Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Kopi di Saudi Arabia

16 Februari 2023   20:28 Diperbarui: 16 Februari 2023   20:46 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Biji kopi di etalase salah satu toko di Riyadh

 

Seperti juga di Indonesia, Kopi di Saudi Arabia sudah menjadi keseharian masyarakat. Minuman tradisional dikonsumsi banyak kalangan.

Keberadaan Kopi di Saudi Arabia, sudah mengakar lebih dari ratusan tahun lalu. Jejaknya tidak hanya bisa dilihat dari teko Kopi yang sudah menjadi ikonik dan kerap dimunculkan Disney dalam animasi Aladdin sebagai tempat keluar Jin. Tetapi juga pada kebun Kopi yang masih ada sampai sekarang.

Di Pegunungan Sarawat yang terletak di Selatan Saudi Arabia terdapat perkebunan Kopi tertua. Bersama dengan Jagung dan Pisang, Kopi adalah tanaman yang menghiasi pegunungan yang berada di ketinggian 1.600 meter diatas permukaan laut. Membentang di kawasan Jazan dari Arab Saudi hingga ke Yaman.

Pada abad ke-15, di wilayah inilah untuk pertama kalinya biji Kopi di sangrai (roasting) oleh para sufi. Supaya biji Kopi tetap terjaga ketika dipakai untuk beribadah.

whatsapp-image-2023-02-16-at-16-13-55-1-63ee2e1008a8b5562e6d2fe3.jpeg
whatsapp-image-2023-02-16-at-16-13-55-1-63ee2e1008a8b5562e6d2fe3.jpeg

Ketika batas wilayah ditentukan hubungan kekerabatan dan kesukuan, Jazan sebetulnya lebih dekat dengan Yaman. Namun ketika konsep negara muncul, Jazan menjadi wilayah Kerajaan Arab Saudi atau Kingdom of Saudi Arabia (KSA). Karenanya ketika KSA untuk pertama kalinya mengeluarkan visa turis pada tahun 2019, Jazan dideklrasikan sebagai salah destinasi wisata unggulan.

Bahkan ketika Kerajaan Saudi Arabia mencanangan tahun 2022 sebagai tahun Kopi Saudi, Kopi produksi Jazan adalah yang diunjukan ke muka.

Kopi Jazan sendiri dikenal sebagai Kopi Khalwani. Merujuk kepada nama suku Khalwan yang tinggal di kawasan ini.

Kopi Khalwani bukan hanya ditanam di tanah subur, tapi juga di tengah masyarakat yang sangat mengerti cara mengolah biji Kopi. Mulai dari cara memetiknya yang masih manual, penyangraian yang tepat, serta cara menyeduh. Semua rangkaian mengolah biji Kopi ini sudah menjadi tradisi berumur sampai 300 tahun dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Baca juga;

Umrah sebagai sebuah pengalaman keberagamaan

Karenanya biji Kopi Khalwani pun menjadi produk premium. Hanya dikonsumsi kalangan tertentu. Mahal dan berkualitas. Satu kilo biji Kopi Khalwan dijual seharga 100 riyal atau sekitar Rp 400.000. Hampir lebih dua kali lipat diatas harga rata-rata biji Kopi impor yang beredar di Arab Saudi.

Meski memiliki biji Kopi unggulan, Kerajaan Saudi Arabia tetap mendatangkan biji Kopi dari negara lain. Seperti juga komoditi lainnya yang dipergunakan untuk keseharian masyarakat Arab Saudi.

Bila kita jalan-jalan ke hypermarket di Riyadh, sepertinya hanya tiga hal saja yang tidak didatangkan Kerajaan ke Saudi Arabia dari luar. Ketiganya adalah minyak bumi, air zam zam dan Ka'bah.

Lainnya, kita akan familiar dengan barang impor. Beras yang menjadi makanan pokok didatangkan dari India, Thailand dan Mesir. Sajadah untuk shalat, datang dari China. Bahkan Kurma yang juga ada di Saudi, masih didatangkan dari Yaman.

Baca juga;

Asykar penjaga ketertiban di Masjidil Haram Makkah

Keberadaan Kopi di Saudi Arabia sepertinya sudah ada terlebih dahulu ketimbang keberadaan Kopi di Indonesia. Begitulah kesimpulan yang akan kita temukan bila membaca "Babad Kopi Parahyangan" yang ditulis Evi Sri Rezeki.

Menurut alumni Fikom Unisba ini, mulanya adalah Khaldi. Seorang pemuda penggembala kambing di Ethiopia. Sebuah wilayah di Afrika bagian Timur. Dahulu bangsa Arab menyebut wilayah ini dengan nama Habasyah.

Sebagai penggembala, Khaldi terbiasa membiarkan kambing gembalanya pergi kemanapun mereka mau. Karena toh mereka akan kembali bila dia panggil. Atau akan kembali ke tempat dia mengumpulkan, bila waktu pulang sudah tiba.

Namun kali ini Khaldi melihat kambing gembalaannya berlaku diluar kebiasaan. Gerakannya lebih aktif dan embikannya lebih keras. Terdorong rasa ingin tahu, Khaldi pun membuntuti kemana kambing-kambingnya pergi.

Ternyata gembalaannya bergerombol menuju pohon dengan buah berukuran kecil dan berwarna merah. Dengan lidahnya, kambing-kambing memetik buah itu, lalu mengunyahnya. Setelah itu, mereka terlihat lebih lincah. Bahkan lebih ceria.

Baca juga;

Hira Cultural District, Cara orang Arab Saudi jualan ke orang Indonesia

Penasaran, Khaldi pun memetik buah tersebut dan mengunyahnya. Ternyata Khaldi merasakan perubahan. Tubuhnya terasa lebih segar dan lebih bertenaga. Khaldi lalu menghabiskan hari-harinya memakan buah tersebut. Buah yang dikenal sekarang dengan nama buah Kopi.

Sebagaimana Khaldi memperhatikan gembalaannya dan Kopi, perilaku Khaldi pun tidak luput dari amatan. Seorang sufi bernama Ali bin Omar Al-Shadu memperhatikan Khaldi dengan buah kopinya.

Sang Sufi bergerak lebih jauh. Mengolah buah kopi yang biasa dimakan Khaldi menjadi minuman. Hasilnya bukan hanya minuman yang membuat Al-Shadu lebih segar dan bertenaga, tapi juga bisa menahan kantuk. Al-Shadu yang terbiasa mengkaji Kitab sampai larut malam, terbantu dengan khasiat Kopi ini.

Khasiat Kopi pun menyebar. Dari Ethiopia, kawasan Timur Benua Afrika, Kopi menyebar ke orang Kairo yang berada dibelahan Barat Benua Afrika. Dari Kairo, Kopi masuk ke Makkah dan Madinah yang sudah masuk wilayah Benua Asia.

Dari Makkah dan Madinah, minuman yang dianggap ajaib ini terus menyebar sampai ujung Asia, Turki. Konon di negeri yang menjadi pembatas pembatas Asia dan Eropa di dirikan cafe pertama di dunia. Tempat meminum Kopi diluar rumah.

Setelah sekian lama berada dalam era kegelapan, "Dark Age", dan mulai masuk abad pencerahan, Kopi dari Turki pun masuk ke Eropa.

Baca juga;

Masjid di Saudi Arabia dan orang-orang kelebihan berat badan

Di benua biru ini, Kopi kembali menjadi primadona baru. Minuman penuh keajaiban ini menjadi komoditi baru yang sangat berharga. Orang menyebutnya sebagai emas hitam.

Adalah Belanda yang waktu itu jeli melihat potensi si emas hitam. Negeri ini bukan hanya bisa mengakses data perdagangan kopi dunia di Turki, tapi juga mengakses bibit kopi. Barang berharga yang hanya bisa diakses segelintir kalangan.

Setelah itu, Belanda mengembangkannya ke wilayah lain di dunia. Diantaranya ke tanah jajahan di Jawa. Karena menurut juru teliti Belanda, tanah Jawa adalah tempat yang sangat cocok ditanami Kopi.

Di Hindia Belanda, Kopi yang dibawa Belanda berkembang. Pastinya bukan karena rakyat menikmati dan menyenangi Kopi. Karena Kopi adalah minuman mahal untuk kalangan elit dan rakyat jelata terlarang mengkonsumsinya. Kopi berkembang karena kebijakan tanam paksa Belanda yang menempatkan Kopi sebagai komoditi yang mesti ditanam rakyat.

Ketika harga Kopi dunia melambung, Belanda makin menggila. Memaksa rakyat Hindia Belanda menanam Kopi. Sampai melakukan penyiksaan dan pembunuhan bagi yang menolaknya. Terlebih ketika itu kas Belanda defisit karena Perang. Perang Jawa yang diinisiasi Pangeran Diponegoro dan Perang Sumatra yang dipelopori Tuanku Imam Bonjol, membuat Belanda bangkrut. Namun Kopi berhasil memulihkan keuangan Belanda.

Diluar hal diatas, Kopi yang ditanam di Hindia Belanda memang diakui. Bagi Eropa, "a cup of Java" adalah minuman dinanti dalam setiap pertemuan dan perjamuan.

Mungkin karena riwayat diatas, ada situasi yang berbeda mengenai Kopi di Arab Saudi dan Indonesia.

Meski dikenal sebagai produsen Kopi terbesar keempat setelah Brazil, Kolombia dan Vietnam, Kopi Indonesia kurang begitu memasyarakat di kalangan masyarakat Arab. Kopi dari Ethiopia lebih menguasai pasar Saudi Arabia. Ditambah dengan Kopi dari Brazil, Kolombiam, Turki, Sudan, Yaman.

Masalahnya bukan pada rasa atau kualitas, tapi pada harga. Tata kelola Kopi di Ethiopia dianggap selangkah lebih maju dibanding Indonesia. Tata kelola yang lebih baik yang pada akhirnya berimbas pada harga yang lebih murah.

Erisan, seorang roaster handal Indonesia yang bekerja cukup lama di Saudi, dalam akun youtube nya memberikan gambaran dunia Kopi di Saudi Arabia. Serta posisi Kopi Indonesia di Saudi.

Bila dilihat dari sisi proses, sekitar 85% masyarakat Saudi menyukai Kopi dengan proses Natural. Sisanya adalah Kopi yang diproses secara anaerob, wine, honey, dan wash.

Bila dilihat dari harga Kopi dengan proses Natural dari Ethiopia, supplier Kopi Saudi menjualnya dengan harga 40-55 Riyal Saudi per Kg. Dimana supplier mengambil untung 10 Riyal dari setiap Kg. Karenanya harga yang diterima suplier adalah 30-45 Riyal per Kg.

Bila memakai kurs Riyal sama dengan Rp 4.000, maka produsen Kopi Indonesia mesti menjual Kopi Natural seharga 120.000 -- 180.000/kg. Harga ini diluar proses shipping dari Indonesia ke pelabuhan Jeddah.

Bila melihat pasaran biji Kopi di Indonesia, jelas ini harga yang cukup berat. Terlebih jarak Saudi -- Ethiopia yang berkisar 5.000 Km, lebih dekat dibanding jarak Saudi -- Indonesia yang mencapai 8.500 Km.

Selain dominasi Kopi Ethiopia, Kopi di Saudi Arabia juga didatangkan dari Brazil. Kopi dari Amerika Selatan yang kerap dianggap berharga lebih murah karena produksinya yang massal. Namun menurut perkiraan, Kopi Indonesia masih bisa berkompetisi dengan Kopi Brazil. Diantaranya karena jarak jarak Brazil -- Saudi mencapai 11.000 Km. Lebih jauh dibanding jarak Saudi -- Indonesia.

Lalu bagaimanakah Kopi di Saudi Arabia disajikan

Selain mengenal tekhnik penyeduhan ala Turkish Coffee, V-60, French Press atau Vietnam Driff, orang Saudi Arabia juga memiliki tekhnik penyajian Kopi tersendiri. Khas orang Saudi.  

Kopi di Saudi Arabia tidak diseduh seperti Kopi gelombang ketiga yang sedang trend, tapi di didihkan. Terlebih dahulu mendidihkan air dengan menggunakan alat bernama "Dallah". Alat seperti teko yang corong airnya menyempit. Lalu Kopi yang sudah digiling halus, direbus bersama bubuk kapulaga. Kopi pun disajikan dalam cangkir-cangkir keramik kecil.

Tekhnik mendidihkan Kopi seperti ini, akan kita temukan pada beberapa penikmat Robusta di Sumatra. Hanya saja tidak memakai "Dallah".

Campuran Kopi di Saudi Arabia hanya dengan kapulaga. Tidak dicampur dengan yang lain. Seperti dicampur gula, madu, susu atau apapun sebagai pemanis. Meski disajikan bersamaan dengan Kurma bila di rumah atau biskuit dan kukis bila disajikan di cafe-cafe.

Lalu bagaimanakah rasanya?

Sejujurnya, sampai sekarang saya belum menikmati "Arabian Coffee." Persediaan Kopi dari Gunung Puntang Bandung Selatan masih ada dan terlalu berharga untuk dilewatkan. Di negeri yang jauh dari asal, ajaran orang tua dahulu yang melarang anak atau istri meminum Kopi seperti berlaku kembali. Bukan karena Kopi membahayakan anak dan perempuan, tapi Kopi akan cepat habis bila anak dan istri ikut menikmati. ***

Riyadh, 31 Januari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun