Belakangan ini, publik dibuat ramai oleh munculnya fatwa dari sebuah pondok pesantren di Besuk, Pasuruan, yang mengharamkan "soun horeg" fenomena hiburan jalanan yang belakangan viral di kalangan anak muda. Fatwa ini sontak memicu perdebatan amat sengit, dimana sebagian masyarakat membela son horek sebagai bentuk kebebasan berekspresi dan kreativitas rakyat kecil, sementara lainnya menilai aktivitas tersebut lebih banyak menimbulkan mudharat, seperti keributan hingga mengganggu ketertiban umum.
Fenomena ini bukan sekadar soal boleh atau tidak, tapi leih kepada benturan antara ekspresi budaya populer dan norma keagamaan serta sosial. Ketika ekspresi publik bertemu dengan nilai-nilai moral komunitas, wajar jika muncul pro-kontra yang kompleks. Inilah yang menjadikan perdebatan seputar soun horek bukan hanya menarik, tapi juga penting untuk dikaji secara bijak dan komprehensif.
Analisis hukum "sound horeg" dalam Islam
Meski tak ditemukan larangan secara eksplisit tentang sound horeg dalam Al-Qur'an maupun hadits, bukan berarti Islam kehilangan pijakan dalam menyikapi fenomena semacam ini. Islam adalah agama yang fleksibel dan responsif terhadap dinamika zaman, dengan kaidah-kaidah umum yang mampu menjangkau persoalan kontemporer melalui pertimbangan maslahat, mudarat, dan nilai-nilai etika yang diajarkan syariat. Oleh karena itulah Islam disebut sebagai agama yang selalu relevan dengan keadaan zaman.
Berdasarkan hasil pembahasan fatwa dari Lembaga Fatwa Forum Satu Muharram Pondok Pesantren Besuk Pasuruan, terdapat tiga alasan utama yang melatarbelakangi pengharaman sound horeg. Alasan tersebut tentunya muncul dari dampak yang diakibatkan dari sound horeg tersebut. Yaitu; pertama, sound horeg sering kali menjadi simbol sya'ir fussaq (syiar orang orang fasiq), kedua, mendorong percampuran laki-laki dan perempuan, ketiga, memicu aksi joget yang kerap disertai gerakan tidak pantas.
Jika kita memicu pada substansi akan penyebab diharamkannya soun horeg tersebut, sebenarnya inti dari masalah yang muncul merupakan akibat dari suara yang ditimbulkannya. Dimana yang pro beranggapan hal tersebut mengekspresikan kreatifitas melalui hiburan dengan medium suara, sementara yang kontra menganggap suara tersebut menjadi sebab gangguan bagi mereka.
Beberapa literatur yang menjadi pendukung diharamkannya soun horeg
عن أبي سعيد قال اعتكف رسول الله صلى الله عليه وسلم في المسجدفسمعهم يجهرون بالقراءة فكشف الستر وقال ألا إن كلكم مناج ربه فلايؤذين بعضكم بعضاولايرفع بعضكم على بعض في القراءة او قال في الصلاة
Artinya, "Dari Abu Said, ia bercerita bahwa Rasulullah SAW melakukan itikaf di masjid. Di tengah itikaf ia mendengar mereka (jamaah) membaca Al-Quran dengan lantang. Rasulullah kemudian menyingkap tirai dan berkata, 'Ketahuilah, setiap kamu bermunajat kepada Tuhan. Jangan sebagian kamu menyakiti sebagian yang lain. Jangan juga sebagian kamu meninggikan atas sebagian lainnya dalam membaca.' Atau ia berkata, 'dalam shalat,' (HR Abu Dawud).
Jika kita menelaah hadis tersebut, memang benar bahwa hadits tersebut membahas mengani larangan yang ditujuksn bagi orang yang membaca Al-Qur'an dengan suara lantang yang berakibat menganggu aktifitas orang lain. Lantas bagaimana dengan fenomena sound horeg, yang memiliki dampak yang lebih besar? bukan hanya sekedar mengganggu aktifitas orang lain tapi juga merusak: Kaca rumah pecah, genteng berjatuhan, tembok retak, bahkan sampai infrastruktur desa yang menghalangi dirusak demi kelancaran mobilitas sound horeg.
Dari hadits tersebut jika ditelaah terdapat kesamaan illat (sebab) larangan dalam hadits tersebut dengan soun horeg, sama-sama disebabkan oleh suara yang keras yang dapat mengganggu orang lain. Dalam fatwa yang dikeluarkanpun sempat menyinggung bahwa bukan pengeras suaranya yang dilarang melainkan dampak yang timbul akibat dari polusi suara yang digunakan sudah melewati batas kewajaran. Hal tersebut sejalan dengan qowaid al-fiqhiyyah yang mengatakan: