Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Korban Bencana dan Kristenisasi di Cianjur

26 November 2022   22:06 Diperbarui: 26 November 2022   22:31 3194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Korban Bencana dan Kristenisasi di Cianjur

Ada hadits yang mengatakan bahwa orang mati syahid bukan hanya orang yang meninggal karena perang, tapi juga karena kena wabah juga kena bencana. Seperti orang meninggal karena banjir atau kena reruntuhan gedung karena gempa seperti yang terjadi di Cianjur.

Ada yang memahami bahwa korban bencana menjadi syahid karena mereka mesti menanggung akibat dari sesuatu yang mau tidak mau memang harus terjadi.  Atau sesuatu yang terjadi dan mereka bukanlah penyebab langsung nya. Dalam bahasa terkini sering disebut dengan collateral damage, dalam pergaulan sehari-hari sering disebut dengan korban tak berdosa atau dalam bahasa kasar nya sering disebut dengan tumbal.

Seperti banjir yang disebabkan perubahan iklim atau pemanasan global. Perubahan iklim bukan hanya problem yang tidak bisa diselesaikan masyarakat se kampung, satu negara pun tidak bisa menyelesaikan masalah itu. Itu adalah masalah global yang membutuhkan kesepakatan dan kerja secara global. Tidak hanya bisa mengandalkan kerja orang se kampung yang tertimpa bencana.

Bisa juga korban kena reruntuhan bangunan karena gempa bumi seperti di Cianjur. Karena lempeng bumi yang bergeser dan menyebabkan gempa, lempeng tersebut akan terus bergeser. Kalau tidak bergeser sekarang, maka akan bergeser nanti dan geserannya akan jauh lebih besar sehingga menimbulkan gempa yang juga lebih besar.

Masalahnya, sampai sekarang tidak ada teknologi yang bisa menghalangi pergeseran lempeng bumi ini. Bahkan mungkin memang harus bergeser untuk menghindari pergeseran yang lebih besar yang menghasilkan gempa yang lebih besar sehingga memakan korban yang lebih banyak. Seperti khawatirnya orang Bandung terhadap sesar Lembang yang aktif tapi tidak terlihat bergerak. 

Karena tidak bergerak itu, diperkirakan sekali bergerak akan sangat besar dan menimbulkan gempa dengan kekuatan besar. Tidak sedikit yang memperkirakan bila Bandung akan menjadi seperti wajan yang dibalik kalau sesar Lembang bergerak. Situasinya akan jauh lebih buruk dibanding Cianjur sekarang.

Namun yang memahami korban reruntuhan bangunan sebagai collateral damage sehingga meninggalnya masuk dalam kategori syahid, mengingatkan adanya syarat dan ketentuan yang berlaku. Bahwa hal itu berlaku bila orang tersebut selama hidup memang konsisten melakukan kebaikan. 

Bila tidak, dia tidak masuk dalam kategori syahid. Seperti juga orang yang pergi berperang. Dia syahid kalau niatnya demi mengharap ridho Allah. Namun dia tidak syahid kalau berperang karena mengharapkan harta rampasan perang atau karena berangkat perang dengan alasan wanita.

Jadi pendapat yang mengatakan orang Cianjur sedang di azab dengan gempa, itu mesti direvisi. Karena sekarang pun di Jeddah tempat Ka'bah berdiri dan orang datang dari jauh untuk beribadah, sedang kena banjir yang kerusakannya juga tidak terkira.

Lalu bagaimana dengan kristenisasi di Cianjur yang katanya menjadi pangkal azab tersebut?

Sejak saya lahir dan tinggal di Sukabumi, saya selalu mendapat berita bahwa Sukabumi-Cianjur itu adalah pusat kristenisasi. 

Anehnya, tiap melihat angka-angka mengenai populasi di Sukabumi dan Cianjur, muslim itu tetap mayoritas dan Kristen tetap saja minoritas. Orang Islam selalu lebih banyak bahkan mencapai 99%. Angka yang menurut saya tidak menunjukan adanya kristenisasi. Ataupun kalau ada, menunjukan itu tidak berhasil.

Sebagai perbandingan kasar saja, kita ambil contoh Qatar dan Cianjur yang relatif memiliki jumlah penduduk yang berbeda sedikit dengan mengambil data umum dari wikipedia. Ada sekitar 2.4 Juta jumlah orang Cianjur dan sekitar 2.7 Juta orang Qatar. 

Cianjur yang disebut pusat Kristenisasi, jumlah muslimnya lebih dari 99% sementara Qatar yang bahkan sedang melakukan Islamisasi dengan Piala Dunia sekarang, orang Islam nya hanya sekitar 63%.

Hal yang sama bila dibandingkan Qatar dengan Kabupaten Sukabumi yang jumlah penduduk nya beda sedikit. Begitu juga dengan Kotamadya Sukabumi yang lebih ramai dan penduduknya secara ekonomis lebih mapan dan ada sekolah Kristen yang terkenal. Jumlah muslim tetap mayoritas lebih dari 95% dan Kristen sekitar 3%.

Saya menduga bila isu kristenisasi di Sukabumi - Cianjur tidak lepas dari fenomena adanya beberapa kampung dengan penduduk memakai kerudung dan berbahasa Sunda, tapi agamanya Kristen. 

Padahal orang Sunda dikenal muslim. Dulu kalau diajak orang tua ke Bandung, ketika memasuki daerah Ciranjang - Cianjur,  Alm Bapak pernah menunjuk kepada perempuan yang sedang berjalan di pematang sawah, berkerudung dengan pakaian orang Sunda kebanyakan. 

Kata Alm, mereka adalah orang Kristen, bukan orang Islam seperti yang diduga. Mereka ada disana sejak zaman Belanda.

Fenomena ini sepertinya tidak lepas dari situasi Sukabumi-Cianjur pada masa Belanda. Pada masa itu, dua daerah ini dikenal sebagai daerah subur untuk perkebunan. Selain cocok menjadi tempat menanam sayuran, kopi dan teh yang menjadi kebutuhan Belanda waktu itu, alam nya juga tempat yang cocok untuk pelesiran dan tempat pensiun orang Belanda di Batavia.

Terlebih Sukabumi-Cianjur sudah terhubung dengan Batavia dengan jalur Deandels. Jalur transportasi dengan Batavia menjadi lebih mudah karena Belanda juga membangun Jalur Kereta dari Batavia. Bagi para commuter Jakarta-Bogor, pasti sering melihat ada jalur kereta yang terus bersambung ke arah Sukabumi-Cianjur setelah statsiun akhir Bogor.

Karena tempatnya cocok untuk menanam kopi, membuat perkebunan teh dan tempat pensiun, banyak orang Belanda yang tinggal di kampung-kampung. Selain untuk mengontrol kebun teh dan kopi, juga menghabiskan waktu tua. Mereka disana bersama anak cucu dan juga menikah  serta berketurunan dengan orang setempat.

Fenomena ini tidak hanya membuat ada orang Belanda beserta keturunannya yang beragama Kristen di kampung-kampung, tapi juga adanya orang-orang berwajah Indo dari kampung-kampung hasil perkawinan orang Belanda dengan penduduk lokal. Setidaknya itu bisa dilihat sampai tahun 80-90an

Jadi kalau dulu orang menyebut perempuan Sukabumi itu cantik-cantik, itu bukan karena adanya perempuan seperti Deasy Ratnasari, tapi karena ada perempuan-perempuan berwajah indo di kampung-kampung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun