RDTR PERBATASAN TTU, BUKAN SEKADAR TATA RUANG - INI TENTANG MASA DEPAN
Oleh: Dems Naijes – Awardee Beasiswa Unggulan Kemdikbudristekdikti thn 2024
Uraian awal
Ketika berbicara tentang kawasan perbatasan, apa yang biasanya terlintas di benak kita? Daerah pinggiran, terisolasi, penuh keterbatasan? Mungkin itu benar pada masa lalu. Tapi sekarang, kawasan perbatasan adalah frontier—batas negara sekaligus gerbang masa depan. Dan di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), visi besar itu sedang diperjuangkan dengan satu langkah kunci: pengesahan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Wilayah Perencanaan (WP) Napan dan WP Kefamenanu.
RDTR: Dokumen Teknis yang Menentukan Arah Sejarah
Banyak yang menganggap RDTR hanya sekadar dokumen tata ruang. Tapi jika kita menyelami lebih dalam, RDTR sejatinya adalah peta jalan menuju transformasi kawasan. Tanpa RDTR, pembangunan berjalan tanpa arah, investasi stagnan, dan peluang ekonomi menguap begitu saja. Sebaliknya, dengan RDTR, setiap jengkal tanah punya nilai, punya peran, dan punya masa depan yang jelas.
Bupati Falen Kebo paham betul hal ini. Dalam berbagai kesempatan, ia menegaskan bahwa RDTR bukan sekadar syarat administratif, melainkan instrumen strategis untuk menggerakkan ekonomi perbatasan, memperkuat pertahanan negara, dan membangun wajah baru TTU sebagai gerbang Indonesia di timur.
Kawasan Perbatasan: Dari Tembok Menjadi Pintu
Dengan dibukanya Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Napan pada April 2025, dunia baru terbuka di ujung barat Kabupaten TTU. Transaksi legal mulai berjalan, ekspor seperti air mineral ke Timor Leste mulai tercatat. Tapi semua itu masih embrionik. Tanpa RDTR yang sah dan dikuatkan Perpres, kawasan ini bisa jadi macet dalam perencanaan atau bahkan jatuh ke jurang konflik pemanfaatan lahan.
Penting untuk disadari, kawasan perbatasan bukan sekadar tempat lalu lintas orang dan barang—ia adalah titik temu dua budaya, dua bangsa, dan dua sistem ekonomi. Maka, penataan ruang di kawasan ini membutuhkan presisi, sensitivitas, dan kepastian hukum. RDTR adalah satu-satunya instrumen yang mampu mewujudkan itu semua.
Tantangan dan Ketakutan yang Tak Perlu Ditutupi
Memang tidak mudah. Ada tantangan infrastruktur yang belum memadai, regulasi yang seringkali tumpang tindih, hingga isu klasik keterbatasan anggaran. Tapi justru di situlah letak urgensinya: RDTR akan menjadi kompas yang memandu pemerintah pusat dan daerah, serta memberi sinyal jelas kepada investor dan mitra bilateral bahwa TTU siap tumbuh.
Ketiadaan RDTR hanya akan memperkuat ketakutan lama: perbatasan sebagai wilayah tertinggal, sumber penyelundupan, dan rawan konflik lahan. Sebaliknya, kehadiran RDTR dan payung hukum Perpres adalah deklarasi bahwa TTU ingin dan mampu menjadi poros kemajuan timur Indonesia.
Penutup: Waktu Tidak Bisa Menunggu
Mendorong percepatan pengesahan Perpres RDTR bukanlah soal ambisi politik lokal semata, tapi tentang masa depan generasi muda di perbatasan. Apakah mereka akan terus melihat daerahnya sebagai tempat yang harus ditinggalkan untuk sukses, atau sebagai tanah harapan yang bisa dibangun bersama?
Pemerintah pusat harus mendengar, dan bertindak. Perpres tentang RDTR WP Napan dan Kefamenanu bukan hanya tentang legalitas tata ruang, tapi tentang martabat perbatasan Indonesia.
Catatan:
Uraian ini berdasarkan kajian empiris dari informasi berita resmi:
- Zonanusantara.com – Dorongan Pengesahan Perpres RDTR oleh Bupati TTU
- LPPL RSPD TTU – RDTR Sebagai Kunci Kemajuan Kawasan Perbatasan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI