Mohon tunggu...
Densa Story
Densa Story Mohon Tunggu... Penulis - Content Creator

Seorang yang ingin belajar kreatif, melalui tulisan yang edukatif, sehingga dapat menginspirasi banyak orang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bisakah Melihat Nikmat-Nya di Tengah Keburukan?

22 Januari 2021   06:00 Diperbarui: 22 Januari 2021   06:34 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tenda para pengungsi gempa Majene dilanda angin kencang (Tribun Medan-Tribunnews.com)

Pada suatu hari, ada seorang pengkhotbah mengadakan acara berbagi cerita tentang segala kebaikan Tuhan di tengah keburukan. Pengkhotbah dan rekan-rekannya ini merupakan orang-orang kaya dan berpendidikan tinggi yang merasa hidupnya beruntung di tengah segala kesusahan Indonesia yang diterpa pandemi, resesi, dan bencana alam yang bertubi-tubi.

Pengkhotbah itu mulai cerita bahwa ia pernah mengalami keterlambatan lulus Sarjana selama 1 semester. Di tengah mahasiswa-mahasiswi high class yang menganggap hal itu adalah hina, pengkhotbah ini tidak merasa demikian. Ia yang telah bersatu dengan Tuhannya ini merasa bahwa Tuhan punya maksud untuk membuatnya terlambat lulus. Ternyata dalam moment inilah, ia dipertemukan dengan seorang dosen muda yang tampan dan tinggi semampai sehingga menjadi jodoh. Ia bersyukur pada Tuhan karena dengan terlambat lulus Sarjana, ia bisa berjodoh sama dosen muda tampan itu.

Seorang wanita yang merupakan rekannya mulai cerita. Ia pernah mendapatkan pelecehan seksual dari seorang pria. Karena hal itu, ia menjadi trauma untuk menjalin hubungan asmara. Tetapi ketika ia masuk ke suatu komunitas keagamaan dimana mengalami kebaikan hati dari teman-teman pria, pandangan dia terhadap pria menjadi berubah. Kini ia sudah menikah dengan salah satu pria dari komunitas itu dan mempunyai 4 anak.

Adapun rekan wanita yang satu lagi memberi kesaksian. Ia sudah menjadi Sarjana, tapi ia serakah ingin kuliah S2 ke China, sebab ia ingin terus studi dan tidak mau bekerja di Indonesia. Ia punya cita-cita ingin kerja di China yang merupakan negara berideologi komunis. Karena orang tuanya banyak uang meski di tengah resesi, ia mendaftar dan ikut test masuk online salah satu universitas di China dan lulus. Mengapa ia ingin kuliah di China? Karena ketika ia kuliah S1, ia pernah menjalani program pertukaran mahasiswi ke China, dan ia merasa betah tinggal di China, maka itu ia ingin kembali ke China meski dari situlah pandemi yang menyusahkan dunia ini berasal. Ia yang selama di Indonesia ini tidak mau ke rumah ibadah karena takut ada Corona, kini malah mau ke ‘sarang Corona’. Menurutnya, inilah bukti bahwa Tuhan sayang padanya.

Pembaca yang terkasih, sungguh, bisa-bisanya mereka yang high class ini membahas kebaikan Tuhan yang dialaminya di tengah banyak rakyat Indonesia kini berseru-seru, “Dimanakah Engkau, Tuhan? Mengapa Engkau menimpakan kesusahan berkali-kali untuk mendera hidup kami? Sudah ada pandemi, kehilangan pendapatan, susah makan, rumah pun runtuh digoncang gempa, diterjang banjir, tanah longsor, gunung meletus, bocor, kehilangan orang-orang tercinta, kehilangan ‘tulang punggung keluarga’, harus tidur di pengungsian, kedinginan, tiada air bersih, dan segala kesusahan lain. Mengapakah Engkau, ya Tuhan menimpakan malapetaka ini kepada kami? Apa dosa kami, bukankah selama ini kami telah berbuat baik, dan selama ini kami selalu menyembah Engkau? Namun mengapa nasib kami lebih buruk dari mereka yang tidak mengenal Engkau?

Seorang manusia yang baik adalah yang memiliki rasa kasih, iba hati, dan dapat merasakan duka, meskipun yang berduka itu adalah orang lain. Setiap saat ketika saya melihat di jalan-jalan banyak orang yang berprofesi jadi badut jalanan sambil membawa celengan, dengan muka yang gosong karena kepanasan, sambil makan nasi bungkus tanpa lauk alias ‘mutih’; ada juga gembel-gembel tidur di pinggir toko yang tutup, pemulung-pemulung yang harus memungut sampah plastik satu per-satu ke dalam karung yang dipanggulnya, semuanya itu dilakukan mereka di tengah pandemi dan resesi, dimana sebagian besar orang enak-enakkan #DiRumahAja, kerja dari rumah, dapat uang dari rumah, dan saling menyombongkan kehidupannya dari rumah.

Jujur, saya kasihan melihat semua orang yang menderita sengsara, namun saya pun tak bisa berbuat banyak. Apalagi bila kita melihat di wilayah yang lain banyak terjadi bencana, banyak yang mengungsi dengan segala keterbatasannya. Ada pengungsi Gunung Semeru, gempa Majene, banjir Kalimantan Selatan, banjir bandang Puncak Bogor, dan masih banyak lagi. Ditambah duka nestapa dari para keluarga korban jatuhnya pesawat Sriwijaya dan keluarga pasien Corona yang meninggal dunia. Ketika tulisan ini ditulis, terjadi gempa bumi berkekuatan 7,1 SR di Sulawesi Utara.

Pembaca yang terkasih, sekarang mari kita bertanya pada diri sendiri. Apakah ketika kita ditimpa kesusahan, bisakah kita menilai hal itu sebagai tanda kebaikan Tuhan? Saya rasa tidak. Kecuali bila kisahnya menjadi begini: Ada seorang miskin, rumahnya sederhana. Rumah itu adalah satu-satunya harta miliknya. Lalu Tuhan mendatangkan air bah atau gempa, sehingga rumah dan segala isinya hancur, tinggal sisa tanahnya saja. Lalu datanglah Bedah Rumah, dan dibangunlah rumah orang itu beserta segala isinya. Mbak host berteriak, “Tiga, dua, satu, buka tirainya!” Jreng-jreng, tirai terbuka dan nampaklah rumah orang miskin itu menjadi bagus dengan segala perabotannya yang bagus dan lengkap. Otomatis, orang miskin itu langsung bersujud dengan muka sampai ke tanah dengan menyerukan syukur kepada-Nya. Inilah yang disebut keburukan berubah jadi kenikmatan daripada-Nya. Tapi bagaimana bila yang terjadi malah sebaliknya?

Sudah mengungsi di tenda yang hanya berupa bentangan terpal, berdesakan dengan orang lain, rawan tertular Corona. Tidak ada listrik, tidak ada WC, tidak bisa buang air, tidak ada air bersih, harta yang tersisa hanyalah sisa pakaian dan makanan dari penderma. Mulai mereka sakit Corona, demam, muntah-muntah disertai diare yang tak terkendali, tak nafsu makan. Lalu tiba-tiba Tuhan mendatangkan badai, sehingga terpal tenda itu berkibar lalu terbang bersamaan dengan sisa pakaian mereka. Ada yang nyangkut di kabel listrik, di pohon, atau hilang entah kemana. Bisakah orang-orang yang mengalami nasib naas ini bersyukur kepada-Nya?

Sebagai seorang yang jujur, kita harus mengakui bahwa ketika manusia ditimpa kesusahan, apalagi sampai bertubi-tubi, mereka pasti akan mempertanyakan: Mengapa Tuhan membiarkan semuanya ini terjadi? Mengapa Tuhan tidak menyayangi hamba-hamba-Nya? Mengapa Tuhan tidak adil dengan memberi tulah kepada hamba-Nya tapi memberi keberuntungan kepada mereka yang tidak mengenal-Nya dan tidak ada rasa iba terhadap penderitaan sesamanya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun