Kenapa seseorang menulis?. Jawabannya bisa sangat beragam. Dari yang paling sederhana semacam, "ya, pengen nulis aja...", atau yang agak pop seperti, "gue pengen eksis dengan menulis", atau juga yang agak ajaib seperti kata Stephen King: "menulis adalah menciptakan duniamu sendiri."
Bagi saya, menulis adalah semacam ungkapan syukur pada kehidupan, pada Sang Pemberi Hidup."Seseorang yang ingin menjadi penulis yang baik, tinggal melihat lewat jendela kehidupannya dengan baik-baik, lantas menuliskan apa pun yang dianggapnya menarik atau tidak menarik, dengan cara yang menarik maupun tidak menarik," begitu bilang Seno Gumira Ajidarma.
Menulis, saya kira mensyaratkan satu hal yang sangat penting: kesadaran. Kesadaran pada kehidupan. “Kehidupan itu”, kata Seno, “adalah jendela penulisan. Jendela itu akan terbuka, bila hidup kita sadari, sehingga daun yang melayang menjadi sangat besar artinya jika disadari. Orang yang matanya tertutup dan telinganya buntet, melihat daun tapi seperti tidak melihat daun, mendengar suara jeritan tapi seperti tidak mendengar suara jeritan, dan tak akan pernah menjadi penulis dari hati yang terdalam, otak terjernih, dan jiwa yang lapang.”
Di sini, menulis jadi suatu momentum, karena memang ada seribu satu faktor yang sebenarnya misterius dalam kelahiran sebuah tulisan. Dengan demikian, mereka yang ingin menulis, tinggal melihat apa yang dilihatnya, mendengar apa yang didengarkannya, lantas menuliskannya. Tidak terlalu keliru jika dikatakan betapa menulis itu gampang. Yang tidak terlalu gampang adalah mempunyai sikap seorang penulis – yang selalu melihat, selalu mendengar, selalu merasakan, selalu memikirkan – untuk kemudian dituliskan.
Pada akhirnya, seperti kata Seno, menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa – suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana.