Mohon tunggu...
Dens Saputra
Dens Saputra Mohon Tunggu... Penulis - De

menulis adalah seni berbicara

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Apa Kabar Sekolah?

9 Mei 2022   07:38 Diperbarui: 9 Mei 2022   07:51 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Apa Kabar Sekolah?

Siapa sangkal tekanan dunia internasional yang kuat membuat Hendrik Verwoerd, salah seorang nasionalis pencetus politik aparthaid perlahan menghentikan kegiatan rasismenya. 

Gerakan perlawanan digencarkan oleh African National Congress (ANC) salah satu organisasi kulit hitam yang melawan perbudakan dan segala macam kegiatan rasisme di Afrika. Organisasi itu dipimpin oleh seorang Rolihlahla dalam bahasa Afrika "Pembuat Masalah". Dia adalah Nelson Mandela seorang peraih Nobel Perdamaian tahun 1993. 

"Education is the most powerful weapon we can use to change the world" begitu kata Mandela tentang betapa pentingnya pendidikan. Dan kita tahu setelah 72 tahun akhirnya penghapusan terhadap aparthaid berhasil dilakukan Nelson Mandela.

Secara prinsip pendidikan melalui sekolah formal diciptakan untuk mebebaskan manusia. Atau pendidikan hari ini diselenggarakan untuk membuat individu-individu berguna di masa mendatang. Entah mereka memiliki pekerjaan baik atau menjadi orang yang "berguna bagi bangsa dan negara". 

Kata-kata ini biasa diucapkan Ibu ketika menasehati anaknya tentang betapa pentingnya pendidikan. Paolo Feraire mempercayai pendidikan adalah proses dialogis dan bukan tindakan dehumanisasi. 

Baginya, sistem pendidikan jangan dikelola layaknya Bank dimana peserta didik adalah objek investasi dan sumber deposito potensial. Artinya bahwa pendidikan itu dikelola untuk membuat manusia menjadi kritis bukan sekedar formalitas belaka. 

Tetapi argumen ini biasanya tumpul jika dihadapkan dengan orang tua dengan perspektif bahwa pendidikan adalah investasi bagi masa depan anak meskipun itu mahal.

Institusi pendidikan agar manusia bisa terbebas dari belenggunya kemudian disebut sekolah. Sistem sekolah secara umum dibuat berjenjang dengan mempertimbangkan isi dan substansi. Secara prinsip sekolah berbentuk seperti hirarki layaknya sistem kasta pada zaman kerajaan.

Asupan pengetahuan diberikan secara spesifik sesuai dengan jenjang yang ada di sekolah. Tidak hanya itu, sisi finansial dari sekolah pada akhirnya mengikuti hirarki ini. Semakin tinggi strata pendidikannya, maka akan berimplikasi pada sisi finansial. Begitu cara kerja pendidikan modern yang sulit untuk dipraktekan secara gratis. 

Kalau kita telisik lebih dalam lagi, pendidikan negara dunia ketiga diberlakukan dengan tendensi liberalism sehingga mahal dan terkesan formalitas menjadi hal biasa.

Quates  Dan Tekanan Media Sosial 

Film dokumenter The Social Dilemma karya Jeff Orlowski secara serius memberikan perspektif baru tentang bahayanya media sosial. Saat ini sebenarnya bukan kita lagi yang mengontrol media sosial, tetapi sebaliknya. 

Penelitian yang di terbitkan oleh Universitas Pennsylvania diterbitkan dalam journal of social and clinical psychology mendapatkan bahwa mahasiswa secara khusus tertarik pada kecemasan, depresi, dan perasaan takut ketinggalan atau Fear of Missing Out  (Suara.com). Penelitian tersebut mengidentifikasikan bahwa keseringan melihat tayangan -- tanyangan di media sosial akan membuat perasaan inferior. 

Secara tidak sengaja tanyangan tersebut memprogram kita untuk bertindak dalam berbagai bentuk, bisa saja itu positif atau negatif. Artinya filterisasi diri perlu sebagai anti virus untuk menangkal perasaan depresi atau inferior. Hal ini dapat dilakukan oleh sekolah sebagai media untuk menangkal hal buruk, tetapi saat ini sekolah bisa saja menjadi media yang menambah tingkat depresi.

Peserta didik hari ini mau tidak mau harus bisa beradaptasi dengan tuntutan pemerintah dan sekolah. Para orang tua ahirnya harus bekerja ekstra keras untuk memenuhi fasilitas anaknya agar bisa mengakses pendidikan.

 Mulai dari membeli hand phone sampai pada memenuhi kuota internet agar tidak terlambat absen atau mengirim tugas. Beban sosial dan ekonomi ini terjadi karena banyak faktor dan kita tidak bisa memungkiri itu. Dan cara menghibur diri adalah dengan terus -- menerus mengkonsumsi quates. 

Hal ini sangat berbahaya jika pendidikan kita berimbas pada kebiasaan generasi yang hanya berceramah tanpa berbuat sesuatu. Suplai -- suplai itu di dapatkan dari internet sebagai dampak dari kebijakan daring. Jangan aneh jika ditemukan anak di usia sekolah dasar memiliki status di media sosial yang isinya kata-kata motivasi dan menggurui.

Secara psykologis, quates sangat diperlukan di tengah kondisi yang terkadang tidak menguntungkan. Quotes sendiri adalah ungkapan kecil untuk memotivasi seseorang, baik dalm bentuk gagasan, ide, atau pendapat. Saat ini banyak kalangan selebritis, toko-tokoh politik, dan bahkan anak sekolahan pun menikmati dan mempraktekan quotes. 

Kita akhirnya menjadi penikmat dari qoutes itu dan akhirnya terjebak dalam lingkaran yang sama dan hanya bisa memotivasi orang lain tanpa bertindak atau melakukan sesuatu. Setiap quotes ini selalu berisi logika agar membuat penikmatnya merasa tertarik. 

Tetapi quates hanya ungkapan yang disampaikan bukan sebuah tindakan, artinya kita yang mengelola itu menjadi tindakan dan bukan sekedar mengatakan.

Dampak yang terjadi jika sistem pengelolahan internal diri tidak bagus adalah kita hanyalah produk yang diperdagangkan oleh media sosial.  Rasa penasaran, membuang waktu, tidak melakukan sesuatu, atau sikap autis terhadap lingkungan adalah produk yang dijual oleh media sosial untuk mendapat profit. 

Parahnya lagi kalau pendidikan kita diperlakukan seperti sistem produksi. Artinya bahwa sekolah hanyalah bagian dari produksi besar kapitalisme modern yang tujuannya adalah profit. Dan quates adalah bagian dari itu, meskipun itu disampaikan oleh tokoh-tokoh terkenal. 

Ini bisa terjadi dikarenakan asupan-asupan yang diterima oleh anak didik surplus quates tetapi minim tindakan.

Sekolah Pandemi

Sistem daring yang dipraktekan selama pandemi, mengindikasikan sekolah hanyalah formalitas dengan mengumpul tugas dan mengisi absen.  Peristiwa ini adalah bentuk kemunduran pendidikan modern dimana sekolah bukan lagi satu-satunya corong pengetahuan, tetapi hanyalah wadah agar nilai bagus dan orang tua bangga. 

Praktek ini berjalan hampir setahun dan sekolah sulit untuk mengontrol apakah akses pengetahuan benar-benar dinikmati oleh peserta didik atau tidak.

Fenomena daring membuat sekolah dan aktivitasnya sedikit berubah, mulai dari kebijakan sampai pada praktek mengajar.  Kegiatan-kegiatan itu diadaptasikan dengan kondisi pandemi sebagai sebuah kesatuan dari konsep "new normal".

Sekolah tidak lagi seromantis dulu saat pandemi belum ada. Tatap muka perlahan akan menjadi dongeng yang hanya diceritakan kepada anak cucu. Dinamika sekolah dan sistem pendidikan berubah perlahan -- lahan seiring waktu.  Poin penting dari perubahan itu adalah kecepatan dalam mengakses sesuatu dalam bentuk apa pun. Keterlambatan bukan lagi sesuatu yang di dewakan dan hanya akan menjadi masalah di kemudian hari.

Tidak heran pendidikan kita hari ini beserta fenomena sosial yang terjadi membuat pertumbuhan pikiran semakin cepat dan kompleks. Dengan bertumbuhnya pikiran itu, maka argumentasi yang dibangun pun lebih kental dan logis dan sekolah tidak bisa menangkal hal itu terjadi. 

Bisa saja ditemukan peserta didik memiliki refrensi yang lebih "up to date" dibandingkan guru atau pengajarnya. Tetapi bisa juga terjadi ada anti kritik yang dilakukan sekolah terhadap ilmu-ilmu baru sebagai akibat dari sekolah tidak ingin ada perubahan yang terlalu cepat.

Tidak bisa dipungkiri lagi, ilmu pengetahuan tidak hanya ada di sekolah -- sekolah. Akses pengetahuan itu bisa di dapatkan melalui internet, sehingga jangan aneh kalau generasi saat ini lebih aktual dan argumentatif dalam menilai sesuatu. 

Ini merupakan efek dari mekanisme daring dalam dunia pendidikan dan bisa saja ketika tatap muka dilangsungkan akan ada benturan antara pendidik dan peserta didik. Sikap peserta didik yang lebih eksploratif dan instan akan menjadi pertimbangan sendiri bagi sekolah-sekolah konservatif. 

Tetapi pada prinsipnya sekolah harus bisa berubah, terlebih dalam ilmu pengetahuan.  Disisi lain sekolah masih bisa mempertahankan etika dan norma -- norma yang hari ini sangat diperlukan untuk membina generasi selanjutnya. 

Sekolah tatap muka masih sangat diperlukan untuk mentransfer etika dan norma sosial dan hal ini yang hampir luput selama setahun akibat pandemi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun