Mohon tunggu...
Dennis Gavriel
Dennis Gavriel Mohon Tunggu... Pelajar

Seseorang yang sedang mencoba mengamati kejadian di sekitar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

MBG, Memberi Keuntungan atau Memberi Keresahan?

27 September 2025   13:25 Diperbarui: 27 September 2025   13:25 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu program unggulan milik pemerintahan presiden Prabowo. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menempatkan hal ini sebagai prioritas utama dalam mewujudkan visi Indonesia yang maju, mandiri, dan berkeadilan. Salah satu program andalan yang dirancang untuk mendukung agenda tersebut adalah Program Makan Bergizi Gratis. Program ini juga tidak hanya berfokus pada pemenuhan nutrisi kelompok rentan seperti anak-anak, tetapi juga memiliki keuntungan untuk meningkatkan pemberdayaan ekonomi Indonesia terutama ekonomi di masing-masing daerah.

Tantangan gizi buruk dan stunting menjadi latar belakang program ini. Menurut survey dari Status Gizi Indonesia (SSGI) pada tahun 2022, angka prevalensi stunting di Indonesia berada di angka 21,6% meskipun sudah mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah memiliki target untuk menurunkan angka stunting menjadi 14% pada 2024. Gizi buruk juga menjadi tantangan berdasar data dari Kementerian Kesehatan bahwa 3,8% anak balita di Indonesia mengalami gizi buruk. Setidaknya keprihatinan inilah yang membuat pemerintahan Prabowo menjadikan program MBG sebagai prioritas utama.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagaimana dikutip dari setneg.co.id, hadir sebagai solusi konkret untuk memastikan setiap individu, terutama anak-anak sekolah, memperoleh akses terhadap makanan yang sehat dan bergizi. Pemerintahan presiden prabowo Subianto melihat urgensi dari permasalahan stunting dan gizi buruk telah menyusun langkah-langkah strategis untuk memastikan keberhasilan program ini, antara lain dengan pemberian makanan bergizi gratis di sekolah-sekolah baik tingkat dasar maupun menengah. Masing-masing pihak sekolah bekerja sama dengan penyedia makanan lokal untuk menyiapkan makanan yang sehat yang menenuhi standar gizi dan memenuhi standar kementerian kesehatan.

Kasus Keracunan MBG

Sumber: kompas.com
Sumber: kompas.com

Sayangnya tujuan awal dari program Makan Bergizi Gratis yang seharusnya untuk meningkatkan gizi anak-anak generasi penerus Indonesia malah menimbulkan keresahan rakyat Indonesia sendiri. Kasus keracunan yang belakangan ini menghantui orangtua tentu membuat resah apalagi bagi mereka yang anaknya mendapat langsung manfaat dari program ini. Sebagaimana yang dikutip dari Tempo.co sebanyak 5.626 kasus keracunan akibat MBG sejauh ini ditemukan di puluhan kota dan kabupaten di 16 provinsi. Akhir Juni lalu, kasus keracunan MBG tercatat 1.376 anak. Hanya dalam tiga bulan, siswa sekolah hingga guru yang mengalami keracunan menggelembung empat kali lipat. Tidak perlu jauh-jauh pada bulan Juni, per tanggal 17 September saja lebih dari 300 anak keracunan MBG di Banggai Kepulauan, Sulawesi Tenggah. Sehari setelahnya, sebanyak 569 anak mengalami hal serupa di Garut, Jawa Barat.

Kepala Badan Gizi Nasional Dadan pada Senin, 22 September 2025 seperti yang dikutip dari Tempo.co mengatakan bahwa kasus keracunan yang saat ini masih wajar hanya 4.711 porsi dari 1 miliar porsi yang disajikan selama sembilan bulan program unggulan Presiden prabowo ini berjalan. Padahal kasus keracunan yang dikatakan mencapai 4.711 juga bukan angka yang kecil dan bukan masalah yang sepele. Bukan karena porsi yang dihidangkan di seluruh Indonesia mencapai 1 miliar kemudian angka 4.711 dipandang sepele. Angka yang sudah mencapai 4.000 merupakan kesalahan fatal, apalagi ini menyangkut makanan yang diedarkan di seluruh Indonesia untuk anak-anak sekolah (generasi penerus bangsa). Maksudnya jangan sampai program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sejak awal dicanangkan menjadi solusi pencegahan stunting dan gizi buruk malah tambah memperburuk kondisi kesehatan anak-anak Indonesia.

Memang BGN sebagaimana dikutip dari Tempo.Co telah memberi sejumlah solusi untuk mengatasi masalah keracunan MBG. Solusi-solusi itu antara lain membentuk tim investigasi kasus keracunan MBG, menghentikan sementara setiap dapur yang bermasalah, dan memperpendek jangkauan pemantauan. BGN juga akan membuka kantor di setiap kabupaten dan kota guna memperpendek jarak pemantauan. Kantor ini ditargetkan akan beroperasi mulai tahun 2026. Sedangkan saat ini pengawasan masih dilakukan terpusat oleh Deputi Bidang Pemantauan dan Pengawasan BGN.

           

Kondisi Lapangan MBG

SUmber: kompas.com
SUmber: kompas.com

Lantas apa yang menjadi program MBG tersandung kasus keracunan? Mari sejenak kita bersama melihat kondisi yang terjadi di lapangan. Masalah ini dipicu oleh beberapa masalah pendukung seperti masalah higienitas, proses pengolahan, hingga rantai distribusi. Mari kita lihat satu per satu.

  • Sebagaimana dikutip dari Kantor Staf Kepresidenan, sebagian besar dapur SPPG belum memiliki Sertifikasi Laik Higienis dan Sanitasi (SLHS). Per 22 September 2025 dari 8.583 dapur MBG, hanya 34 SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) yang tercatat memiliki SLHS, yang merupakan prasyarat keamanan pangan dari Kementerian Kesehatan.
  • Masih dari sumber yang sama, dikatakan minimnya penerapan standar operasional prosedur (SOP) keamanan pangan. Dari 1.379 SPPG yang dipantau, hanya 312 yang benar-benar menerapkan SOP tersebut.
  • Waktu pengolahan dan Penyajian (Time Limit) seperti yang dikutip dari kompas.com, ditemukan adanya dugaan kelalaian di mana makanan dimasak terlalu dini (lebih cepat dari jadwal) dan disantap sudah basi. Hal ini terjadi karena proses distribusi yang lambat, sehingga makanan berada di suhu kritis (5 derajat Celcius sampai 60 derajat celcius) terlalu lama. Dalam rentang suhu ini, bakteri dan mikroba berbahaya dapa tumbuh dengan cepat dan menjadi pemicu makanan basi.
  • Masih dari sumber yang sama yaitu Kompas.com terkait kontaminasi bahan baku. Salah satu contoh kasus di Banggai Kepulauan diduga kuat disebabkan oleh Ikan Tuna Goreng Saus yang tercemar.

Kemudian fakta di lapangan terkait pekerja di dapur juga masih harus diperhatikan.

  • Keterbatasan Kompetensi SDM dalam skala Produksi Massal. Seperti dikutip dari CNBC Meskipun program MBG bertujuan untuk merekrut tenaga kerja lokal, termasuk warga miskin (wajib merekrut 30% dari warga miskin), banyak petugas yang sehari-hari hanya memasak untuk keluarga kecil. Menurut Kepala BGN, petugas dapur membutuhkan waktu adaptasi agar dapat memenuhi standar kematangan, higienitas, dan cita rasa untuk produksi ribuan porsi makanan. Skala produksi yang masif membutuhkan penanganan dan peralatan yang berbeda, di mana kesalahan kecil (misalnya, masakan tidak matang merata atau proses pendinginan yang tidak tepat) dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri yang cepat dan memicu keracunan massal.
  • Minimnya keterlibatan tenaga Ahli Gizi dan Pengawasan. Wakil Ketua DPR RI menyoroti bahwa ahli gizi jangan hanya datang di ujung, melainkan harus terlibat dari proses awal pemasakan untuk memastikan makanan aman dan bergizi. Sebaliknya, Dinas Kesehatan di beberapa daerah (misalnya Dinkes Sumsel) mengakui adanya kekurangan tenaga penjamah makanan yang berwenang untuk mengawasi langsung keamanan pangan di SPPG.

Dari fakta-fakta lapangan ini tentu sekali lagi menjadi memprihatinkan jika program MBG berkesan menakutkan di mata masyarakat. Mengingat tujuan awal program MBG seharusnya pemerintah mengentikan dahulu sementara program MBG. Pemerintah seharusnya melakukan evaluasi besar-besaran terkait program ini, evaluasi itu antara lain harus terkait akan empat hal utama.

Pertama soal tenaga pekerja di dapur. Tujuan pemerintah untuk memperkerjakan tenaga kerja lokal, termasuk warga miskin sudah baik. Namun karena tenaga kerja lokal ini tidak semua memiliki pengalaman memasak dalam porsi yang banyak dan yang tentu dikejar oleh waktu. Maka harus ada pelatihan dasar terkait hal-hal teknis dalam bekerja di dapur MBG. Hal-hal teknis ini tidak hanya menyangkut tentang hal-hal teknis saat memasak atau menyiapkan bahan-bahan masakan, tapi juga terkait penyimpanan bahan-bahan makanan, pengemasan, dan distribusi makanan ke sekolah-sekolah.

Kedua soal pengawasan di dapur MBG. Setidaknya masing-masing dapur MBG diawasi langsung oleh orang yang ahli dalam pakar gizi dan koki yang berpengalaman bekerja di dapur. Pengawasan ini tentu untuk memantau, dan menjaga terkait bahan-bahan masakan maupun cara memasak dan cara penyajian. Makanan merupakan salah satu unsur yang paling rentang, sebab makanan dimasukkan ke tubuh manusia dan jika ada celah untuk bakteri atau kuman dalam makanan, maka juga akan membahayakan tubuh. Pengawasan juga harus rutin dilakukan oleh dinas kesehatan masing-masing daerah yang juga secara rutin berkomunikasi dengan pemerintah pusat.

Ketiga adalah soal higienitas dan kelayakan dapur MBG. Semua dapur MBG yang ada di seluruh Indonesia seharusnya dilakukan pengecekan dan standarisasi oleh kementerian kesehatan. Jangan sampai dapur sebagai tempat makanan disiapkan tidak higienis. Kalau dapurnya saja tidak memenuhi standar, bagaimana bisa makanannya pula memenuhi standar.

Keempat adalah keracunan yang besar-besaran terjadi ini dipicu karena program MBG berjalan di banyak daerah di seluruh Indonesia sehingga menyulitkan untuk melakukan pengawasan. Alangkah baiknya program MBG difokuskan untuk daerah-daerah yang benar-benar masuk dalam 3T. Program ini juga bukankah lebih baik berjalan di daerah-daerah yang memang menjadi urgensi saja. Lagipula dana untuk MBG yang cukup bahkan sangat tinggi itu, bisa dialokasikan untuk perbaikan kualitas pendidikan yang lebih baik. Maksudnya jangan sampai sekolah yang mendapatkan MBG tapi kualitasnya pendidikan sekolah itu mulai dari bangunan saja sudah memperihatinkan.

Maka dari itu program MBG harus diberhentikan sementara, untuk dilakukan evaluasi menyeluruh terkait empat hal tersebut. Bukan malah evaluasi sambil jalan, jika evaluasi sambil jalan ya kasus keracunan juga akan berjalan menemani evaluasi yang dilakukan sambil jalan. Jangan sampai keracunan makanan akibat MBG menimbulkan korban jiwa, maka dari itu bukankah lebih baik jika MBG berhenti sementara untuk evaluasi menyeluruh dan ketika program ini berjalan kembali, tidak akan menimbulkan korban dan berjalan lebih baik. Jangan sampai program MBG tetap dijalankan ditengah maraknya kasus keracunan hanya untuk kepentingan elite semata, sehingga mengindahkan standar keamanan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun