Senja mulai rebah
Menyembunyikan kemilaunya di balik bukit
Yang rumputnya mulai layu dan beralih warna
Menipu tatapan dengan sihir emasnya yang menguning
Gunung-gunung yang berjejer
Memperlihatkan keperkasaan bumi
Di balik tipu dayanya yang mempesonakan mata
Lantaran menyimpan aliran panas bumi yang ia muntahkan saat ia mau
Suara burung-burung merdu sampai ke kuping
Siulan yang seolah bernyanyi menjadi topeng riang mereka
Setelah merampas padi petani dan ikan nelayan
Merenggut ternak dan buah perkebunan
Manusia berebut waktu
Melangkah ke sana, pusing ke sini dan bingung sendiri
Berebut tempat dengan kata di kepala ‘tak punya waktu’
Merenggut nasib di tatapan sihir ciptaan idealis, karismatis dan spiritualis
Dan memberhentikan kretifitas dengan slogan ‘destiny’
‘should we believe in destiny’ merobek lidah pengagum takdir
‘some people do’ katanya dengan pongah
‘ehhh makanlah dulu baru membaca nasib di garis tangamu’ nyeledek dukun beranak
‘bah…bagaimana dengan kami yang tak punya tangan?’ protes orang yang tangannya buntung
Lantas?
‘lihatlah garis kerutan di jidatmu!’ idealis berujar ketus
Boro-boro melihat kerut di jidatmu
Tataplah kerutan langit
Pantulan kerutan wajahmu
Semakin hari semakin banyak
‘kau mulai tua kawan’ desah angin
‘karena harimu habis dengan menghitung’ bisik sepoi
Rumput bergoyang, gunung menjulang, burung terbang
Semua mengalir
Datang dan pergi
Ada yang menghilang, mati dan tumbuh kembali
Akankah kita?
Batusangkar, Sumatera Barat
Awal Pebruari 2014.