Bahwasannya sebagian massa Islam terlalu sering berteriak Takbir, itu benar. Bahkan terkadang serasa “Mengobral” sehingga aura kalimat suci nan heroik itu luntur dan terdengar biasa. Tetapi apakah dengan menyindir atau mengejek mereka dengan merubah tulisan Takbir menjadi Take Beer menjadi tidak lebih buruk, lebih sadis dan kurang ajar?
Andai ada yang mengatakan bahwa spiritualitas itu tidak dilihat dari linangan air mata ketika mendengar ceramah Agym, atau tangisan ketika diajak berdzikir Arifin Ilham, maka saya setuju seratus persen. Itu benar sekali. Sebagaimana saya sangat setuju bahwa spiritualitas itu bisa dilihat dari kepedulian orang ketika melihat orang lain dalam kesulitan.
Hanya saja manusia itu bukan robot, dia makluk yang mempunyai emosi. Meski sentuhan emosi mendengar istilah agama bukan indikator keberagamaan yang utama, tetapi pada beberapa hal orang mesti membutuhkan itu. Meski itu hanya dalam sepersekian detik atau menit dalam sehari. Keberagamaan akan menjadi sangat kering di kala agama sekedar diposisikan sebagai sekumpulan doktrin yang melulu untuk difahami bukan untuk dinikmati dan dihayati.
Kalau tidak percaya, cobalah perdalam sampai taraf pengetahuan yang paling tinggi tentang arti adzan, shalat atau maksud setiap ayat Quran dengan membaca seluruh kitab tafsir yang ada. Tetapi tidak merasa perlu untuk menikmati atau mencintainya. Jadi tahu makna adzan, maksud setiap ayat tanpa harus merasa tersentuh ketika itu dikumandangkan dan diperdengarkan.
Dalam bentuk lain yang lebih sederhana, kenapa banyak orang suka membanggakan dan mengekspresikan rasa cinta terhadap anaknya padahal kadang anak yang dibanggakannya tidak cantik, juga tidak pintar. Bahkan kadang anak yang dilindunginya itu mempunyai perilaku buruk. Karena ini perkara rasa atau ikatan yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Mau menegasikan dimensi itu? silahkan. Tapi yakin bisa hidup tanpa dimensi itu?
Memplesetkan Takbir menjadi Take Beer pada akhirnya tidak menjadi ejekan bagi orang lain, tapi hanya jadi latihan untuk menghancurkan diri sendiri. Karena sudah merusak dan menghancurkan aura sakral dari sebuah kalimat suci untuk dirinya sendiri. Itu dengan catatan masih mempercaya agama sebagai instrument penting menjalani hidup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI