Sering kali kita mendengar istilah work life balance sebagai kunci kebahagiaan. Banyak yang percaya bahwa selama pekerjaan dan kehidupan pribadi berjalan seimbang, maka semuanya akan baik-baik saja. Namun kenyataannya, ada hal yang jauh lebih penting dan sering terlupakan, yaitu kesehatan sosial. Konsep ini mungkin terdengar asing dibandingkan dengan kesehatan fisik dan mental, tapi sebenarnya keberadaannya sama pentingnya. Kesehatan sosial menyangkut bagaimana kita berhubungan dengan orang lain, bagaimana kita merasa terhubung, didengar, dipahami, dan diterima. Tanpa itu, work life balance hanya sebatas slogan yang tak pernah benar-benar membuat hidup kita penuh makna.
Coba bayangkan seseorang yang punya jadwal kerja teratur, gaji cukup, waktu istirahat oke, bahkan rutin olahraga. Secara fisik dan mental terlihat sehat, tapi tetap merasa ada yang kosong. Kosong itu muncul ketika hubungan dengan orang lain minim, ketika obrolan hanya sekadar basa-basi, ketika di rumah tak ada yang benar-benar peduli, atau ketika di kantor semua terasa kaku dan dingin. Di sinilah kesehatan sosial berperan. Manusia pada dasarnya makhluk sosial. Otak kita sejak awal memang dirancang untuk berhubungan dengan orang lain.
Ada penelitian menarik dari seorang penulis bernama Charles Duhigg yang membahas soal komunikasi. Ia menyebut ada orang-orang yang disebut supercommunicators, yaitu mereka yang mampu membangun percakapan yang mendalam, bukan sekadar mengobrol. Mereka bisa membuat orang lain merasa nyaman, merasa didengar, bahkan merasa dipahami tanpa perlu banyak basa-basi. Menariknya, kemampuan ini bukan bawaan lahir, melainkan bisa dipelajari. Salah satu caranya adalah dengan berani menunjukkan kerentanan. Kerentanan dalam arti berani jujur mengungkapkan perasaan, mengakui kekhawatiran, atau menceritakan pengalaman pribadi. Saat kita berani terbuka, orang lain cenderung ikut terbuka. Inilah yang menciptakan koneksi sosial yang sehat.
Penelitian lain menunjukkan bahwa ketika dua orang benar-benar terhubung dalam percakapan, aktivitas otak mereka bisa sinkron. Artinya, bagian otak yang menyala di orang pertama juga menyala di orang kedua. Itulah mengapa ketika kita ngobrol nyambung, waktu terasa cepat berlalu. Sebaliknya, kalau percakapan canggung atau penuh basa-basi, otak tidak sinkron, dan kita merasa bosan. Dalam konteks kerja, hal ini berpengaruh besar. Tim yang anggotanya bisa terhubung secara sosial akan lebih produktif, lebih kreatif, dan lebih betah bekerja bersama.
Masalahnya, banyak orang terlalu fokus pada produktivitas dan kesehatan mental tapi lupa pada kesehatan sosial. Mereka rajin meditasi, rajin olahraga, makan sehat, tetapi minim interaksi bermakna. Padahal isolasi sosial diam-diam berbahaya. Banyak studi menunjukkan bahwa kesepian punya dampak kesehatan sama seriusnya dengan merokok atau obesitas. Kesepian kronis meningkatkan risiko penyakit jantung, melemahkan sistem imun, dan bahkan memperpendek usia. Jadi kalau selama ini kita sibuk menjaga tubuh dan pikiran, jangan lupa menjaga hubungan dengan orang lain juga.
Lalu bagaimana caranya membangun kesehatan sosial? Pertama, mulai dari komunikasi. Charles Duhigg menyebut ada tiga jenis percakapan utama yang biasa kita lakukan: percakapan tentang emosi, percakapan tentang fakta, dan percakapan tentang nilai. Masalah sering muncul ketika orang berbeda fokus. Misalnya, seseorang ingin bicara soal emosi, tapi lawan bicaranya hanya menanggapi dengan fakta. Contoh sederhana, seorang teman curhat, "Aku capek banget kerja, rasanya mau menyerah." Kalau kita menjawab, "Ya sudah, resign saja," itu artinya kita salah menangkap. Dia sedang butuh empati, bukan solusi instan.
Kesehatan sosial terjaga ketika kita belajar mendengarkan dengan tepat. Mendengarkan tidak sama dengan diam, melainkan berusaha memahami apa yang benar-benar dibutuhkan lawan bicara. Kadang orang hanya ingin ditemani, ingin divalidasi, ingin didengarkan tanpa dihakimi. Di dunia kerja, keterampilan ini penting. Atasan yang mendengarkan karyawannya dengan empati akan lebih dihargai. Rekan kerja yang mau mendengarkan curhatan koleganya bisa menciptakan iklim kerja yang lebih hangat. Sementara karyawan yang merasa suaranya tidak pernah didengar cenderung tidak betah, mudah stres, bahkan cepat pindah kerja.
Menariknya, komunikasi sehat bukan hanya soal kata-kata. Bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan nada suara juga menentukan. Otak manusia peka sekali terhadap sinyal nonverbal. Senyum tulus bisa mencairkan suasana lebih cepat daripada seribu kata manis. Kontak mata yang hangat bisa membuat lawan bicara merasa dihargai. Sementara nada suara datar atau wajah tanpa ekspresi bisa membuat pesan yang sebenarnya baik jadi terasa dingin. Inilah seni komunikasi yang berhubungan langsung dengan kesehatan sosial.
Kesehatan sosial juga berkaitan erat dengan rasa memiliki. Kita semua ingin merasa menjadi bagian dari sesuatu, entah itu keluarga, komunitas, atau tim kerja. Rasa memiliki ini muncul ketika ada keterhubungan emosional, ketika kita merasa nilai-nilai kita dihargai, ketika kita tidak hanya dianggap sebagai mesin kerja. Di kantor, program team building sering dilakukan dengan tujuan ini, tapi sebenarnya lebih dari sekadar games. Intinya adalah menciptakan suasana di mana orang saling mengenal lebih dalam, bukan hanya tahu nama dan jabatan.
Sayangnya, banyak perusahaan masih menganggap hubungan sosial karyawan sebagai urusan pribadi. Padahal dampaknya sangat besar pada performa. Karyawan yang sehat secara sosial lebih loyal, lebih sedikit absen, lebih bersemangat, dan lebih produktif. Bahkan, menurut beberapa studi, kesehatan sosial karyawan bisa menjadi salah satu indikator keberhasilan perusahaan jangka panjang.
Namun kesehatan sosial bukan hanya soal kantor. Dalam kehidupan pribadi pun sama pentingnya. Banyak orang sukses secara karier, punya rumah, punya harta, tapi merasa kesepian. Mereka lupa memelihara hubungan dengan keluarga, lupa menyapa teman lama, lupa meluangkan waktu untuk berinteraksi. Lama-lama hidup terasa hampa. Ini menunjukkan bahwa ukuran kebahagiaan bukan hanya apa yang kita capai, melainkan juga seberapa dalam koneksi kita dengan orang lain.
Menjaga kesehatan sosial tidak berarti harus selalu dikelilingi banyak orang. Kualitas jauh lebih penting daripada kuantitas. Punya satu atau dua teman dekat yang bisa dipercaya sering kali lebih menyehatkan daripada punya seratus kenalan yang hanya sebatas basa-basi. Jadi bukan soal berapa banyak kontak di ponsel, melainkan seberapa dalam percakapan yang bisa kita jalani.
Sebagai penutup, mari kembali ke konsep awal: work life balance. Benar, seimbang antara kerja dan hidup pribadi itu penting. Tapi tanpa kesehatan sosial, keseimbangan itu rapuh. Kita bisa saja sehat fisik, sehat mental, tapi tetap merasa kosong karena tidak ada koneksi yang bermakna. Itulah sebabnya menjaga kesehatan sosial harus menjadi bagian dari gaya hidup kita. Mulailah dengan berani terbuka, mendengarkan lebih banyak, menyapa lebih sering, dan menghargai orang lain. Dengan begitu, hidup bukan hanya seimbang, tapi juga terasa penuh. Karena pada akhirnya, kebahagiaan sejati bukan datang dari berapa banyak yang kita miliki, melainkan dari seberapa kuat kita terhubung dengan orang-orang di sekitar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI