Pertanyaan tentang seberapa dekat pejabat dengan buku menjadi sangat relevan di tengah kompleksitas tantangan bangsa. Dalam era informasi yang serba cepat ini, kemampuan membaca dan literasi menjadi fondasi utama bagi pengambilan keputusan yang berkualitas.
Realitas budaya baca di Indonesia masih memprihatinkan. Data UNESCO menunjukkan minat baca masyarakat Indonesia berada di peringkat yang rendah. Jika kondisi ini terjadi pada masyarakat umum, bagaimana dengan para pejabat yang memikul tanggung jawab mengelola negara selama lima tahun masa jabatan mereka.
Mengelola kompleksitas sebuah negara dengan 270 juta penduduk bukanlah perkara mudah. Setiap kebijakan yang dilahirkan akan berdampak pada jutaan jiwa. Tanpa bekal pengetahuan yang memadai dari berbagai sumber termasuk buku, bagaimana mungkin pejabat dapat membuat keputusan yang tepat dan berpihak pada rakyat.
Kebijakan publik yang berkualitas lahir dari proses yang matang, melibatkan kajian mendalam terhadap berbagai aspek sosial, ekonomi, dan politik. Buku menjadi jendela untuk memahami pengalaman negara lain, teori-teori terdepan, dan praktik terbaik dalam pemerintahan. Pejabat yang tidak memiliki kebiasaan membaca akan terjebak pada solusi-solusi instan yang seringkali tidak menyelesaikan akar permasalahan.
Kita masih bisa berharap pada kebijakan publik yang berkualitas, namun dengan catatan penting. Para pejabat harus memiliki komitmen untuk terus belajar dan memperkaya wawasan melalui literatur yang relevan. Budaya literasi di kalangan pemimpin harus menjadi prioritas, bukan sekadar slogan kampanye.
Rekomendasi Bacaan untuk Pejabat
Untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan, beberapa buku berikut sangat direkomendasikan:
Dalam bidang kepemimpinan, "Good to Great" karya Jim Collins memberikan wawasan mendalam tentang transformasi organisasi. "The Art of War" oleh Sun Tzu mengajarkan strategi yang tetap relevan hingga kini. "Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi" memberikan pemahaman mendalam tentang filosofi bangsa.
Untuk kemampuan komunikasi publik, "The Pyramid Principle" karya Barbara Minto membantu menyusun argumen yang logis. "Made to Stick" oleh Chip Heath dan Dan Heath mengajarkan cara menyampaikan pesan yang mudah diingat dan dipahami publik.
Di bidang kebijakan publik, "Implementation" karya Jeffrey Pressman dan Aaron Wildavsky menjadi klasik yang wajib dibaca. "The Policy Paradox" oleh Deborah Stone memberikan perspektif komprehensif tentang kompleksitas pembuatan kebijakan. "Reinventing Government" karya David Osborne dan Ted Gaebler menawarkan pendekatan inovatif dalam pemerintahan modern.
Khusus untuk konteks Indonesia, "Indonesia Etc." karya Elizabeth Pisani memberikan gambaran nyata tentang kompleksitas negara ini. "Orang Miskin Dilarang Sakit" oleh Handrawan Nadesul membuka mata tentang realitas kesehatan publik. "Politik Ekonomi Pembangunan" karya Mubyarto relevan untuk memahami tantangan ekonomi nasional.
Membaca buku bukan sekadar hobi, melainkan investasi intelektual yang akan menentukan kualitas kepemimpinan. Pejabat yang gemar membaca akan memiliki perspektif yang lebih luas, solusi yang lebih kreatif, dan kebijakan yang lebih matang. Tanpa budaya literasi yang kuat, jangan harap ada perubahan signifikan dalam kualitas pemerintahan kita.
Saatnya para pejabat menyadari bahwa buku adalah alat kerja yang tidak kalah penting dari smartphone atau mobil dinas. Investasi waktu untuk membaca hari ini akan menentukan kualitas keputusan yang diambil esok hari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI