Mohon tunggu...
Della Eliza Putri
Della Eliza Putri Mohon Tunggu... Lainnya - bisa mandarin

bisa bahasa mandarin

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menepis Kampanye Hitam dalam Regulasi Digital Kampanye 2024

17 Februari 2024   13:26 Diperbarui: 17 Februari 2024   13:26 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada pemilihan Presiden 2024, kampanye hitam (Black Campaign) mulai bermunculan. Black campaign atau kampanye hitam adalah metode kampanye yang dilakukan untuk menjatuhkan salah satu pihak. Di mana ada pihak yang menyebarkan isu juga desas-desus buruk tentang suatu pihak. Hal tersebut bertujuan menjatuhkan nama baik pihak dan tersebut.Alih-alih mengedepankan adu gagasan untuk membangun Indonesia maju ke depan, sejumlah pendukung bakal calon kontestan pilpres mulai menebar informasi bohong, hoaks dan ujaran kebencian. Jika fenomena itu tidak segera dibendung, dikhawatirkan demokrasi akan semakin terancam.

            Serangan kampanye hitam berupa informasi bohong atau hoaks dan ujaran kebencian dialami semua bakal calon presiden (capres) dan juga tokoh potensial capres. Di antaranya bakal capres dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Ganjar Pranowo; bakal capres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Anies Rasyid Baswedan; juga bakal capres dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto.

            Jangan sampai kampanye yang mengeksploitasi emosi, strategi kebohongan, politik identitas, itu membahayakan fondasi keberagaman bangsa karena tidak ada aturan yang jelas mengenai kampanye politik di media social. Medsos tidak hanya menjadi ruang yang kondusif untuk berbagai informasi, tetapi juga berbagi emosi. Ketika informasi yang dibagi di medsos tidak berdasarkan kebenaran obyektif, ujarnya, yang muncul adalah kebenaran emosional. Apalagi, kampanye politik bukan hanya kampanye positif, tetapi juga kampanye hitam yang penuh dengan hoaks dan ujaran kebencian.

            Definisi dan Larangan Kampanye Hitam (Black Campaign) :

Kampanye pemilu menurut Pasal 1 angka 35 UU Pemilu adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri peserta pemilu.

            Lalu, apa itu black campaign dan contohnya? Menurut KBBI, kampanye hitam adalah kampanye dengan cara menjelek-jelekkan lawan politik. Black campaign dapat pula diartikan sebagai kampanye yang bersifat kepada penghinaan, menyebarkan berita bohong, fitnah, atau ditujukan untuk menjatuhkan kandidat tertentu. Contohnya: menyebarkan isu kandidat tertentu adalah seorang ateis dan mempunyai ideologi yang tidak sesuai dengan Pancasila.

            Kampanye hitam, ada istilah lain yang ada juga di masyarakat, yaitu kampanye negatif. Menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari, perbedaan mendasar antara kampanye hitam dengan kampanye negatif adalah kampanye negatif sesuai fakta, sedangkan kampanye hitam tidak sesuai fakta.

Menurut Qodari, seorang kandidat bisa saja menuduh lawan politiknya melakukan korupsi, asalkan tuduhan tersebut bersifat faktual. Ia mencontohkan salah satu kampanye negatif yang pernah dilakukan adalah kampanye untuk tidak memilih politisi busuk. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Perlu Pembedaan Tegas antara Black dan Negative Campaign. Secara yuridis, dalam UU Pemilu tidak diatur secara eksplisit mengenai kampanye hitam ini. Namun demikian, perlu kiranya dicermati ketentuan di dalam Pasal 280 ayat (1) UU Pemilu tentang larangan dalam kampanye berikut ini:

mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;

-melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

-menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain;

-menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat;

-mengganggu ketertiban umum;

-mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau peserta pemilu yang lain;

-merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye peserta pemilu;

-menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan;

-membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut selain dari tanda gambar dan/atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan; dan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu.

Dalam pasal tersebut, larangan black campaign dalam pemilu tercermin di dalam larangan untuk menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat. Termasuk pula apabila terdapat unsur penghinaan terhadap seseorang, SARA, dan/atau peserta pemilu lain.

            Sementara itu, di dalam Pasal 69 huruf c UU 8/2015 dan penjelasannya, secara tegas disebutkan bahwa kampanye hitam atau black campaign adalah melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.

            Ancaman Pidana Buzzer yang Melakukan Pelaku Black Campaign

Secara umum, apakah buzzer melanggar hukum? Tindakan buzzer yang menyebarkan hoaks, mencemarkan nama baik, menyebarkan informasi yang menimbulkan permusuhan berbasis sara, ataupun membuat akun palsu merupakan suatu tindak pidana sebagaimana dijelaskan secara lengkap dalam artikel Buzzer Bisa Dijerat UU ITE, Ini Penjelasannya.

            Adapun, khusus dalam konteks buzzer politik dalam kerangka kampanye pemilu, berdasarkan Pasal 521 UU Pemilu dijelaskan bahwa setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) UU Pemilu dipidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp24 juta.

            Sebagai tambahan informasi, bahwa selain kampanye hitam, perlu kita ketahui yaitu kampanye berbasis raksasa. Regulasi Dital yang tegas perlu segera dibuat, karena dalam 5-10 tahun ke depan diprediksi penggunaan kampanye politik digital berbasis data raksasa akan semakin masif. Itu seiring dengan semakin banyaknya jumlah masyarakat pemilih yang memakai media sosial untuk mengikuti berita-berita politik. Kampanye digital berbasis data raksasa juga bisa membuat partai semakin kehilangan identitas atau platform ideologisnya. Sebab, atas nama efektivitas, partai dan politisi akan tergoda menyesuaikan janji pesan kampanyenya mengikuti latar belakang psikologis pemilih yang disasar.

            Kampanye berbasis data raksasa memungkinkan politisi memetakan kelompok pemilih berdasarkan perilakunya di media sosial, termasuk karakteristik dan latar belakang sosial, ekonomi, dan budayanya. Politisi kemudian menjahit pesan kampanye personal yang disesuaikan dengan perilaku dan latar belakang pemilih bersangkutan. Beberapa dampak potensi buruk dari kampanye digital berbasis data raksasa antara lain pelanggaran hak privasi, manipulasi psikologis terhadap pemilih, serta berkembangnya lahan subur untuk penyebaran kabar bohong (hoaks) dan ujaran kebencian yang bisa memperparah polarisasi di masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun