Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjelang Hilangnya Gubuk Terakhir di Tengah Sawah

1 April 2024   10:14 Diperbarui: 1 April 2024   10:31 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubuk di tengah lahan padi di pinggiran kota Jember. Dokumentasi penulis

Para pejabat dan elit pemerintahan yang katanya terhormat berceloteh tentang hujan, El Nino, musim tanam dan panen padi yang mundur, bulan ramadhan harga bahan pangan pasti naik. Dan, akhirnya, impor beras menjadi pilihan yang paling mudah. 

Artinya, logika cuaca dan meningkatnya harga menjadi pembenar bagi kebijakan impor untuk mengatasi masih tingginya harga beras dan bahan pangan lainnya. Ini sama dengan logika banjir di Kalimantan disebabkan curah hujan yang tinggi tanpa melihat faktor pengrusakan hutan untuk tambang, industri kayu, food estate, dan perkebunan sawit.

Okelah. Katakan perubahan iklim menjadi faktor dominan, maka sudah seharusnya pemerintah memikirkan langkah strategis dan teknis untuk "memastikan" petani mampu bersiasat agar hasil pertanian mereka tetap baik dan bisa berkontribusi terhadap kecukupan pangan nasional. 

Ironisnya, fakta perubahan iklim itu hanya menjadi wacana untuk mewajarkan tingginya harga bahan pangan dan kebijakan impor. Tragisnya, para petani, baik yang berlahan luas maupun sempit, termasuk buruh tani seolah dibiarkan menghadapi kompleksitas masalah sendirian, tanpa kehadiran negara. 

Gubuk di tengah sawah. Dokumentasi penulis
Gubuk di tengah sawah. Dokumentasi penulis
Bagaimana pula dengan semakin menyusutnya lahan-lahan persawahan produktif di kawasan pinggiran kota untuk keperluan perumahan, pergudangan, industri, destinasi pariwisata, dan proyek strategis? Realitas itu berlangsung di seluruh wilayah perkotaan Indonesia dan ikut berkonstribusi terhadap penurunan produksi padi. 


Bahkan, di banyak wilayah kecamatan dan perdesaan, semakin banyak lahan pertanian yang digunakan untuk peruntukan lain. Padahal setiap wilayah katanya sudah memiliki kebijakan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang termasuk mengatur kawasan pertanian. Kalau RTRW diterapkan dengan baik, tentu penyusutan yang terjadi secara massif bisa dikurangi atau dicegah.

Ada pula yang lebih konyol, "di bulan ramadhan harga pangan yang sedikit tinggi akan menguntungkan petani karena mereka tidak pernah dapat THR." Omongan seperti ini sungguh tidak pantas keluar dari mulut pejabat yang bertanggung jawab terhadap masalah pertanian. 

Apa iya harga padi dan beras yang tinggi benar-benar mensejahterakan petani? Apa ia tidak tahu bagaimana mahalnya pupuk, pestisida, bibit, dan kebutuhan lainnya seperti tenaga kerja untuk proses bertani? Buat apa negara membayar mahal gaji dan semua tunjangan pejabat terkait kalau hanya bisa menebar wacana penuh kekonyolan tersebut?

Semua omongan mereka menegaskan betapa para pejabat terhormat itu tidak "enthos" alias "tidak punya kapasitas dan tidak mampu" untuk mengelola kebijakan pertanian dan ketahanan pangan. Buktinya, janji swasembada pangan hanya menjadi "lip service" yang semakin kehilangan makna/petanda. 

Saya kadang berpikir, apa pejabat yang katanya tehormat itu tidak malu--atau mungkin sudah tidak punya malu?--ketika janji swasembada berakhir secara tragis dan benar-benar memalukan melalui kebijakan impor? Ataukah, memang janji itu sekedar janji politik yang selalu bisa dikhianati dengan sejuta alasan manis?

Impor bahan pangan selalu dan selalu menjadi primadona untuk mengatasi masalah jangka pendek bidang pangan. Saya katakan jangka pendek karena bertujuan mengatasi harga yang tinggi agar tidak menimbulkan gejolak di tengah-tengah rakyat. 

Tentu, bagi para pemimpin "populis" gejolak protes rakyat akan sangat merugikan bangunan citra pemerintahan yang selama ini direpresentasikan merakyat.

Ditambah lagi, kepentingan untuk mengamankan rezim pemerintahan berikutnya (yang tak kalah populisnya) agar tidak terdampak terlalu serius oleh kenaikan harga bahan pangan. 

Apalagi kemenangan mereka juga melibatkan bansos pahan pangan yang melimpah dan, bahkan, terbesar. Kalau sampai pelantikan mereka harga beras dan bahan pangan lainnya masih tinggi, tentu akan merusak citra kemenangan mereka yang didukung rakyat.

Kebijakan impor menegaskan bahwa kepemimpinan populis memang tidak akan berpikir secara strategis bagaimana mengatasi masalah rakyat secara komprehensif. Alih-alih, mereka lebih memilih jalan pintas untuk mencegah kemarahan rakyat. 

Sampai saat ini, kita belum melihat secara gamblang bagaimana cetak biru pertanian menuju swasembada. Ironisnya, "food estate" justru menimbulkan masalah baru di tengah-tengah kampanye positifnya oleh rezim negara.

Wajar kiranya kalau para anggota DPR mulai membandingkan kondisi pangan kita dengan Thailand, Vietnam, Malaysia dan, bahkan, Singapura. Kalau negara tetangga di Asia Tenggara bisa mengatasi masalah pangan, mengapa Indonesia tidak? Para pembela pemimpin yang katanya terhormat mungkin akan beralasan jumlah penduduk Indonesia lebih banyak daripada negara-negara itu.

Alasan seperti itu sudah sangat usang dan hanya menunjukkan kemalasan dan ketidakmampuan para pemimpin dan pejabat terkait untuk mendesain kebijakan strategis yang benar-benar menjadikan Indonesia berswasembada. Lihatlah India dan China, jumlah penduduk mereka lebih besar daripada Indonesia, tapi kedua negara itu mampu mengimpor beras ke Indonesia.

Gubuk di tengah lahan padi. Dokumentasi penulis
Gubuk di tengah lahan padi. Dokumentasi penulis

Masalahnya, kebijakan impor tidak akan menyelesaikan masalah pertanian dan pangan nasional. Sebaliknya, akan menyebabkan bermacam masalah akut terkait petani, ketahanan pangan, dan harga diri bangsa. 

Sudah seharusnya pemerintah merangkul para pakar dan praktisi pertanian untuk rembugan bersama guna mendesain cetak biru berbasis existing problems dan kepentingan bersama. Ajaklah petani (bukan organisasi yang mengatasnamakan petani) bicara tentang masalah dan harapan mereka sebagai petani.

Jangan sampai karena menjadikan impor sebagai "senjata pamungkas" kita tidak sadar tengah masuk ke dalam jebakan "agro-imperialism" yang menjadikan urusan pertanian dan pangan kita dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan transnasional dan negara-negara pengekspor bahan pangan. 

Meskipun menguntungkan elit pemodal dan politik, impor hanya akan terus menjadikan bangsa in objek bagi proses imperialisme berbasis kebutuhan hidup.

Maka, ungkapan "gemah ripah loh jinawi," akan lenyap dari pendengaran atau penglihatan kita. Ungkapan itu lambat laun hanya akan menjadi selebrasi penanda tanpa petanda karena sebagai negeri yang subur ternyata pemerintah gagal menjamin kemakmuran pangan buat rakyat. 

Dan, gubuk di tengah sawah tempat para petani berteduh ketiga menghalau burung di musim padi atau istirahat sambil merokok, ngopi, atau menikmati rampen (makanan non-nasi seperti tempe goreng, pisang goreng, dan yang lain), perlahan akan hilang. 

Mengapa? Bagi petani, bertani dalam ketidakpastian sangat tidak menguntungkan. Wajar kalau banyak dari mereka memilih menjual lahan mereka untuk proyek perumahan atau proyek lain yang menghasilkan uang lebih besar, meskipun akhirnya mereka harus berjuang untuk survive tanpa sawah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun