Mohon tunggu...
Denny Yapari
Denny Yapari Mohon Tunggu... -

Lulusan Sarjana Teknik Elektro (S.T.) dari Institut Teknologi Nasional Bandung, Sarjana Hukum (S.H.) Universitas Yos Soedarso Surabaya, dan Magister Ilmu Hukum (M.H.) Universitas Narotama Surabaya. Ahli Pengadaan Nasional dan Advokat/Konsultan Hukum yang berdomisili di Kota Sorong

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Surat Terbuka untuk Damian Agat Yuvens, Anbar Jayadi dan Luthfi Sahputra Para Pemohon Uji Materiil Pasal 2 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

7 September 2014   03:36 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:25 1279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SURAT TERBUKA UNTUK DAMIAN AGAT YUVENS, ANBAR JAYADI DAN LUTHFI SAHPUTRA PARA PEMOHON UJI MATERIIL PASAL 2 AYAT (1) UU No. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Denny Yapari

Email : denny.yapari@gmail.com

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM.

Sengaja saya menulis opini ini dengan judul surat terbuka, terus terang miris hati dan pikiran saya melihat otak generasi muda sekarang yang diberi pendidikan tinggi ternyata makin hari makin tidak mengenal sejarah dan kultur budaya bangsanya sendiri. Saya mengetahui adanya uji materiil terhadap pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dari akun facebook ustadz Muhammad Abduh Tuasikal dan Kompas.com. Sebagai seorang muslim dan advokat yang tahu hukum positif Indonesia saya merasa para Sarjana Hukum dan Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia sudah kelewatan nekatnya dengan landasan penalaran hukum yang rapuh berani menguji pasal tersebut. Saya yakin bukan pujian yang akan mereka tuai melainkan sebaliknya bahkan Insya Allah lebih parah, melihat sempitnya pemahaman dan penalaran hukum mereka.

Sebelum mengupas lebih lanjut saya ingin mengingatkan kita bahwa pada jaman penjajahan, Pemerintah Kolonial Belanda membentuk Kantor Urusan Pribumi (Kantoor voor Inlandsche Zaken) pada tahun 1889 dengan direktur pertamanya adalah Dr. Christian Snouck Hurgronje (1867-1936). Lembaga ini diharapkan mampu meningkatkan saling pengertian antara penjajah dengan masyarakat negeri jajahan akibat adanya ketegangan antara umat Islam dengan pemerintahan kolonial. Tugas dari lembaga ini adalah memberikan advis kepada pemerintah Belanda dalam merumuskan kebijakan terhadap umat Islam. Berdasarkan penelitiannya Snouck menemukan metode yang menjadi dasar kebijakan pemerintah yaitu toleransi dalam kehidupan agama dan kehati-hatian dalam menghadapi perluasan kontrol politik Islam (http://majelispenulis.blogspot.com/2013/05/periode-sejarah-hukum-islam-di-indonesia.html diakses tanggal 05 September 2014). Perhatikan metode pemerintah kolonial tersebut, mereka tidak berusaha sedikitpun untuk merubah hukum Islam di Indonesia, namun mereka hanya memainkan kontrol politik terhadap badan peradilan Islam, tetapi hukum dan cara menerapkan hukumnya tetap dikembalikan kepada Hakim Islam (dulu penghulu/hakim tunggal). Ini kelakuan Belanda kepada Umat Islam Indonesia pada saat penjajahan, yang melakukan studi ilmiah terhadap Hukum Islam pun bukan sarjana strata 1 yang baru lulus, namun seorang Doktor yang ditugasi secara khusus dalam lembaga resmi yang diberi anggaran khusus, tetapi mereka masih tetap pada kesimpulan pemerintah jangan sampai mengubah hukum Islam. Sekarang ada mahasiswi dan alumni fakultas hukum perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia mencoba mengutak-atik hukum Islam khususnya dibidang perkawinan dengan jalan mengubah hukum positif.

Saya berhasil mendownload risalah sidang perkara nomor 68/PUU-XII/2014 Perihal Pengujian UUNo. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dari website Mahkamah Konstitusi agar jelas duduk persoalan dalil yang diajukan para pemohon. Sebelumnya saya juga nyatakan saya bukan ustadz, hanya seorang muslim biasa yang banyak khilaf dan dosa, sehingga saya hanya akan melakukan bantahan terhadap pemikiran para pemohon berdasarkan ilmu yang saya ketahui.

Dalam permohonannya para pemohon menyatakan pada dasarnya ada empat dalil yang menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan lima dalil yang menegaskan bahwa Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan seharusnya dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Saya akan menguraikan kesembilan dalil pemohon sekaligus memberi tanggapan atas dalil tersebut. Kesembilan dalil yang diajukan pemohon adalah sebagai berikut :

1.Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan memaksa setiap warga negara untuk melangsungkan perkawinan sesuai dengan agamanya dan kepercayaannya masing-masing yang mana hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak beragama yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (1), 28E ayat (2), 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD Tahun 1945. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan mengharuskan tiap perkawinan dilangsungkan berdasarkan hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Artinya pasal ini memaksa tiap warga negara untuk mematuhi hukum dari masing-masing agama dan kepercayaan dalam bidang perkawinan. Padahal hak beragama adalah bagian dari hak yang paling privat serta tidak dapat dipaksakan pelakasanaannya, bahkan termasuk sebagai bagian dari non derogable rights. Pemaksaan ini menyebabkan tiap warga negara tidak dapat memilih untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan ajaran agamanya dan kepercayaannya dalam hal hukum perkawinan karena tidak melaksanakan hukum-hukum agama dan kepercayaan, berarti perkawinan dilangsungkan menjadi tidak sah.

TANGGAPAN :

Perhatikan dalil pemohon yang menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan memaksa setiap warga negara untuk melangsungkan perkawinan sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing sehingga diartikan sebagai pemaksaan terhadap tiap warga negara untuk mematuhi hukum dari masing-masing agama dan kepercayaan dalam bidang perkawinan. Padahal hak beragama adalah bagian dari hak yang paling privat serta tidak dapat dipaksakan pelakasanaannya, bahkan termasuk sebagai bagian dari non derogable rights. Logika ini tidak benar.

Dalam Penjelasan Pasal 1 UU Perkawinan dinyatakan bahwa Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah ke Tuhanan Yang Mahaesa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua. Disini bisa dilihat bahwa sebagai Negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan mengakui adanya agama, hukum perkawinan bukan semata-mata melihat hanya kepada legalisasi dua individu yang melakukan perkawinan berdasarkan unsur lahir/jasmani tetapi hukum pun melihat unsur batin/rohani mempunyai peranan yang penting dalam perkawinan bahkan lebih jauh hukum pun melihat pada keturunan sebagai hasil dan tujuan perkawinan, cara pandang ini dalam ilmu hukum ini dikenal sebagai das sein das sollen, dimana antara kenyataan dan yang seharusnya diseimbangkan sehingga hukum dapat berlaku terus di masa yang akan datang tanpa perlu sering diubah-ubah demi kepastian hukum.

Pada bagian penjelasan umum UU Perkawinan dinyatakan bahwa salah satu pertimbangan dibuatnya UU Perkawinan adalah banyaknya hukum perkawinan dari berbagai golongan masyarakat yang berlaku di Indonesia pada saat itu (ada 6 golongan).Disisi lain dalam hukum administrasi, pemerintah melihat bahwa setiap perkawinan perlu dicatat sebagai suatu peristiwa hukum, sebagaimana peristiwa penting lainnya dalam kehidupan seseorang seperti kelahiran, kematian yang juga dinyatakan dalam surat keterangan sebagai suatu akte resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan. Ini penting demi kejelasan hubungan hukum yang timbul antara individu yang melakukan perkawinan termasuk pada hubungan dengan keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut. Pada akhirnya fungsi administrasi tersebut memudahkan kepada setiap warga negara dalam hal terjadi sengketa terkait hukum kekeluargaan.

Dari sini kita bisa melihat bahwa sejak jaman dahulu, sebelum ada Negara Republik Indonesia, hukum perkawinan sudah ada dan dilakukan berdasarkan agama dan kepercayaannya masing-masing individu yang melakukan perkawinan. Pemerintah hanya melakukan fungsi administrasi mengakui (mengesahkan) suatu perkawinan dan mencatat perkawinan tersebut. Bagaimana persyaratan dan tata cara pelaksanaan perkawinan tidak diatur, karena dikembalikan kepada agama dan kepercayaan yang sudah jelas berbeda-beda, jika tata cara perkawinan diseragamkan (diatur) sehingga tidak lagi berdasarkan pada agama dan kepercayaan, maka akan menjadi rusak tatanan hukum perkawinan yang berlaku di masyarakat, itulah sebabnya pemerintah tidak boleh masuk mengatur hukum agama.

Hukum-hukum yang berlaku di dalam negara adalah buatan manusia dan disepakati oleh manusia, sehingga diubah-ubah pun tidak masalah, tidak demikian hukum agama yang bersumber dari Tuhan, dan secara tegas manusia tidak boleh mengubah hukum Tuhan. Oleh karena itu pemerintah membatasi hanya mengesahkan dan mencatat perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 2 UU Perkawinan. Dalam penjelasan Pasal 2 UU Perkawinan disebutkan tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan UUDNRI Tahun 1945, ini mengandung makna pemerintah tidak bisa mengesahkan perkawinan termasuk melakukan pencatatan perkawinan yang tidak dilaksanakan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan yang berlaku di Indonesia.

Dari penalaran tersebut, apakah pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dapat dikatakan memaksa tiap warga negara untuk mematuhi hukum dari masing-masing agama dan kepercayaan dalam bidang perkawinan? Jelas tidak, karena perkawinan yang tidak berdasarkan hukum agama tidak bisa disahkan dan dicatat oleh pemerintah karena perkawinan tersebut tidak bisa dilakukan dalam tatanan hukum perkawinan masyarakat. Apakah ada hukum perkawinan di dalam agama di Indonesia yang mengatur perkawinan dua individu yang berbeda agama? Sampai sekarang juga tidak. Kalaupun tetap dipaksakan akan dilakukan perkawinan dengan beda agama maka sebenarnya bisa dilakukan tetapi tata cara perkawinannya mengikuti hukum agama pihak lelaki sebagaimana diatur dalam pasal 66 UU Perkawinan jo. Pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158) atau dengan perintah Pengadilan (Surat Ketua Mahkamah Agung No. MA/Pemb/o8o7/1975. Jakarta, 20 Agustus 1975, lihat pula http://www.ajihoesodo.com/index.php?option=com_content& view=article&id=81:seputar-pernikahan-beda-agama&catid=2:hukum&Itemid=6). Hal ini mengandung arti bahwa hukum pada jaman kolonial memandang agama hanya merupakan keyakinan pada individu yang akan melaksanakan perkawinan (sekuler), walaupun wanita dan lelaki beda agama tetapi formalitas hukum memandang si wanita tunduk pada hukum agama lelaki.

Dalil pemohon juga menyatakan pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan merupakan pelanggaran terhadap hak beragama yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (1), 28E ayat (2), 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945. Maka kita lihat dulu apa itu hak beragama dalam pasal-pasal tersebut.

Pasal 28E

(1)Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

(2)Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Pasal 28I

(1)Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Pasal 29

(2)Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Dari ketiga pasal tersebut kita tidak perlu menafsirkan berbelit-belit tentang hak beragama karena sudah jelas maknanya. Makna hak beragama dalam pasal tersebut adalah Negara menjamin dan melindungi setiap warga negara untuk memilih sendiri agamanya tanpa ada paksaan dari siapapun dan menjamin warga negara untuk melaksanakan agama dan kepercayaannya sesuai hati nuraninya. Ini juga mengandung makna bahwa negara tidak boleh campur tangan dalam hak beragama seseorang termasuk hukum perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan. Kesimpulannya UU Perkawinan selaras dengan makna hak beragama dalam UUDNRI Tahun 1945, bukan sebagaimana yang disimpulkan dalam dalil pemohon bahwa hal itu bertentangan. Apakah hak beragama dalam UUDNRI Tahun 1945 punya penafsiran lain, bagi saya tidak, ayat dan pasal tersebut jelas adanya tidak perlu penafsiran lagi.

Lalu bagaimana dengan warga negara yang beragama namun memilih untuk melaksanakan perkawinan tidak berdasarkan hukum agamanya, sebagaimana dalil pemohon yang menyatakan “Pemaksaan ini menyebabkan tiap warga negara tidak dapat memilih untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan ajaran agamanya dan kepercayaannya dalam hal hukum perkawinan karena tidak melaksanakan hukum-hukum agama dan kepercayaan, berarti perkawinan dilangsungkan menjadi tidak sah”. Jawabannya mudah, tanya aja yang bersangkutan mau melaksanakan perkawinan pakai hukum apa? Misalkan kalau dia mengaku beragama Islam lalu tidak ingin melakukan perkawinan berdasarkan hukum Islam lantas mau pakai hukum apa perkawinannya? Logika aneh begini dipake, orang normal ga akan mungkin memilih jalan pemikiran seperti ini.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah warga negara boleh memilih untuk tidak beragama? Yang jelas Negara tidak menjamin warga negara seperti ini, karena orang yang tidak beragama maka sudah pasti tidak sesuai dengan sila I pancasila dan bertentangan dengan pasal 29 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 yang menyatakan Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Logikanya orang yang tidak punya agama tidak bisa diangkat sebagai warga Negara Republik Indonesia, kalaupun sudah beragama lalu memilih tidak beragama ya silahkan pindah kewarganegaraan di negara yang punya pemikiran sama, jangan merusak tatanan masyarakat majemuk yang sudah berjalan.

2.Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan membatasi hak untuk melangsungkan perkawinan yang dijamin berdasarkan Pasal 28B ayat (1) UUD Tahun 1945. Dengan menyerahkan keabsahan perkawinan kepada hukum masing-masing agama dan kepercayaan,artinya akan muncul perkawinan-perkawinan yang tidak sah karena agama dan kepercayaan. Dengan kata lain,seorangindividukhususnya warga negara Indonesia menjadi tidak dapat melangsungkan perkawinan karena adanya pembatasan berdasarkan agama dan kepercayaan. Artinya, pengaturan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyebabkan terjadinya pembatasan terhadap hak warga negara Indonesia untuk melangsungkan perkawinan yang merupakan bagian dari hak asasi manusia dengan didasarkan pada materi pembatasan yang secara internasional telah dilarang yaitu agama dan kepercayaan.

TANGGAPAN :

Pasal 28B ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, dengan merujuk pada pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Maka benar dalil penggugat bahwa perkawinan yang sah dibatasi pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Hanya saja logikanya sengaja dibenturkan bahwa karena pasal 28B ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 termasuk dalam bab Hak Asasi Manusia maka Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan membatasi Hak Asasi Manusia. Padahal kalau pemohon mau jujur, maka dia harusnya mengamandemen pasal 28B ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 dengan mendalilkan bahwa untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan tidak boleh dibatasi dengan perkawinan yang sah. Namanya pengesahan pasti ada dasarnya, pasti ada batasan-batasannya, kenapa begitu? Karena pengesahan ada dalam ruang lingkup hukum dan hukum sifatnya membatasi bukan membebaskan semua orang berbuat sekehendaknya. Bahkan Pasal 28J ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 menyatakan bahwa Hak dibatasi oleh nilai-nilai agama.

Kalau Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan disebut sebagai pembatasan terhadap perkawinan yang sah, maka seandainya pasal tersebut dinyatakan tidak berlaku tetapi pasal 28B UUDNRI Tahun 1945 tidak diamandemen, pertanyaan selanjutnya muncul apa ukuran dan kriteria perkawinan yang sah menurut Pasal 28B ayat (1) UUDNRI Tahun 1945? Kalau dibuat suatu UU yang mengatur tentang perkawinan yang sah, maka UU tersebut di uji materiil lagi dengan dalil yang digunakan pemohon bahwa bertentangan dengan HAM dalam pasal 28B UUDNRI Tahun 1945, sehingga tidak ada lagi kepastian hukum yang menurut saya menjadi tidak masuk akal.

3.Rumusan norma dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan membuka ruang penafsiran yang amat luas serta menimbulkan pertentangan antarnorma,sehinggatidakmemenuhihakatas kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Syarat dari kepastian hukum adalah norma yang tidak multitafsir dan tidak saling bertentangan. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menggantungkan keabsahan perkawinan pada penafsiran setiap orang mengenai hukum agama dan kepercayaan yang mana dapat berbeda-beda bagi setiap orang. Dengan kata lain,tidakadakepastianpenafsiranmengenai keabsahan dari suatu perkawinan. Di sisi lain,dalamkonteks perkawinan beda agama,Pasal2ayat(1) Undang-Undang Perkawinan dapat dikatakan bertentangan dengan ketentuan perkawinan beda agama sebagaimana diatur dalam Pasal 75 ayat (1) HOCI dan Pasal 7 ayat (2) GHR yang berlaku berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan. Sekali lagi karena pasal ini menyerahkan keabsahan perkawinan pada penafsiran tiap orang mengenai hukum agama dan kepercayaan yang dapat berbeda-beda.

TANGGAPAN :

Pasal 75 ayat (1) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen IndonesiersS.1933 No. 74) menyatakan bahwa Perkawinan seorang laki-laki bukan Kristen dengan seorang wanita Kristen atas permohonan kedua suami-istri dapat dilaksanakan dengan memperlakukan ketentuan-ketentuan ordonansi ini dan ketentuan-ketentuan peraturan penyelenggaraan Reglemen catatan sipil untuk orang-orang Indonesia-Kristen dan Pasal 7 ayat (2) Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158) menyatakan bahwa Perbedaan agama, bangsa atau asal itu sama sekali bukanlah menjadi halangan untuk perkawinan itu. Perhatikan kedua pasal yang dikatakan bertentangan dengan pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, secara sepintas tampak kelihatan pertentangannya, tetapi peohon melupakan atau mungkin sengaja menghilangkan pasal 66 UU Perkawinan sebagai bagian dari UU Perkawinan agar dalilnya terkesan benar. Pasal 66 UU Perkawinan menyatakan bahwa Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen IndonesiersS.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undangini, dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian karena perkawinan beda agama atau yang disebut perkawinan campuran tidak diatur dalam UU Perkawinan maka rujukannya kembali ke hukum kolonial yang mengatur hal tersebut yaitu BW, HOCI dan HGR. Kalau sudah dipahami pasal 66 UU Perkawinan ini maka tidak ada lagi pertentangan antara pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dengan isi HOCI dan HGR. Hanya saja kenyataannya sulit melakukan perkawinan beda agama dengan berdasarkan HOCI dan HGR karena negara kita tidak sekuler. Kalaupun mau dipaksakan perkawinan beda agama ya silahkan ditempuh dengan jalan yang disediakan bukan dengan merusak tatanan hukum yang sudah ada.

4.Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyebabkan negara melalui aparaturnya memperlakukan warga negaranya secara bebeda, sehingga melanggar hak atas persamaan di hadapan hukum yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Penafsiran terhadap agama dan kepercayaan merupakan bagian dari hak setiap warga negara, maka perbedaan mengenai penafsiran terhadap hukum suatu agama atau kepercayaan antara warga negara yang hendak melangsungkan perkawinan dengan pegawai dari kantor catatan sipil atau kantor urusan agama akan sangat mungkin terjadi. Akibatnya adalah warga negara yang berurusan dengan kantor catatan sipil atau kantor urusan agama untuk urusan perkawinan yang sekali lagi keabsahanannya ditentukan oleh hukum masing-masing agama dan kepercayaan dapat diperlakukan secara berbeda antara satu sama lain, padahal hal yang diatur adalah sama. Hal ini selain menunjukkan adanya limitasi terhadap hak warga negara untuk menafsirkan hukum agamanya dan kepercayaannya, juga telah menggambarkan adanya kemungkinan terjadinya perlakuan yang berbeda-beda terhadap satu warga negara dengan warga negara lainnya yang disebabkan pada limitasi yang terjadi.

TANGGAPAN :

Perhatikan dalil penggugat yang melimpahkan kesalahan pada pegawai kantor catatan sipil dan kantor urusan agama yang tidak bisa melakukan pencatatan atas perkawinan beda agama. Cara menarik dasar hukumnya saja sudah salah, maka pemohon sudah pasti menimpakan kesalahan pun menjadi tidak benar. Salah satu dasar hukum dibentuknya Kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama adalah berdasarkan UU Perkawinan dan masih banyak daar hukum lainnya karena tugasnya pun banyak, kalau kantor tersebut menolak pencatatan perkawinan beda agama adalah wajar karena perkawinan beda agama tidak diatur dalam UU Perkawinan, sebagaimana sudah dijelaskan diatas pada dalil nomor 1 dan nomor 3.

5.Pembatasan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidak sejalan dengan pembatasan hak dan kebebasan yang ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Syarat pembatasan yang ditetapkan dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak terpenuhi karena pembatasan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidak menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan, serta tidak didasarkan pada pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.

TANGGAPAN :

Sekali lagi pemohon menggunakan dalil berdasarkan penalaran hukum yang tidak benar, pemohon sudah paham bahwa salah satu pembatas hak asasi manusia yang diatur dalam pasal 28J ayat (2) UUDNRI tahun 1945 adalah nilai-nilai agama. Jadi kalau hukum perkawinan yang bersumber pada agama sudah membatasi tidak adanya perkawinan beda agama maka seharusnya yang pemohon tentang adalah hukum agama yang diakui di Indonesia. UU Perkawinan itu tidak mengatur tata cara perkawinan hanya mengatur syarat-syarat perkawinan dan lain-lain yang terkait dengan peristiwa perkawinan. Silahkan saja ditanyakan pada semua agama yang diakui di Indonesia apakah ada agama yang memperbolehkan perkawinan beda agama (dalam arti letterlijk) bukan dalam bentuk tunduk pada hukum agama salah satu pihak, jawabannya sudah pasti tidak ada. Tidak mungkin penghulu, hakim pengadilan agama, pendeta dan tokoh agama yang berwenang mengesahkan perkawinan secara agama akan melaksanakan ritual/prosesi perkawinan jika dihadapannya kedua mempelai mengaku berbeda agama. Hukum kolonial yang sekuler saja hanya memberikan dua alternatif yaitu disahkan perkawinan melalui pengadilan (silahkan melaksanakan perkawinan berdasarkan hukum acara di pengadilan) atau salah satu pihak tunduk pada hukum agama pihak lainnya.

6.Keberlakuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyebabkan banyak penyelundupan hukum di bidang hukum perkawinan. Masyarakat Indonesia khususnya yang hendak melangsungkanperkawinantanpamengikutihukum,agama,dan kepercayaan telah beradaptasi secara negatif untuk dapat menghindari keberlakuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu dengan cara melakukan penyelundupan hukumyaitudengan mengenyampingkan hukum nasional maupunmengenyampingkan hukum agama. Pengenyampingan hukum nasional dilakukan dengan cara melangsungkan perkawinan di luar negeri dan dengan melangsungkan perkawinan secara adat, sedangkan pengenyampingan hukum agama dilakukan dengan cara menundukkan diri pada hukum perkawinan dari agama dan kepercayaan salah satu pihak, dan dengan berpindah agama dan kepercayaan untuk sesaat sebelum melangsungkan perkawinan.

TANGGAPAN :

Kalimat penyelundupan hukum hanya muncul dalam hukum internasional itu berarti ketika pemohon berbicara banyak penyelundupan hukum dengan cara melangsungkan perkawinan diluar negeri maka yang salah bukan pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, yang terjadi adalah Negara Republik Indonesia tidak bisa mengesahkan perkawinan beda warga negara, ini karena negara kita mengadopsi dan hanya mengakui 1 warga negara yaitu Warga Negara Indonesia. Bilamana wanita Indonesia mau menikah dengan lelaki warga negara asing dan ngga mau mengurus melalui prosedur yang diatur hukum Indonesia maka jalan keluarnya adalah menikah di luar negeri yang bisa mengakui hal tersebut, tetapi penyebabnya bukan hanya karena beda agama semata tetapi karena beda kewarganegaraan juga. Mengenai pengenyampingan hukum agama yang dilakukan dengan cara menundukkan diri pada hukum perkawinan dari salah satu pihak sudah dibahas diatas.

7.Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidak memenuhi standar sebuah norma.Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan bukannya menyelesaikan masalah mengenai perkawinan beda agama dan kepercayaan, namun justru menimbulkan permasalahan baru. Pasal ini bukannya melarang atau memperbolehkan perkawinan beda agama dan kepercayaan, namun justru menyerahkan kebolehannya kepada hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Sederhananya,ketikamasyarakatbertanyakepada pemerintah apakah perkawinan beda agama dan kepercayaan diperbolehkan, alih-alih menjawab, melalui pasal ini pemerintah justru bertanya balik kepada masyarakat, apakah perkawinan beda agama dan kepercayaan boleh untuk dilakukan?

TANGGAPAN :

Logika pemerintah betul, tidak ada satupun hukum agama dan kepercayaan yang akan melaksanakan perkawinan dengan status kedua mempelai yang beda agama, tolong didalilkan hukum agama apa yang seperti itu? Kalau hukum agama tidak memperbolehkan kenapa pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang dipertanyakan? Seharusnya dipertanyakan pemahaman agama orang yang mau melaksanakan perkawinan tersebut.

8.Keberadaan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyebabkan terlanggarnya hukum agama dan kepercayaan yang paling dasar. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan didesain agar tiap warga negara melaksanakan hukum dari masing-masing agamanya dan kepercayaannya ketika melangsungkan perkawinan. Namun dampak dari keberlakuan pasal ini, justru menyebabkan warga negara yang hendak melangsungkan perkawinan menjadi terpaksa berpindah agama dan kepercayaan. Dengan kata lain, untuk menghindari pelanggaran terhadap hukum agama dan kepercayaan dalam bidang perkawinan, justru terjadi pelanggaran terberat dari masing-masing hukum agama dan kepercayaan.

TANGGAPAN :

Warga negara yang hendak melangsungkan perkawinan menjadi terpaksa berpindah agama dan kepercayaan atau kalimat sederhananya menjadi murtad adalah warga negara yang memaksakan dirinya meninggalkan nilai-nilai agama demi alasan cinta atau alasan hawa nafsu lainnya dan ingin mendapatkan pengesahan atas hal tersebut. Ini logika yang tidak benar dan sangat saya tidak setujui, kalau tidak mau murtad ya menikahlah dengan hukum agama yang benar. Bukan dibalik, karena ingin menikah walaupun melanggar hukum agama tetapi tidak boleh dibilang murtad. Orang murtad kan karena hukum agama bukan karena hukum negara, nikah beda agama disahkan Negara pun tetap aja melanggar nilai agama (diharamkan), tidak akan mungkin berubah menjadi halal.

9.Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menimbulkan permasalahan dalam hubungan suami-istri dan orang tua-anak. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menetapkan, “Dalam hal perkawinan tidak didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan, maka perkawinan menjadi tidak sah.” Jika perkawinan tidak sah, maka seluruh akibat hukum termasuk hak dan kewajiban hukum yang timbul dari perkawinan menjadi tidak ada pula. Dengan kata lain, kewajiban suami terhadap istrinya tidak ada, kewajiban istri kepada suaminya tidak ada pula, dan tentu saja kewajiban orang tua kepada anak menjadi tidak ada.

TANGGAPAN :

Dalil pemohon ini melihat ke masa depan, pada hasil atau tujuan dari perkawinan yaitu anak (keturunan). Pemohon menyatakan bahwa akibat hukum dari perkawinan beda agama yang tidak sah adalah hak dan kewajiban hukum yang timbul dalam perkawinan tersebut menjadi tidak ada, disini dalil ini sudah benar. Tapi karena niatnya lain dalil ini menjadi bermakna lain berdasarkan pemahaman pemohon. Kalau ditafsirkan dengan niat yang baik maka dalil tersebut justru menujukkan bagaimana banyaknya permasalahan yang akan timbul pada anak dengan orang tua yang menikah beda agama, sejak masuk sekolah disuruh belajar agama apa? Bapak-Ibunya beda agama sedangkan pilihan agama hanya satu, ataukah disuruh memeluk dua agama sekaligus, lalu bagaimana pula perhitungan hukum waris bilamana salah satu orang tuanya meninggal, bagaimana hukum hibah dan lain-lain terkait akibat hukum perkawinan. Dalam Pasal 171 huruf ( c ) Kompilasi Hukum Islam, dan sesuai pula dengan Hadits Rasulullah riwayat Bukhari yang berbunyi :

لايرث المسلم الكا فر ولا الكا فر المسلم

Artinya: “Orang Islam tidak mewarisi orang kafir, demikian juga orang kafir tidak mewarisi orang Islam”. (Info dari akun facebook Sapuan https://www.facebook.com/denny.yapari/posts/10202808253794106).

Bisa dibayangkan bilamana dalam suatu keluarga si bapak beragama Islam, si ibu beragama lain lalu anaknya belum dewasa, lantas bagaimana pembagian warisannya bilamana si bapak meninggal dunia sedangkan baik istri dan anaknya tidak dapat dijadikan ahli waris karena agamanya beda. Sungguh suatu pemikiran yang sangat berbahaya apa yang didalilkan oleh pemohon.

Dari uraian yang panjang tersebut bahkan mungkin membosankan bagi sebagian pembaca namun bagi saya pemikiran ini perlu ditangkal. Pemuda dan pemudi bangsa ini mudah mendapatkan akses ke pendidikan tinggi seharusnya dengan keluhuran budi pekerti dan pemahaman agama yang baik maka output perguruan tinggi juga menghasilkan sarjana-sarjana yang mempunyai budi pekerti dan pemahaman yang baik, bukan malah ingin merusak tatanan masyarakat. Hukum Indonesia mungkin tidak bisa membahagiakan semua orang tetapi tidak berarti harus diubah-ubah demi kepentingan yang tidak benar. Orang yang tidak benar diarahkan kepada kebenaran bukan dirangkul kesalahannya dan dilegalisasi sehingga menghancurkan kebenaran yang ada.

Mudah-mudahan apa yang saya tanggapi juga telah diupayakan oleh Kementerian Agama sebagai pihak pemerintah yang mempunyai kepentingan atas pengujian pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, mereka harus cepat bertindak melawan ketidakbenaran ini demi melindungi umat beragama di Indonesia.

Lulusan Sarjana Teknik Elektro (S.T.) dari Institut Teknologi Nasional Bandung, Sarjana Hukum (S.H.) Universitas Yos Soedarso Surabaya, dan Magister Ilmu Hukum (M.H.) Universitas Narotama Surabaya. Ahli Pengadaan Nasional dan Advokat/Konsultan Hukum yang berdomisili di Kota Sorong.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun