Cermin iniÂ
Hari itu, aku berdiri lama di depan cermin toilet restoran. Bukan karena aku ingin memastikan penampilanku, tapi karena aku sedang berbicara diam-diam dengan diriku sendiri. Rambutku sedikit kusut, wajahku tampak letih, tapi senyumku... tetap ada. Entah kenapa.
Baru saja aku melewati hari yang melelahkan. Ujian hidup yang tak pernah ku tulis di jurnal harian. Pertengkaran kecil dengan sahabat, tugas kuliah yang menumpuk, dan perasaan asing yang tak sempat aku beri nama.
Aku mengangkat ponsel, mengarahkan kamera ke arah cermin. Klik. Satu jepretan, sebagai tanda bahwa aku berhasil sampai sejauh ini. Satu momen kecil yang tak akan pernah muncul di beranda siapa pun---tapi sangat berarti untukku.
Aku mengenakan baju hitam hari itu. Bukan karena berduka, tapi karena ingin terlihat kuat. Hitam selalu membuatku merasa seperti punya tameng yang tidak terlihat. Padahal, kenyataannya aku rapuh. Tapi bukankah setiap orang punya cara sendiri untuk menyembunyikan luka?
Di dalam cermin itu, aku melihat dua sisi: sisi yang mencoba tetap tenang, dan sisi yang ingin berteriak. Namun, keduanya berdamai dalam satu foto sederhana. Foto yang tak akan banyak bicara, tapi diam-diam menyimpan cerita.
Kadang, kita tidak butuh banyak teman untuk merasa utuh. Cukup satu refleksi diri yang mengingatkan bahwa kita tidak berjalan sia-sia.
Hari itu, aku belajar satu hal: tidak apa-apa merasa lelah. Asal jangan berhenti. Dunia boleh kacau, tapi kita bisa tetap kuat... bahkan hanya dengan berdiri sendiri di depan cermin.
Kesimpulan:
Hidup adalah perjalanan diam-diam antara kekuatan dan kelemahan diri. Kadang tak semua perjuangan perlu diumumkan. Cukup dikenang oleh diri sendiri, dalam sepotong cermin, di ujung hari.