"Jadi kamu tidak tertarik dengan anaknya Pak Danu? Padahal dia senang sekali padamu loh, Nduk?" kata ibu suatu hari.Â
"Aku kurang sreg Bu. Maaf ya Bu. Bukannya menolak niat baik ibu," kataku merasa tak enak hati.
"Ndak apa-apa. Ibu juga Ndak maksa. Pokoknya dengan siapa pun itu sing penting kamu cinta. Ono roso ning dodomu. Jadi enak menjalani semua nantinya," nasihat ibu.Â
Aku setujui dengan pendapat ibu. Hal itulah yang menjadi salah satu syaratku dalam menerima seorang lelaki. Memiliki rasa tresno terhadap si lelaki. Disamping kepahaman agamanya.
Sosok itu pun hadir ketika tanpa sengaja mataku bertatapan dengan kawan kakakku yang sedang berkunjung ke rumah.
"Oh, kawannya Mas Kenal, ya? Sebentar aku bangunkan dulu ya? Mas Kemalnya sedang tidur."
"Wah, enggak usah dibangunkan. Besok saja aku datang lagi. Aku pamit dulu, ya? Salahku juga sih enggak janjian dulu," gerutu lelaki dihadapanku ini dengan mimiknya yang lucu.Â
Aku tersenyum melihat tampangnya yang lucu. Rupanya ia menyadari hal itu.
"Kenapa tertawa?" tanyanya dengan wajah tanpa dosa.
"Oh, enggak apa-apa," sahutku.
"Dengan Kak siapa nih? Biar nanti kusampaikan pada Mas Kemal kalau ia sudah bangun."