Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Makkah dan Hal yang Tidak Bisa Dihindari

17 Desember 2023   18:40 Diperbarui: 17 Desember 2023   18:40 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mekkah Dan Hal Yang Tidak Bisa Dihindari


Karena ujian sudah selesai dan di rumah tinggal berdua, maka ke si bungsu saya menawarkan berangkat ke "Noor Riyadh" untuk mengisi kegiatan di akhir pekan.

"Noor Riyadh" adalah festival seni pencahayaan cahaya terbesar di dunia. Menghadirkan 120 karya seni cahaya dari 100 seniman seluruh dunia. Karya seni cahaya nya terdiri dari berbagai macam latar. Mulai dari seni pertunjukan, arsitektur, graphis, desain dan kedokteran.

Festival karya seni pencahayaan ini cukup menarik perhatian. Selain dari konser Metallica yang untuk pertama kali nya dihelat di Arab Saudi. Menonton konser Metallica di Saudi bukan hanya tentang musisi gaek yang iramanya pernah akrab di telinga,  tapi juga ingin melihat dan merasakan secara langsung respon masyarakat  Saudi terhadap transformasi sosial yang gencar dilakukan Kerajaan Saudi dalam beberapa tahun terakhir ini. Utamanya dalam bidang entertainment. Setelah sebelumnya melihat transformasi bidang olahraga dengan menonton Ronaldo di kandang Al-Nassr.

Entah karena saya kurang begitu detail menjelaskan atau memang si bungsu sudah punya pilihan, dia ternyata punya ide lain. Festival Seni Pencahayaan tidak menjadi pilihannya. Dia mengusulkan bagaimana kalau akhir pekan ini berangkat lagi ke Madinah mengunjungi Masjid Nabawi. Seperti biasa, waktunya cukup 3 hari. Termasuk pulang-pergi dengan perjalanan darat.


Sambil tersenyum, saya pun mengiyakan usulan itu. Lalu menghubungi Hamlah, travel agent, untuk meminta seat ke Madinah.

Menurut Travel agent langganan kami, trip ke Madinah hanya tinggal transportasi nya saja. Untuk Hotel silahkan order sendiri. Namun dia masih mempunyai seat untuk perjalanan ke Makkah dan Madinah. Waktunya otomatis menjadi lebih lama, yaitu 5 hari.

Ketika hal ini disampaikan, si bungsu makin sumringah. Menurutnya lebih baik sekalian Makkah-Madinah saja. Waktunya lebih panjang tidak menjadi masalah. Selain karena libur, sekalian menunggu kedatangan Ibu dan Kakak nya yang sekarang masih di Indonesia.

Adapun bila nanti Kakaknya yang belum pernah ke Saudi datang dan mau mengajaknya ke Makkah-Madinah, ya berangkat lagi. Menurut dia tidak ada salahnya kan.

Maka pada Jumat siang menjelang sore, berangkatlah kami ke Makkah. Untuk selanjutnya akan dilanjutkan ke Madinah dan kembali ke Riyadh.

Dalam perjalanan Makkah-Madinah yang tidak direncanakan ini, mengingatkan saya kembali tentang hal dalam hidup yang sulit dihindari. Atau hal-hal dalam hidup yang sebetulnya tidak harus kita hindari, bahkan lebih baik diikuti. Namun karena kekeliruan pemahaman, lalu kita menghindarinya.

Misalnya saja semasa dulu sekolah. Beberapa teman kebetulan dipercaya menjaga dan mengelola Masjid beserta kegiatan-kegiatannya. Termasuk diantaranya kewenangan menentukan Khatib Jum'at. Orang menyebut teman-teman saya dengan Maraboth Masjid.

Menurut beberapa teman yang menjadi Marabot Masjid, saya relatif memenuhi syarat untuk menjadi Khatib Jum'at atau mengisi pengajian kepada masyarakat. Karena itu beberapa diantara mereka pun meminta menjadi Khatib Jum'at di Masjid yang mereka kelola.

Sampai dua tiga kali kesempatan, ajakan menjadi Khatib Jum'at dipenuhi. Namun selanjutnya, permintaan menjadi Khatib Jum'at tidak dipenuhi. Karena selalu menolak, tentunya teman-teman bukan hanya tidak meminta lagi menjadi Khatib Jum'at, tetapi juga menyebarkan informasi kepada sesama marabot Masjid lainnya. Bahwa saya tidak akan mau kalau diminta mengisi pengajian atau Khatib Jum'at. Sehingga setelah itu, tidak ada lagi yang mau meminta kita mengisi pengajian atau Khatib Jum'at.

Bisa dikatakan bila waktu itu saya menghindar mengisi pengajian atau Khutbah Jum'at. Alasannya karena merasa tidak layak dan berat menjadi penceramah. Banyak hal dalam diri yang perlu diperbaiki dahulu sebelum memberikan pengajaran mengenai Agama kepada masyarakat. Mesti ada perbaikan diri secara total, baru memberikan pengajaran.

Di kemudian hari, saya menganggap pendapat itu keliru sehingga keputusan saya pun salah. Menghindar memberi pengajian keagamaan kepada masyarakat atau menjadi Khatib Jum'at adalah kekeliruan. Meski alasannya terasa sangat idealistik. Karena merasa diri belum layak.

Kesalahan pertama adalah ketika menganggap bahwa untuk menyampaikan kebaikan, maka kita harus baik dahulu secara utuh. Padahal tidak mesti seperti itu. Hal yang terpenting bukan harus baik dahulu, tapi maukah kita berproses menjadi baik. Karena hidup adalah proses menjadi. Setiap perjalanan waktu adalah momen untuk perbaikan tanpa henti. Hal inilah sebetulnya yang berat. Hidup menjadi proses berkelanjutan tanpa henti, continuous improvement.

Inilah yang pernah ditunjukan seorang Mahatma Gandhi di waktu mudanya.

Dikisahkan bahwa seorang Ibu kewalahan menasehati anaknya untuk mengkonsumsi gula berlebihan. Karena akan membahayakan kesehatannya. Namun nasehat si Ibu tidak digubris si anak.

Lalu si Ibu suatu hari mendengar reputasi Gandhi yang ucapannya sering dituruti orang. Si Ibu pun mendatangi Gandhi. Meminta tolong supaya dia menasehati anaknya agar berhenti mengkonsumsi Gula berlebihan.

Disebutkan bahwa Gandhi memenuhi permintaan si Ibu. Namun Gandhi meminta supaya si Ibu bersama si anak datang lagi dua minggu kemudian.

Dua minggu berikutnya, si Ibu pun datang bersama anaknya. Sesuai janjinya, Gandhi menasehati si anak supaya mengurangi konsumsi gula.

Tidak seperti biasanya, si anak mengikuti nasehat Gandhi. Dia mau mengurangi konsumsi Gula. Si Ibu tentu saja senang sekaligus aneh. Senang karena anaknya mengurangi konsumsi gula, aneh kenapa Gandhi harus menunggu waktu sampai dua minggu untuk menasehati anaknya.

Si Ibu pun kembali menemui Gandhi. Selain untuk berterima kasih, juga mengungkapkan keanehannya. Si Ibu bertanya kenapa Gandhi membutuhkan waktu dua minggu untuk menasehati si anak. Kenapa nasehat kepada si anak tidak diberikan langsung ketika dia datang.

Jawaban Gandhi, karena ketika si Ibu datang Gandhi juga masih mengkonsumsi Gula. Gandhi butuh waktu untuk berhenti mengkonsumsi Gula sebelum memberikan nasehat kepada si anak untuk berhenti mengkonsumsi Gula.

Begitulah hidup. Proses belajar tanpa henti, continuous improvement.

Kekeliruan kedua tentunya meninggalkan kesempatan belajar berbicara dan berkomunikasi dengan masyarakat. Ada momen berharga untuk melatih Public Speaking langsung dengan masyarakat.

Rumusan tentang Frame of References dan Field of Experiences atau berbicara sesuai lisan sebuah kaumnya, bukanlah sebuah rumusan biasa. Terlihat biasa karena kita hanya mencernanya dari buku. Namun akan menjadi luar biasa bila itu menjadi pengalaman dan praktek keseharian.

Akhir-akhir ini, kemampuan berbicara atau public speaking banyak diremehkan orang. Imbas dari sekelompok orang yang memainkan kemahirannya berbicara di depan publik untuk memanipulasi publik demi keuntungan diri. Atau imbas dari kebiasaan media yang menjadikan orang-orang yang suka berbicara kosong sebagai sumber informasi.

Padahal sebetulnya kemampuan berbicara dengan efektif adalah sangatlah penting.

Hanya orang yang berpikiran pendek yang mengatakan bahwa orang yang banyak bicara adalah orang yang tidak bisa bekerja. Karena sangat jelas didepan mata ada banyak orang yang cirinya bekerja dengan efektif bisa dilihat dari caranya berbicara. Mulai dari diplomat yang dituntut bisa persuasi, wartawan yang dituntut bertanya dan menulis dengan tepat, public relation yang mesti teliti dan hati-hati ketika menyampaikan informasi, sampai anggota parlemen yang mesti tepat ketika bersuara.

Semuanya adalah aktivitas berbicara. Sedikit kekeliruan bukan hanya berarti kesalahan fatal, tapi juga akan menjadi kontroversi tanpa henti dan menguras energi.

Kebiasaan menghindar ini ternyata berlanjut. Termasuk ketika sudah lulus kuliah dan memasuki dunia kerja.

Adalah kelaziman diantara orang Islam yang sudah bekerja untuk menyisihkan sebagian penghasilannya untuk Umrah atau Haji. Meskipun hanya seribu dua ribu rupiah dalam sebulan. Terlebih ketika biaya Umrah dan Haji makin membumbung tinggi, anjuran menyisihkan uang untuk pergi ke Makkah pun makin menguat.

Hal itu juga yang dialami. Berkali-kali lingkungan sekitar tentang perlunya dana saving untuk Umrah dan Haji. Terutama istri yang tidak hanya mengingatkan, tapi melakukannya langsung.

Namun seperti yang terjadi sebelumnya, ada perasaan minder apakah kita ini sudah layak menginjakan kaki ke tanah suci. Membayangkan melihat Ka'bah dan makam Nabi Muhammad secara langsung, sering membuat kita tidak percaya diri.

Ditambah dengan banyaknya kritikan terhadap orang yang Umrah tapi masih korupsi serta pentingnya ibadah sosial, menambah rasa segan untuk berangkat ke tanah suci. Padahal seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, mestinya tidak seperti itu. Semuanya bisa berjalan secara paralel berkesinambungan.

Namun berbeda dengan mengisi pengajian atau menjadi Khatib Jum'at, berangkat ke tanah suci sepertinya sesuatu yang tidak bisa dihindari. Meskipun mungkin tabungan tidak mencukupi, berangkat ke tanah suci tidak selalu berkaitan dengan sejumlah uang.

Ketika tahun lalu ajuan Visa ke Arab Saudi disetujui,  mulai muncul kesadaran bahwa berangkat ke Ka'bah tidak boleh dihindari lagi. Padahal selain Visa Umrah, Visa masuk Saudi dikenal sulit. Terlebih ketika Visa masuk Saudi bisa dikonversi menjadi izin tinggal hingga mendapat Iqomah (semacam KTP). Berangkat ke Ka'bah bukan lagi tidak bisa dihindari, tapi sudah menjadi kewajiban. Meskipun mungkin waktu tempuh jalan darat dari Riyadh ke Mekkah hampir sama dengan waktu tempuh penerbangan Jakarta - Jeddah.

Namun diluar memasuki area Thawaf yang tidak bisa dihindari, benarlah menurut banyak kalangan yang sudah mengunjungi Makkah dan Madinah. Kedua kota ini seperti mempunyai magnet yang sangat kuat. Sulit menggambarkannya bagaimana. Hanya yang jelas, kita tidak akan pernah bosan mendatanginya.

Mungkin gambaran paling sederhana dari magnet Makkah dan Madinah adalah bila kita kaitkan dengan situasi geo politik dan suhu di kedua kota ini.

Sudah banyak yang mengatakan bahwa Timur Tengah tempat Ka'bah berada adalah wilayah yang tidak stabil. Sebelum sekarang terjadi perang besar antara Palestina dan Israel, di wilayah ini juga kerap terjadi perang. Seperti perang antara Iran dan Irak, invasi Irak atas Kuwait, ketegangan antara Saudi dan Iran, atau permusuhan Saudi dengan Yaman yang baru berakhir beberapa waktu lalu.

Bagi Jamaah Haji dan Umrah, problem keamanan di wilayah ini akan terbaca ketika pesawat mendarat di Bandar Jeddah. Beberapa penumpang bisa melihat adanya deretan kendaraan peluncur anti nuklir di Bandara. Sesuatu yang sepertinya tidak ditemukan di Indonesia.

Bahkan bila di telusuri ke belakang, Masjidil Haram pernah ditutup karena ada kontak senjata antara tentara Saudi dan penentangnya.

Namun, siapakah diantara Jamaah Haji dan Umrah yang pernah menceritakan pengalaman munculnya rasa takut ketika berada di Makkah dan Madinah?

Jamaah Umrah dan Haji mungkin mengeluh tentang pelayanan Haji dan Umrah yang tidak optimal, tapi mereka seperti tidak merasa terancam. Padahal mereka sebetulnya ada di wilayah yang dekat dengan konflik. Alih-alih ketakutan, cerita yang muncul justru tentang keinginan kembali datang mengunjungi dua kota suci ini.

Gambaran lainnya adalah mengenai suhu. Semuanya mafhum bila Timur Tengah umumnya dan Saudi khususnya, adalah salah satu wilayah panas dan terkering di dunia. Pada musim panas, suhu di Makkah bisa  mencapai 47 derajat Celcius. Tapi adakah Jama'ah Haji dan Umrah yang tidak ingin kembali ke Makkah dan Madinah karena jerih dengan suhu seperti ini?

Makkah dan Madinah seperti merangkum apa yang dikatakan de Chardin tentang manusia. Bahwa manusia itu adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman keduniaan. Bukan makhluk dunia yang mengalami pengalaman spiritual.

Makkah dan Madinah adalah tempat seorang muslim kembali sebagai makhluk spiritual.

Di Ka'bah, kita akan melihat orang-orang Thawaf sambil mencucurkan air mata tanpa sebab. Atau orang berdoa khusyuk sampai bercucuran air usai melaksanakan shalat wajib. Juga tangisan tanpa sebab. Itulah masa-masa manusia kembali ke asal sebagai makhluk spiritual. Rindu kembali bersua dengan Yang Maha Asal.

Namun setelah itu, di  terminal bus kita akan melihat Jamaah yang berebut kursi bus supaya bisa kembali ke hotel masing-masing lebih cepat. Mungkin tidak keluar kata-kata kotor, tapi berebut seolah takut kehabisan kendaraan sambil menyikut orang lain. Padahal kendaraan selalu tersedia. Itulah saat Jamaah kembali menjadi mahluk dunia.

Ratusan tahun lalu, Hasan Al-Bashri juga menjelaskan hal ini dalam versi lain.

Suatu kali, murid Hasan Al-Bashri memuji habis-habisan orang yang sedang Thawaf. Sambil merasa rendah diri bila dibandingkan mereka.

Mendengar ucapan itu, Hasan Al-Bashri menawarkan pada sang murid untuk melihat hal yang sesungguhnya terjadi pada orang-orang yang sedang Thawaf.

Ketika sang murid menerima tawaran tersebut, disebutkan bahwa Hasan Al-Bashri mengusapkan kedua tangannya kepada muridnya. Seketika si murid bisa melihat situasi lebih jelas. Ternyata diantara orang-orang yang sedang Thawaf, ada orang-orang berkepala macam-macam hewan.

Ketika si murid keheranan dengan situasi ini, Hasan Al-Bashri menjelaskan bahwa kepala-kepala hewan itu menyatakan bahwa yang sedang Thawaf tersebut belum bisa menghilangkan nafsu kebinatangannya.

Bagi seorang muslim, Ka'bah itu asal. Sebagaimana sebuah asal, dia senantiasa akan memanggil. Apapun kondisi dan situasi yang sedang ditempuh dirinya.

Mekkah 17 Desember 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun