Korupsi di sektor pertahanan dan keamanan merupakan ancaman serius yang tak hanya berdampak pada kerugian finansial negara, tetapi juga mengancam fondasi kedaulatan dan ketahanan nasional. Meski tampak seperti praktik yang tersembunyi dan sulit terdeteksi, korupsi di bidang ini adalah benih yang jika dibiarkan tumbuh tanpa pengawasan, bisa menggerogoti kekuatan dan stabilitas bangsa secara menyeluruh. Penting untuk memahami bagaimana serangkaian pelanggaran kecil dapat menjadi pintu masuk bagi kerusakan sistemik yang jauh lebih parah.
Bahkan, korupsi di sektor pertahanan dan keamanan (hankam) bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menggerogoti kedaulatan dan stabilitas nasional. Data dari Transparency International Indonesia (2020) menunjukkan skor integritas pertahanan Indonesia hanya 47 dari 100, menempatkannya dalam kategori risiko korupsi tinggi. Dalam konteks ini, Teori Broken Windows---yang menekankan bahwa ketidakteraturan kecil yang tidak ditangani akan memicu kejahatan lebih besar---menawarkan lensa kritis untuk memahami bagaimana praktik korupsi "kecil" di sektor hankam bisa berkembang menjadi krisis sistemik.
Teori Broken Windows dan Analoginya dalam Korupsi Hankam
Teori Broken Windows, yang digagas James Q. Wilson dan George L. Kelling (1982), berargumen bahwa lingkungan yang terabaikan (seperti jendela pecah yang tidak diperbaiki) mengirim sinyal bahwa tidak ada yang peduli, sehingga mendorong eskalasi kejahatan. Dalam konteks hankam, "jendela pecah" ini bisa berupa penyimpangan anggaran kecil, pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang tidak transparan, atau pelanggaran prosedur yang dibiarkan tanpa sanksi.
Contoh nyata terlihat dalam kasus korupsi mantan Pangdam V/Brawijaya, Jenderal Djaja Suparman, yang menyalahgunakan pelepasan aset tanah militer senilai Rp13,3 miliar. Kasus ini hanya "retakan kecil" dalam sistem, tetapi jika dibiarkan, ia membuka pintu bagi korupsi yang lebih masif---seperti pengadaan alutsista senilai triliunan rupiah yang kerap diselimuti ketidaktransparan.
Data Korupsi di Sektor Hankam: Retakan yang Terabaikan
Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sektor hankam termasuk yang paling rentan korupsi akibat minimnya transparansi dan kompleksitas alokasi anggaran. Beberapa temuan kritis meliputi:
- Pengadaan alutsista: Proyek pengadaan pesawat tempur, kapal perang, dan sistem persenjataan lain sering kali diwarnai mark-up harga. Misalnya, pada 2023, Kementerian Pertahanan dilaporkan mengalokasikan Rp169 triliun untuk belanja alutsista, namun 30% anggaran tersebut berpotensi bocor akibat praktik suap dan kolusi.
- Bisnis militer: Aktivitas bisnis yang dijalankan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di luar anggaran resmi---seperti pengelolaan lahan dan properti---menjadi sumber korupsi terselubung. Laporan TII (2020) menyebutkan, pendapatan "abu-abu" ini tidak tercatat secara akuntabel, sehingga rentan disalahgunakan.
- Kasus perbatasan: Lemahnya pengawasan di wilayah perbatasan akibat korupsi mengakibatkan pelanggaran kedaulatan, seperti masuknya kapal asing secara ilegal ke perairan Indonesia. Data Kementerian Kelautan mencatat, 70% pelanggaran batas maritim terjadi di zona dengan infrastruktur pengawasan terbatas---akibat anggaran untuk radar dan satelit dipotong secara ilegal.
Kerugian Negara Dari Alutsista hingga Kedaulatan yang Terancam
Kerugian negara akibat korupsi di sektor pertahanan dan keamanan, khususnya terlihat jelas dalam kasus proyek pengadaan satelit di Kementerian Pertahanan, menunjukkan betapa besar dampak finansial dan strategis yang ditimbulkan. Kasus korupsi pengadaan satelit slot orbit 123 derajat bujur timur yang berlangsung dari 2012 hingga 2021 ini mengakibatkan kerugian negara mencapai sekitar Rp 300 miliar atau setara dengan 21,38 juta dolar AS berdasarkan audit investigatif Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Proyek yang seharusnya memperkuat sistem komunikasi dan pertahanan nasional ini justru menjadi ladang penyimpangan anggaran melalui praktik markup biaya, pengadaan barang yang tidak sesuai spesifikasi, serta kontrak yang tidak transparan.
Bahkan, pemerintah Indonesia harus membayar denda sebesar 20,86 juta dolar AS akibat sengketa arbitrase internasional terkait proyek tersebut, yang semakin memperbesar beban keuangan negara. Selain kerugian finansial, kasus ini juga menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan ruang angkasa Indonesia, karena tidak aktifnya operasional satelit berpotensi menyebabkan hilangnya hak pengelolaan slot orbit strategis tersebut dari Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi di sektor pertahanan tidak hanya merugikan secara materi, tetapi juga melemahkan posisi strategis negara di kancah global.