Aku masih ingat betul hari itu---ketika email pengumuman resmi dari fakultas masuk ke inbox seluruh mahasiswa tingkat akhir. "Mulai semester ini, skripsi dapat digantikan dengan publikasi artikel jurnal terindeks Sinta." Kalimat itu seperti oase di padang pasir, seperti jawaban dari segala keluh kesah kami tentang skripsi yang bertele-tele, tentang bab metodologi yang harus diulang tiga kali hanya karena format penulisan sub-bab tidak sesuai pedoman, tentang dosen pembimbing yang lebih fokus pada margin dan font ketimbang substansi penelitian. Â
Tapi ternyata, surga yang dijanjikan itu berubah menjadi labirin birokrasi baru yang justru lebih menjengkelkan.
Bab 1: Aturan yang Selalu Bergerak
Awalnya, tidak ada penjelasan detail. Hanya iming-iming: "Artikel jurnal bisa menggantikan skripsi." Tanpa embel-embel indeksasi, tanpa persyaratan tambahan. Aku, yang sudah muak dengan format skripsi kaku, langsung bersemangat. "Ini kesempatan emas!" pikirku. Aku mulai merancang penelitian, menulis naskah, dan memilih jurnal target. Â
Tapi kemudian, seperti biasanya, detail-detail jahat muncul belakangan.
Pertemuan dengan dosen pembimbing: Â
"Oh iya, untuk prodi kita, minimal Sinta 3 ya."
"Kenapa nggak dari awal dikatakan?!" protesku dalam hati. Â
Aku menghela napas. Baiklah, Sinta 3. Tidak masalah. Aku akan berusaha. Tapi kemudian, obrolan dengan senior membuka fakta baru: Â
"Kalau bisa, lebih bagus Sinta 2. Soalnya nanti nilai akhirmu lebih tinggi." Â
Aturan-aturan itu seperti garis finish yang terus bergerak.
Bab 2: Publish atau Punished
Proses submit ke jurnal ternyata seperti lotere. Aku memilih Journal of Social Dynamics (Sinta 2). Dua bulan menunggu, status "Under Review" tak kunjung berubah. Temanku, yang submit ke jurnal Sinta 4, sudah dapat acceptance letter dalam tiga minggu. "Pakai jasa perantara," bisiknya. Aku menggeleng. Aku ingin melakukannya dengan benar. Â
Tiga bulan berlalu. Akhirnya, diterima! Rasanya seperti memenangkan pertarungan. Tapi ternyata, pertarungan sesungguhnya baru dimulai. Â
Bab 3: Birokrasi yang Menghancurkan Semangat
Pertama, sidang munaqasah.
"Untuk apa? Bukannya artikelku sudah melalui peer review yang lebih ketat daripada penilaian dosen-dosen di sini?"
Kedua, surat penelitian.
Aku mondar-mandir antara kampus dan instansi tempat penelitian dilakukan. "Surat apa lagi yang dimaksud?" tanyaku pada admin prodi. Â
"Ya surat izin penelitian."
"Tapi penelitianku survei online, tanpa perlu izin khusus!"
"Tetap harus ada suratnya."