Mohon tunggu...
Denny Permana Siregar
Denny Permana Siregar Mohon Tunggu... Lainnya - Masih belajar, mohon maaf atas kesalahannya 🙏

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Medan (UINSU) Sumatera Utara, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Jurusan Ekonomi Islam

Selanjutnya

Tutup

Money

Situasi Ekonomi Indonesia di Tengah Pandemi

7 Agustus 2020   15:44 Diperbarui: 7 Agustus 2020   15:39 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah merebaknya pandemi Covid-19 yang belum usai ini, Indonesia dihadapkan dengan berbagai permasalahan dari berbagai sektor. Belum selesai dengan permasalahan kesehatan, Indonesia dihadapkan pada masalah politik, sosial, ekonomi, bahkan dihadapkan pada permasalahan ideologi.

Dari sisi ekonomi, kita diingatkan kembali akan seberapa mengkhawatirkan nya ekonomi Indonesia usai diumumkan pertumbuhan ekonomi pada triwulan II yang hasilnya memprihatinkan, yaitu sebesar -5,32%. Hasil itu menghadapkan kita pada resiko resesi yang telah dialami banyak negara.

Situasi ekonomi yang saat ini dialami oleh Indonesia sebenarnya telah banyak disampaikan oleh para ahli ekonomi sebelumnya, salah satu nya Rizal Ramli. Menteri Kemaritiman tahun 2015 -- 2016 itu mengatakan bahwa ekonomi yang nyungsep ini sudah terjadi sejak satu setengah tahun yang lalu. Rizal Ramli yang akrab disapa RR itu telah menyampaikan di berbagai kesempatan mengenai situasi ekonomi ini dengan menjelaskan lewat berbagai indikatornya, seperti neraca perdagangan, transaksi berjalan atau current account dan primary balance.

Rizal Ramli kemudian menjelaskan dengan bahasa sederhana bahwa situasi ekonomi saat ini seperti seorang petinju yang telah goyang terkena jab, namun diberi doping. Selama ini ekonomi Indonesia nampak normal saja dengan sekian banyak utang, hal ini dikarenakan diberi doping. Diberi doping yang dimaksud itu bahwa pemerintah terus melakukan pinjaman dengan bunga yang lebih tinggi bahkan bila dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara. Lalu situasi yang sudah carut marut tersebut ditambah lagi dengan gagal bayarnya sejumlah perusahaan sekuritas.

Situasi utang Indonesia juga sebenarnya sudah masuk pada taraf berbahaya. Analis Pergerakan Kedaulatan Rakyat Gede Sandra menyatakan bahwa sebenarnya utang Indonesia sudah sampai pada taraf berbahaya. Hal ini membantah pernyataan banyak pihak yang mengatakan bahwa rasio utang Indonesia, yaitu perbandingan antara total seluruh utang dengan PDB, berada dalam batas aman. Data terakhir rasio utang terhadap PDB Indonesia (q1-2020) adalah di 34,5 persen. Masih sangat jauh dibandingkan dengan rasio utang negara-negara Amerika Serikat (106 persen) dan Jepang (230 persen).

Dalam pendapatnya, Gede Sandra menyatakan dua hal. Yang pertama, tentu kita tidak dapat membandingkan Indonesia dengan Amerika ataupun Jepang. Amerika Serikat dan Jepang adalah negara yang mayoritas surat utangnya dipegang oleh domestik, sebesar lebih dari 90 persen untuk Jepang dan 70 persen untuk AS. Sedangkan Indonesia sebaliknya, 60 persen surat utang (dalam USD maupun Rp) dimiliki oleh asing.


Yang kedua, adalah tentang rasio. Batas aman rasio utang terhadap PDB 60 persen tidak relevan diterapkan bagi Indonesia, karena batas 60 persen hanya untuk negara-negara maju di Eropa dan OECD. Menurut IMF pada tahun 2002, rasio yang wajar untuk negara-negara berkembang adalah sebesar 40 persen.

Selain rasio total utang terhadap PDB, Gede Sandra menjelaskan bahwa ada satu rasio lagi yang perlu diperhatikan, yaitu debt service ratio (DSR). DSR (tier 2) Indonesia per kuartal 1-2020 sudah di 48,6 persen. Ini jauh di atas batas aman DSR untuk negara berkembang (berpendapatan menengah ke bawah) yang seharusnya hanya maksimal (strong policy government) di kisaran 25 persen. Dengan DSR Indonesia (tier 2) yang sudah mencapai 48,6 persen, maka kita sebenarnya sudah jauh sekali di atas ambang batas aman tersebut.

Terhadap minus nya pertumbuhan ekonomi pada triwulan II, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kontraksi ekonomi di kuartal-II ini diakibatkan implementasi kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang menyebabkan aktivitas ekonomi terbatas. Namun kita perlu mengingat kembali akan ketidaktegasan pemerintah dalam membatasi penyebaran Covid-19 di bulan Januari lalu. Alih-alih langsung menutup penerbangan, pemerintah malah sibuk mengutamakan sektor pariwisata saat itu. Sehingga PSBB tidak sepenuhnya dapat disalahkan terhadap kontraksi pertumbuhan ekonomi kuartal-II.

Dengan situasi pandemi saat ini, selain sektor kesehatan terdapat sektor ekonomi yang harus menjadi hal diprioritaskan oleh pemerintah. Sesuai pendapat Irmanputra Sidin  yang menyatakan bahwa jikalau Covid-19 oleh WHO dinyatakan masih jauh dari kata berakhir maka bukan berarti tugas konstitusional Presiden yang jauh lebih besar berupa memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa (UUD45) harus terganggu.

Dalam memajukan kesejahteraan di tengah pandemi, pemerintah harus dapat memberikan bantuan kepada seluruh masyarakat, semua golongan dan diutamakan bagi mereka yang benar-benar memerlukan. Seperti isu saat ini bahwa pemerintah akan memberikan bansos kepada pekerja yang bergaji di bawah 5 juta, kemudia isu dari Mendikbud bahwa Dana Bos diizinkan untuk digunakan membeli kuota internet bagi siswa, atau pun kebijakan dan bantuan lainnya dari pemerintah yang telah dilaksanakan, semua nya harus diawasi oleh pemerintah agar distribusi bantuan nya tepat sasaran. Dengan bantuan yang tepat sasaran, hal ini berimbas pada meningkatnya daya beli masyarakat sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun