Bagi saya, Ramadhan lebih dari sekadar ritual berpuasa dari subuh hingga magrib. Ini adalah momen untuk kembali kepada Tuhan dan memperbaiki diri. Selama sebelas bulan sebelumnya, sering kali kita terjebak dalam kesibukan dunia---pekerjaan, tugas kuliah, drama kehidupan, atau bahkan scrolling media sosial yang tiada habisnya. Ibadah menjadi rutinitas belaka, dan doa hanya sekadar formalitas. Namun, saat Ramadhan tiba, hati ini seolah ditarik kembali ke tempat yang seharusnya: tenang, teduh, dan penuh makna.
Tak ketinggalan, tarawih di masjid, kajian setelah subuh, serta tadarus yang dilakukan perlahan sebelum tidur. Semua pengalaman ini menjadikan Ramadhan seolah-olah menjadi ruang henti di tengah hiruk-pikuk kehidupan---kesempatan untuk berhenti sejenak, merapikan hati, dan menguatkan iman. Kita diajak untuk menata ulang prioritas hidup. Hal-hal yang selama ini terasa penting, seperti pencapaian materi atau pengakuan sosial, tiba-tiba terasa lebih ringan dibandingkan kedamaian batin dan kebersihan hati.
Namun, yang paling berkesan bagi saya adalah pelajaran tentang empati. Puasa bukan sekadar latihan fisik, melainkan juga latihan hati. Dengan menahan lapar dan haus, kita belajar memahami keadaan orang lain. Ketika perut kosong, kita menjadi lebih peka terhadap mereka yang benar-benar kelaparan setiap hari---bukan karena mereka sedang berpuasa, tetapi karena mereka tidak memiliki apa pun untuk dimakan. Dari sini, Ramadhan mengajarkan kita untuk bersyukur dan lebih dermawan---menyisihkan rezeki untuk sedekah, berbagi takjil, menyapa tetangga, atau sekadar tersenyum; semua hal kecil ini memiliki dampak besar, baik bagi orang lain maupun bagi hati kita sendiri.
Namun, saya juga menyadari bahwa Ramadhan di era sekarang sering kali dipengaruhi oleh budaya konsumtif yang ironis. Bukannya menyederhanakan hidup, banyak di antara kita terjebak dalam euforia belanja, buka bersama di tempat mewah, hidangan berbuka yang berlebihan, atau sekadar sibuk mempersiapkan penampilan untuk hari raya. Tidak ada yang salah dengan menikmati rezeki yang halal, tetapi jika semua itu membuat kita lupa pada makna kesederhanaan dan berbagi, bukankah kita justru menjauh dari semangat Ramadhan itu sendiri?
Saya pribadi percaya bahwa Ramadhan adalah waktu yang sangat tepat untuk memperbaiki hubungan, baik dengan Tuhan maupun dengan sesama. Seringkali, kesibukan sehari-hari membuat kita lupa untuk menyapa orang tua, menunda memberi kabar kepada teman lama, atau bahkan menyimpan sakit hati yang belum terselesaikan. Oleh karena itu, Ramadhan dapat menjadi momentum yang baik untuk memulai segalanya dari awal. Saatnya untuk memaafkan, meminta maaf, dan membuka lembaran baru dalam hidup kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI