Padahal sistem negara bukanlah hal yang mutlak. Karena bisa berubah sewaktu-waktu dibutuhkan dan menyesuaikan kondisi negara. Apalagi untuk negara besar, beragam dan berbentuk kepulauan seperti Indonesia. Karena secara logika sistem negara federasi jauh lebih cocok untuk mengakomodir segala kepentingan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama, bahasa, maupun Etnis.
Sebagai contoh, negara Tiongkok jauh lebih luas dari Indonesia. Akan tetapi jumblah suku terbesar disana hanya suku Han yang berjumlah 90 persen dari total penduduk. Dan selebihnya etnis-etnis lain selain suku Han yang tentu saja tidak sebanyak jumblah etnis dan suku di Indonesia. Sehingga bentuk negara kesatuan paling pas Untuk negara Tiongkok. Negara Tiongkok masih konsisten sebagai negara kesatuan hingga saat ini.
Menurut saya, beragamnya masyarakat Indonesia adalah suatu alasan terbesar kenapa para tokoh-tokoh nasional masih takut untuk menerapkan sistem federasi untuk indonesia. Indonesia merupakan negara yang paling beragam , bahkan paling beragam di dunia. Berbeda dengan negara Amerika Serikat, yang mana jumblah etnis dan suku tidak sebanyak di Indonesia. Sehingga kalaupun Amerika berbentuk federasi, masyarakat Amerika tetap dapat dipersatukan dalam wadah negara federal. Sedangkan Indonesia, jika berbentuk federasi seperti negara Amerika Serikat. Tentu akan sangat banyak daerah-daerah yang mau di akomodir kepentingannya, sehingga pada akhirnya mendirikan negara sendiri.
Apalagi sistem politik Indonesia yang masih jauh lebih rapuh dibandingkan Amerika Serikat. Kenapa saya sebut masih rapuh? Karena rasa persatuan Rakyat Indonesia sebagai satu bangsa, masih belum sekokoh negara Amerika Serikat. Karena Amerika jauh lebih matang dalam berpolitik dan berdemokrasi. Semenjak berakhirnya perang civil dimasa Presiden Abraham Lincoln, persatuan bangsa Amerika semakin kokoh. Karena setelah berakhirnya perang tersebut. Presiden Lincoln memperkuat persatuan Amerika Serikat dan peran pemerintahan pusat dalam sistem federasi Amerika Serikat.
Sehingga menurut kesimpulan saya selain sistem negara federasi erat kaitannya dengan negara Boneka Belanda. Sistem negara federasi menjadi tabu untuk diterapkan karena terlalu beragamnya Masyarakat Indonesia. Baik dari etnis, suku bangsa, dan agama. Akan tetapi disatu sisi Indonesia hampir mirip seperti negara federasi, dengan memberikan hak otonomi khusus bagi daerah-daerah istimewa dan daerah-daerah yang pernah ingin melepaskan diri dari NKRI.
Tetapi, apapun bentuk negara Indonesia kini dan nanti. Pemerataan pembangunan adalah kunci dari persatuan dan kesatuan sebuah negara. Seperti contohnya Amerika Serikat. Meskipun berbentuk federasi yang "katanya" rasa persatuannya tidak sekuat Indonesia yang berbentuk negara kesatuan. Rasa persatuan mereka sebagai satu bangsa sangat kuat dan kokoh. Karena meratanya pembangunan di seantero negeri, bahkan hingga tingkat kecamatan dan kelurahan dipelosok negara tersebut.Â
Hal itu terbukti dari film-film Hollywood Amerika Serikat, yang hampir tak pernah absen menampilkan bendera Nasional negaranya. Yang seakan menunjukkan betapa tingginya rasa Nasionalisme rakyat Amerika Serikat.
Sehingga masalah Indonesia bukan pada sistem atau bentuk negara. Akan tetapi adalah tidak meratanya paradigma pembangunan infrastruktur maupun ekonomi dari Sabang hingga Merauke. Karena jika tetap tidak merata dengan sistem saat ini. Prediksi Indonesia akan bubar seperti Uni soviet dan Yugoslavia seperti yang diucapkan oleh Amien Rais. Bisa saja benar dan bukan hanya ucapan angin lalu saja. Karena dengan adanya pemerataan pembangunan infrastruktur dan ekonomi. Tentu saja seluruh daerah akan merasakan "Kehadiran Negara". Sehingga rasa persatuan dan kesatuan pun muncul dihati seluruh rakyat Indonesia. Karena pada dasarnya motto "senasib dan seperjuangan" tidak hanya ucapan indah belaka. (Muhammad Dendy).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI