Mohon tunggu...
D'mitri Sampeliling
D'mitri Sampeliling Mohon Tunggu... -

Karyawan Swasta, Kerja di Jakarta, Tinggal di Bogor

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Surga di Toraja

20 Juli 2012   17:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:45 1252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Rumah kami di Toraja menghadap ke  hamparan sawah yang dikelilingi gunung gunung berbatu di mana akar akar beringin menjalar  dengan kilap daunnya yang rindang tumbuh di sela sela pohon pohon enau dan aneka pohon lainnya dalam lambaian rumpun rumpun bambu yang mendesis tertiup angin.

Gunung yang puncaknya tampak  paling tinggi adalah yang berhadapan dengan beranda rumah kami yakni Buntu Sarira. Ada yang mengatakan kalau Buntu Sarira membelah Toraja menjadi dua bagian. Bahkan ada sebuah lagu Toraja, Sarira Parerung yang menceritakan kalau Sarira adalah benteng pada masa peperangan  sehingga walaupun di balik Buntu Sarira telah terjadi pertumpahan darah namun tidak nampak oleh mata karena tertutup dinding Sarira.

Hamparan sawah yang terbentang dari pinggir jalan raya depan rumah kami hingga lembah Sarira pada pagi hari rutin dihinggapi oleh bangau bangau putih yang jumlahnya bisa mencapai ratusan. Mereka terbang berkelompok dari arah barat menghiasi langit, sebagian turun menghadirkan warna putih mencolok  dalam pemandangan alam yang didominasi paduan warna hijau tanaman dan warna hitam dari batu, yang tidak hanya membentuk dinding dinding gunung tetapi juga tampak di sawah di sela sela hijau tanaman padi,  tempat yang sangat disukai anak anak duduk di musim panen menunggu orang tuanya memotong padi sambil membunyikan pelle', alat bunyian yang dibuat dari jerami.

Pertunjukan mahluk berseragam putih ini dengan turun sambil membubarkan barisan lalu terbang naik kembali membentuk barisan di udara ternyata cukup manjur jika dimanfaatkan oleh ibu saya untuk membuat saya, seorang bocah di umur umur yang masih sulit dipahami penyebabnya jika marah atau menangis, bisa langsung terdiam. Cukup dengan mantra "bangau sudah datang", maka saya akan segera beranjak ke beranda  menyaksikan atraksi mereka dan tanpa sadar membuat saya lupa kemarahan saya.

Saya sering mengucapkan pertanyaan ini pada orang-orang, dari manakah datang bangau bangau putih tersebut ? Dan saya begitu sulit percaya jawabannya kalau mahluk tersebut punya sarang tetap untuk istirahat. Pada suatu hari menjelang senja saat kami dan kerabat pulang tongkon dari Madandan, saya ditunjukkan beberapa batang pohon besar oleh kedua orang tua saya di mana gerombolan bangau putih tampak seperti selimut putih menutupi pohon yang tumbuh  di pinggir jalan poros Makale Rantepao. Entah benar atau tidak ucapan orang tua saya bahwa sebagian dari bangau bangau yang sedang beranjak ke peraduan tersebut adalah yang sering berburu ikan di sawah depan rumah kami. Tempat kami sering bermain rakit bambu milik petani yang kami  pakai sembunyi sembunyi jika pemiliknya tidak ada.


Lambat laun saya pun  perlahan memahami kalau gerombolan bangau putih itu bukannya melakukan atraksi namun semua itu dilakukannya demi urusan perut.  Kehadiran mereka adalah pertanda  bahwa di bawah permukaan air sawah terdapat aneka jenis ikan air tawar. Saya masih ingat kalau di rumah ada tagalak, suatu alat yang dianyam dari bambu berbentuk silinder dengan diameter sekitar 40 cm namun di bagian atasnya dibuat mengecil. Selain untuk  pegangan, pun agar ikan yang telah terkurung tidak mudah melompat dari dalam tagalak.

Cara menangkap ikan yang lain adalah memancing. Alat pancingnya bisa setinggi tiang bendera  dan biasanya hanya orang dewasa yang kuat memegangnya karena saya pernah mencobanya namun tidak kuat bahkan membuat saya hampir terjatuh. Alat pancing seperti ini biasanya digunakan untuk memancing ikan gabus yang  memang lebih besar ukurannya.

Ada lagi yang lebih berkesan yakni cara memancing bale todi', ikan kecil yang hidup di sawah. Ukurannya lebih kecil dari ikan teri. Biasanya dilakukan oleh anak anak yakni dengan cara memancing tanpa menggunakan kail. Cukup dengan mengikat ulat kecil pada ujung tali pancing maka bale todi' akan menggigit ulat tersebut dan akan tetap ngotot menggigit walaupun tali pancing telah menariknya ke atas, keluar dari dalam air dan pada saat gigitannya terlepas, bale todi' pun tidak jatuh kembali ke sawah tetapi telah jatuh ke alat penadah sang pemancing yang berarti bahwa sang bale todi' siap dikorbankan.

Sepertinya cukup lama untuk mendapatkan bale todi' yang mencukupi dengan cara demikian namun kegiatan ini hanyalah satu dari sekian macam permainan anak anak belasan tahun sepulang dari sekolah. Dan apabila ada yang memang sudah terampil memainkannya maka semangkok bale todi' bisa dibawa pulang, dimasak dengan menambahkan parutan kelapa, daun semba, jenis tanaman yang daunnya asam, dan lada katokkon, paprica Toraja pedas namun manisnya tetap terasa.

Cara mendapatkan jumlah ikan di sawah dalam jumlah yang lebih banyak adalah dengan  cara menggunakan lampu petromaks di malam hari. Dengan senjata parang kecil maka ikan yang terkena silau lampu tidak bisa berbuat banyak untuk meloloskan diri dari sabetan parang. Para pemburu ikan akan berjalan menyusuri sawah yang mana dari jauh tampak hanya cahayanya bergerak sehingga agak susah dibedakan  dengan batitong, suatu mahluk aneh bercahaya  yang tak terjawab bagi saya hingga saat ini apakah masuk kategori mahkluk halus. Mahluk yang sering tampak di malam hari di tempat tempat agak terpisah dari pemukiman.

Baik ikan gabus, ikan lele, bale todi', belut hingga siput sawah sebenarnya bukanlah lauk utama masyarakat Toraja karena biasanya di atas dapur kayu para penduduk selalu tergantung pa'karing, dendeng babi atau kerbau yang diasapi. Biasanya pada saat ada syukuran adat maka akan tersedia sejumlah daging yang tidak akan habis dimakan pada hari tersebut sehingga satu satunya cara agar daging tidak dibuang adalah dengan cara pengasapan. Aneka pesta adat sering dilangsungkan di tanah yang beriklim sejuk ini. Rambu tuka' dan rambu solo' silih berganti di saat mungkin pa'karing dari pesta adat sebelumnya masih tersisa.

Kerbau, babi dan ayam adalah  binatang favorit di Toraja yang dimasak dengan cara mencampurkannya dengan aneka jenis bumbu dan sayuran yang banyak tumbuh liar di Toraja seperti nangka, daun mayana, batang pisang, daun jambu, daun pepaya dan lainnya yang dipadatkan ke dalam batang bambu lalu dibakar di mana aroma sedap yang dihasilkannya sebanding dengan rasanya yang tak hanya mengandung protein tetapi juga serat sayuran dalam komposisi yang lumayan banyak.

Hingga belasan tahun berlalu aku tersadar kalau bangau bangau putih telah menghilang tanpa pamit dan tak tahu kapan terakhir menyapa kami dengan atraksinya. Mungkin sebagian besar sangmane dan kawan sepermainan lainnya tidak menyadari kalau bangau putih tersebut menghilang perlahan-lahan satu per satu tanpa jelas penyebabnya hingga kehadirannya tak mampu lagi membentuk barisan karena jumlahnya tinggal dihitung dengan jari bahkan terkadang tidak tampak sama sekali. Mungkin karena ulah penembak burung yang dengan senjatanya keluar masuk kampung  atau mungkin pula karena bangau telah beralih ke tempat lain karena populasi ikan di sawah juga sudah hilang kena racun pestisida, sebuah cara modern mengusir hama padi.

Keindahan keindahan lain yang menghilang adalah canda para pemotong padi, sipela'tekan sipetaa taan karena berubahnya tradisi potong padi akibat munculnya varietas padi baru yang dipanen bukan dengan rangkapan (red ani-ani) tetapi dengan sabit. Sudah tak tampak lagi po’ko’, tumpukan padi mirip pohon natal di pematang sehabis panen, tak ada lagi bunyi lesung di musim panen karena hadirnya mesin penggiling padi. Tak terdengar pula barrung, yakni pelle' yang ujungnya ditambahkan lilitan daun kelapa membentuk terompet karena batang padi varietas baru yang lebih kecil tidak bisa untuk dibuat pelle dan barrung.

Hingga kini, kehidupan telah membawa kami tanpa sadar meninggalkan surga, di mana kami bisa makan dari  tanaman yang tumbuh di tanah di mana kami berpijak, minum dari air alam di mana kami bermain, hidup dari kail dan jala bak cerita lagu kolam susu, berinteraksi dengan alam dan manusia lain dalam tatanan budaya bergotong royong yang diwariskan leluhur.

Masih mampukah kami kembali mencari surga yang hilang itu di saat Ayah dan Ibu yang kami kasihi telah kembali ke Surga yang sesungguhnya? Rumah tongkonan dari sahabat sepermainanpun hampir tak berpenghuni dan orang orang yang bisa ditemuipun adalah generasi generasi modern yang tak ada bedanya dengan masyarakat perkotaan. Budaya asli dan modern seakan bertarung. Masih mampukah kami kembali hidup dari tanah warisan meninggalkan cara hidup yang mengandalkan rekening bank ?

Tanggal muda dan tanggal tua bak nafas hidup yang membuat kami lupa bahwa Puang Matua telah menitipkan tanah subur yang sejuk buat kami yaitu surga di Toraja

Jakarta 21 Juli 2012

sipela'tekan sipetaa taan = ngerumpi

buntu = gunung

tongkon = melayat

tongkonan = rumah adat Toraja

Puang Matua = Tuhan

rangkapan = ani ani

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun