  untuk memanfaatkan tubuh dengan menguasai pikiran. Sehingga terkadang tindakan -- tindakan "miring" bisa dinilai rasional dan masuk akal dalam kaca mata tirani mayoritas. Tetapi disisi lain tindakan itu justru mencederai apa yang kita sebut dengan kesejahteraan bersama. 

Pada titik ini terdapat kontradiksi antara kolektifitas dan mayoritas. Apa yang dinilai sebagai kebersamaan dan bersama-sama mungkin dua hal yang berbeda. Istilah itu bisa dimanfaatkan untuk memuaskan ego kekuasaan dan hegemoni tertentu. 

Tirani mayoritas bisa jadi mimpi buruk yang terjebak dalam tidur lelap kumpulan masyarakat. Fakta ini menunjukan kalau ada ketidakpercayaan kepada mayoritas, meskipun hal itu sangat menguntungkan dalam menjaga ketentraman. 

Jika tatanan bisa diciptakan, maka ada kemungkinan tatanan itu bisa kehilangan legitimasi dari orang-orang yang melakukan konsensus awal. Semua bisa terjadi seperti kita tidak tahu kapan doa bisa terwujud. Mungkin hari ini, mungkin besok, atau bulan depan, atau tahun berikutnya. Semua tatanan memilki misteri sebagai kekhasan untuk menjaga manusia terus beradap dengan zamannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun