Di tengah tekanan ekonomi yang makin berat, banyak rakyat Indonesia yang tergoda pada solusi instan: pinjaman online (pinjol). Dengan syarat yang tampak mudah dan pencairan cepat, jutaan orang masuk ke dalam jerat yang pada akhirnya menyiksa mereka secara psikologis, finansial, bahkan sosial.
Pinjol yang beroperasi di Indonesia, baik legal maupun ilegal adalah sama saja, kini menjadi fenomena yang sangat mengkhawatirkan. Beberapa nama seperti CashCepat, EasyCash, AdaKami, Kredit Pintar, AdaPundi, Tunaiku, PinjamDuit, AlloBank, Lumbung Dana, Cairin, FinPlus, UangMe, RupiahCepat, 360Kredi, PinjamYuk, Uatas, BantuSaku, dan Singa sudah sangat dikenal masyarakat. Namun, semua menjalankan ancaman dan intimidasi dalam melaksanakan aksi penagihannya. Semua menerapkan bunga mencekik, penagihan tidak manusiawi, dan pelanggaran privasi.
Siapa di Balik Pinjol?
Kebanyakan perusahaan ini berbentuk PT (Perseroan Terbatas) dan terdaftar di OJK sebagai penyelenggara fintech lending. Beberapa dimiliki oleh modal asing, sebagian besar tidak transparan soal struktur kepemilikan. Ada yang bermitra dengan bank, ada pula yang berbasis di luar negeri dan hanya membuka kantor perwakilan di Indonesia.
Mengapa sulit dilawan? Karena mereka memakai tameng legalitas dan celah hukum. Namun rakyat bisa melawan dengan:
Melapor ke OJK dan Satgas Waspada Investasi atas praktik ilegal atau merugikan.
Kampanye media sosial untuk menyuarakan pengalaman korban pinjol.
Bersatu dalam komunitas advokasi hukum demi menuntut keadilan secara kolektif.
Mendorong DPR dan pemerintah untuk membatasi kepemilikan asing dan praktik rente digital ini.
Rakyat bersatu turun langsung ke kantor PINJO dan menutupnya. Dengan jumlah kekuatan Rakyat, Rakyat pasti menang. Hal ini adalah langkah terakhir apabila negara tidak sanggup mematikan PINJOL.
Pinjol Bukan Solusi, Tapi Jerat Baru